Tranplantasi Organ Tubuh dalam Analisis Tafsir Ahkam Al-Qur'an ||


A. Hukum Tranplantasi Organ Tubuh Menurut Imam Al-Qurthubi

Permasalahan tranplantasi organ tubuh merupakan salah satu tindakan pertolongan bagi pasien yang mengalamai cedera parah pada salah satu organ tubuhnya. Sikap saling tolong menolong dalam kebaikan merupakan hal yang sangat dianjurkan dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2 berikut:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-Maidah [5]: 2).[1]
Imam al-Qurthubi mengutip beberapa riwayat yang menjelaskan penafsiran ayat diatas dalam karya beliau sebagai berikut:

وقال الماوردي: ندب الله سبحانه إلى التعاون بالبر وقرنه بالتقوى له، لأن في التقوى رضا الله تعالى، وفي البر رضا الناس، ومن جمع بين رضا الله تعالى ورضا الناس فقد تمت سعادته وعمت نعمته. [2]

Artinya: “Imam Mawardi berkata: Allah Subhanahu wa Ta'ala menganjurkan untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan mengiringinya dengan ketakwaan, karena sesungguhnya dalam taqwa terdapat ridha Allah ta'ala dan dalam kebaikan terdapat ridha manusia dan barang siapa yang dapat menggabungkan antara ridha Allah ta'ala dan ridha manusia, maka sungguh sempurnalah kebahagiaannya dan sempurna juga kenikmatan hidupnya”.

Dari penjelasan Imam Mawardi di atas dapat dipahami bahwa perbuatan kebaikan, dapat menarik kerelaan dari orang lain dan siapa yang dapat menggabungkan ridha manusia dan ridha Allah ta'ala, maka akan sempurnalah kenikmatan dan kebahagiaan hidupnya, dalam hal ini transplantasi organ tubuh merupakan tindakan memberi kebaikan kepada orang lain, jika dilakukan dengan niat yang baik, kiranya hal demikian merupakan suatu perbuatan yang mulia yang diridhai oleh Allah ta'ala.

Menurut Quraish Shihab, ayat di atas menjelaskan tentang perintah tolong-menolong antar sesama manusia, kemudian meninggalkan apa-apa yang dilarang yang melampauhi batas-batas ajaran Allah SWT dan takutlah kepada azab siksa-Nya dengan menaati-Nya karena sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya bagi oang yang menentang-Nya.[3]

Ibnu Khuwais Al-Mandad juga menjelaskan berdasarkan ayat di atas bahwa perbuatan tolong-menolong dalam kebaikan dapat dilakukan dengan beberapa cara sesuai dengan kemampuan seseorang itu sendiri. Berikut penjelasan beliau:

وقال ابن خويز منداد في أحكامه: والتعاون على البر والتقوى يكون بوجوه، فواجب على العالم أن يعين الناس بعلمه فيعلمهم، ويعينهم الغني بماله، والشجاع بشجاعته في سبيل الله، [4]

Artinya: “Ibnu Khuwaiz Al-Mandad dalam kitab Ahkam-nya berkata: tolong menolong atas kebaikan dan taqwa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu, wajib di atas orang yang berilmu untuk menolong manusia dengan ilmunya, maka dia harus mengajari mereka dan orang kaya menolong dengan hartanya, pemberani menolong dengan keberaniannya di jalan Allah”.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk menolong orang lain dengan apa yang dimilikinya dan apa yang sanggup untuk diberikannya, maka dianjurkan untuk menolong orang lain yang membutuhkan tersebut, dalam hal ini juga termasuk menolong dalam hal tranplantasi organ tubuh. Kemudian Imam Al-Qurthubi juga menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut terdapat larangan saling tolong menolong dalam hal kejahatan dan dosa, ini merupakan garis pembatas dalam sikap saling tolong menolong selama perbuatan saling tolong-menolong tersebut bukan perbuatan yang menzalimi orang lain dan bukan perbuatan yang terlarang, maka segala macam bentuk tolong-menolong diperbolehkan. Berikut penjelasan beliau:

ثم نهى فقال. (ولا تعاونوا على الإثم والعدوان) وهو الحكم اللاحق عن الجرائم، وعن" العدوان" وهو ظلم الناس. [5]

Artinya: “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang dalam firmannya “janganlah kalian saling tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan”. Ini merupakan hukum yang terkait pada segala kejahatan dan “dari pada permusuhan”, yaitu menzalimi manusia”.

Namun sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa dalam fenomena tranplantasi organ, bila diambil dari orang yang hidup dan dengan organ vital yang sangat penting, maka hukumnya haram. Karena perbuatan itu akan memiliki efek bagi yang mendonorkan seperti mata atau ginjal. Ia akan menghadapi resiko dan mendatangkan bahaya dirinya dalam kebinasaan. Pengharaman ini seperti hadis Rasulullah SAW:

‫لا ضرر ولا ضرار [6]

Artinya: “Tidak boleh berbuat kemudharatan dan membalas dengan kemudharatan”.

Maka dari itu, tidak dibenarkan menolong orang lain dengan cara mendermakan organ tubuh seperti mata, tangan dan kaki, karena menimbulkan dharar yang besar pada diri sendiri. Seseorang harus lebih mengutamakan penjagaan dirinya sendiri dari pada menolong orang lain dengan cara mengorbankan dirinya sendiri yang berakibat fatal. Dalam surat An-Nisa ayat 29 Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”. (Qs. An-Nisa ayat 29). [7]

Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa “jangan membunuh diri sendiri” yang ditegaskan dalam surat an-Nisa ayat 29 di atas maksudnya adalah larangan membinasakan secara umum, baik itu membunuh orang lain ataupun membinasakan diri sendiri dengan hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri, bahkan menyebabkan kebinasaan . Berikut uraian beliau:

وأجمع أهل التأويل على أن المراد بهذه الآية النهي أن يقتل بعض الناس بعضا. ثم لفظها يتناول أن يقتل الرجل نفسه بقصد منه للقتل …بأن يحمل نفسه على الغرر المؤدي إلى التلف[8]

Artinya: “Ulama ahli tafsir sepakat menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah larangan kepada manusia membunuh sebagian saudaranya yang lain. Kemudian redaksi lafadz dalam ayat tersebut mencakupi usaha membunuh seorang laki-laki akan dirinya sendiri dengan maksud memang untuk membunuh dirinya, yaitu membawa dirinya ke dalam kerugian yang dapat menyebabkan kebinasaan”.

Dari penjelasan tersebut jelas bahwa sikap seseorang yang dapat membinasakan diri sendiri dilarang dalam Al-Qur’an, bahkan dalam hal ini Imam Al-Qurthubi berhujjah kepada sebuah hadis riwayat seorang sahabat, yaitu Amru Bin Ash sebagai berikut:

وقد احتج عمرو بن العاص بهذه الآية حين امتنع من الاغتسال بالماء البارد حين أجنب في غزوة ذات السلاسل خوفا على نفسه منه، فقرر النبي صلى الله عليه وسلم احتجاجه وضحك عنده ولم يقل شيئا. خرجه أبو داود وغيره[9]

Artinya: “Amru bin as berhujjah dengan ayat tersebut di saat dirinya tertegah untuk dapat mandi dengan air yang dingin saat dia sedang berjunub dalam peperangan dzati salasil, karena merasa khawatir di atas kondisi dirinya sendiri. Maka Nabi SAW mengakui hujjahnya tersebut dan tertawa di sisinya dan tidak mengomentari apapun. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan ulama lain”.

Berdasarkan hadis tersebut juga jelas bahwa tingkat air dingin yang dapat membahayakan kondisi badan saja harus dihindari, maka begitu juga keadaan lain yang dapat membahayakan diri sendiri, dalam hal ini juga termasuk keputusan memberikan donor organ tubuh untuk ditransplantasikan kepada orang lain, bila organ tubuh yang didonorkan tersebut merupakan organ yang sangat mempengaruhi kehidupan dan membahayakan diri sendiri, maka tidak diperbolehkan untuk diberikan kepada orang lain.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa tranplantasi organ yang dilakukan seseorang tidak diperbolehkan bila diambil dari organ tubuh orang yang masih hidup dan mengambil organ penting yang menimbulkan resiko bahaya yang tinggi. Namun bila transplantasi organ dilakukan dari orang yang sudah meninggal, maka kiranya hal ini tidak termasuk menjatuhkan diri sendiri dalam kemudharatan, karena keadaan pendonor sudah tidak merasakan kemudharatan lagi. Namun walaupun demikian, diharamkan menyakiti mayit atau menganiayanya, karena manusia adalah makhluk mulia dan diwajibkan pula memuliakan bangkai manusia, kecuali bagi orang-orang yang mudharat memerlukannya. Sebagaimana firman Allah surat Al-An’am ayat 119:

Artinya: “Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (QS. Al-An’am [6]: 119).
Dalam menjelaskan tafsir surat al-An'am ayat 119 ini Imam Al-Qurthubi menjelaskan sebagai berikut:

(وقد فصل) أي بين لكم الحلال من الحرام، وأزيل عنكم اللبس والشك[10]

Artinya: “(Dan sungguh kami telah menyatakan) maksudnya menjelaskan bagi kalian tentang perkara yang halal dari perkara yang haram dan menghilangkan dari pada kalian ke samar-samaran dan keraguan”.

Kemudian di saat manusia telah memaklumi akan hal-hal yang diharamkan kepadanya, maka Allah memberikan dispensasi dalam bentuk pengecualian atas perkara yang haram tersebut boleh dilakukan apabila dalam keadaan dharurat. Sebagaimana penjelasan Imam Al-Qurthubi berikut:

ثم استثنى فقال (إلا ما اضطررتم إليه) يريد من جميع ما حرم كالميتة وغيرها[11]

Artinya: “Kemudian Allah SWT mengecualikan dalam Firman-Nya; “kecuali apa saja yang kalian mudharat kepadanya”, yang dimaksud adalah semua perkara yang diharamkan seperti bangkai dan selainnya”.

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa transplantasi organ yang diambil dari orang yang sudah meninggal diperbolehkan dengan syarat: penerima donor dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwanya dan transplantasi organ tersebut tidak mengakibatkan penyakit yang lebih berbahaya. Sedangkan transplantasi organ yang dilakukan dari pendonor yang masih hidup dan sehat diperbolehkan dengan tiga syarat, yaitu penerima transplantasi organ dalam keadaan mudharat yang mengancam jiwanya, organ yang ditransplantasikan bukan organ vital yang sangat penting bagi kehidupan dan organ yang didonorkan bukan organ yang terjangkit virus membahayakan.

Bila semua ketentuan syarat tersebut tidak dapat terpenuhi, maka transplantasi organ tubuh manusia diharamkan. Karena termasuk membinasakan orang lain, padahal Allah SWT melarangnya dan malah memerintahkan untuk dapat menjaga kehidupan orang lain. Sebagaimana firman Allah berikut:

Artnya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”. (Qs. Al-Maidah [5]: 32).

Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menyamakan antara pembunuhan manusia yang tidak berdosa dengan membunuh sesama manusia. Karena peraturan baik apapun yang ditetapkan Allah, pada hakikatnya demi kemaslahatan manusia.[12] Dalam memahami kata “man ahya” dalam ayat tersebut Imam Al-Qurthubi menjelaskan:

 (ومن أحياها) تجوز، فإنه عبارة عن الترك والإنقاذ من هلكة[13]

Artinya: “Firman Allah SWT: “Barang siapa yang memberi kehidupan kepada orang lain”. Ini adalah bahasa majas, maka maksud menghidupkan adalah kata lain dari meninggalkan dan melepaskan orang lain dari kebinasaan”.

Imam Al-Qurthubi juga mengutip pandangan mufassir lain dalam mengartikan kata “man ahya” dalam ayat di atas sebagai berikut:

ومن أحياها واستنقذها من هلكة فكأنما أحيا الناس جميعا عند المستنقذ[14]

Artinya: “Firman Allah SWT: “Barang siapa yang memberi kehidupan kepada orang lain dan melepaskannya dari kebinasaan, maka seolah-olah dia telah memberi kehidupan kepada seluruh manusia menurut pandangan orang yang diselamatkan”.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa menurut Imam Al-Qurthubi terkait sikap saling tolong menolong dalam menyelamatkan kemudharatan orang lain (dalam hal ini adalah transplantasi organ tubuh), dibedakan hukumnya sesuai dengan kondisi orang yang mendonorkan organ, bila transplantasi organ tubuh dari orang yang masih hidup dan sehat, maka disyaratkan organ yang didonorkan tersebut bukanlah organ vital yang mempengaruhi kehidupan membahayakan orang yang mendonor dan orang yang menerima transplantasi organ harus orang yang benar-benar terpaksa dalam keadaan mudharat terancam nyawanya.

B. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Menurut Tafsir Al-Munir

Tindakan tranplantasi organ tubuh dari satu sisi merupakan langkah menolak kemudharatan penyakit pada salah satu organ tubuh yang cacat dengan cara menggantinya dengan organ tubuh orang lain. Tentang wajibnya menghilangkan kemudharatan, Allah berfirman dalam surah Al-An’am ayat 119 sebagai berikut:

Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-An’am [6]:119) [15]

Syaikh Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan bahwa ayat ini merupakan sumber dalil pembolehan perkara haram dalam keadaan darurat (dalam hal ini tranplantasi organ dalam keadaan dharurat) dan ayat ini juga merupakan dasar dari kaidah syariat yang menjelaskan tentang masalah darurat. Berikut penjelasan beliau:

فإنه يباح لكم ما وجدتم حال الضرورة. ومن هذه الآية وأمثالها أخذت القاعدة الشرعية: «الضرورات تبيح المحظورات» وقاعدة: «الضرورة تقدر بقدرها»[16]

Artinya: “Maka sesungguhnya dibolehkan untuk kalian apa saja yang kalian dapati di ketika sedang dharurat, maka berdasarkan ayat ini dan ayat-ayat yang lain dijadikan sebuah kaidah syariat “Kemudharatan dapat membolehkan perkara yang haram” dan kaidah lain yaitu “Kemudharatan diukur dengan kadarnya saja”.

Terkait pemilihan perkara haram pada saat dharurat juga dijelaskan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 173 sebagai berikut:

Artinya: “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah [2]: 173).

Syaikh Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan dalam penafsirannya atas surat al-Baqarah ayat 173 ini tentang ketentuan pembolehan perkara yang haram pada saat dharurat sebagai berikut:

غير باغ غير طالب للشيء المحرم ذاته ولا عاد غير متجاوز قدر الضرورة[17]

Artinya: “Kata-kata “ghaira baghin:, maksudnya adalah bukan orang yang sengaja mencari sesuatu yang haram dari zatnya, dan maksud kata “wala ‘adin”, maksudnya adalah bukan orang yang melampaui batas ukuran darurat”.

Lebih jelas lagi Syaikh Wahbah Al-Zuhaili juga menguraikan definisi darurat beserta beberapa ketentuannya sebagai berikut:

من ألجأته الضرورة (وهي أن يصل إلى حد لو لم يتناول المحظور هلك)، بأن لم يجد غيره، وخاف على نفسه الهلاك، ولم يكن راغبا فيه لذاته، ولم يتجاوز قدر الحاجة، فلا إثم عليه، للحفاظ على النفس، وعدم تعريضها للهلاك، ولأن الإشراف على الموت جوعا أشد ضررا من أكل الميتة والدم[18]

Artinya: “Barang siapa yang menghadapi darurat, (Darurat adalah sampainya seseorang kepada batasan yang jikalau dia tidak mengambil sesuatu yang haram, maka dia akan binasa), maksudnya dengan ketentuan bahwa dia tidak memperoleh perkara yang lain, dia takut binasa atas dirinya sendiri, tidak ada perasaan suka pada perkara haram tersebut karena zatnya dan tidak melampaui batas ukuran hajatnya, maka tiada dosa di atasnya, karena sikap demikian merupakan pemeliharaan jiwa dan bukan menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan dengan alasan karena membiarkan diri di atas kematian karena lapar lebih berat kamudharatannya dari pada harus memakan bangkai atau darah”.

Terkait dengan status hukum transplantasi organ tubuh berdasarkan penafsiran atas surat Al-Baqarah ayat 173 serta konsep darurat yang ada pada ayat tersebut dapat dipahami bahwa transplantasi organ tubuh boleh dilakukan apabila seseorang sudah sampai pada batasan darurat dan sesuai dengan konsep darurat, transplantasi organ tubuh hanya boleh dilakukan bila tidak ada solusi lain, ada kekhawatiran terancam nyawanya, tidak ada perasaan suka atas perbuatan transplantasi organ orang lain tersebut dan hanya sebatas hajat organ yang dibutuhkan saja.

Di samping meninjau adanya sisi dharurat, dalam praktek transplantasi organ tubuh juga harus meninjau kepada keadaan orang yang mendonorkan organ tersebut, maka tidak dibenarkan seseorang mendonorkan organnya kepada orang lain, bila hal demikian beresiko dapat membahayakan dirinya sendiri, karena hal demikian termasuk ke dalam membinasakan diri sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 29 berikut:

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu”. (Qs. An-Nisa ayat 29 ). [19]

Syaikh Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan berdasarkan ayat ini seseorang dilarang membunuh dirinya sendiri, maksudnya tidak boleh membunuh sesama manusia ataupun membunuh diri sendiri dengan cara melakukan sebuah perbuatan yang dapat menyebabkan kebinasaan. Syaikh Wahbah Al-Zuhaili juga menegaskan bahwa surat an-Nisa ayat 29 di atas tidak hanya bisa dipahami sebatas larangan membunuh diri sendiri, tapi juga dapat dipahami sebagai larangan atas semua sikap yang dapat membinasakan nyawa, termasuk juga menjerumuskan diri sendiri dalam kebinasaan. Berikut keterangan beliau:

ولا تقتلوا أنفسكم أي لا يقتل بعضكم بعضا، أو لا تقتلوا أنفسكم بارتكاب ما يؤدي إلى هلاكها [20]

Artinya: “Firman Allah “Janganlah kalian bunuh diri kalian”, maksudnya adalah jangan kalian membunuh sebagian kalian akan sebagian yang lain dengan melakukan hal-hal yang menyebabkan kebinasaan”.

Dari penjelasan ini tampak lebih jelas keterkaitan ayat di atas dalam kasus transplantasi organ tubuh, dimana ayat di atas merupakan larangan membunuh diri sendiri atau membunuh orang lain yang dalam hal ini tentu dilarang seseorang mendonorkan organ tubuhnya bila dapat menyebabkan binasa nyawanya sendiri, juga dilarang menerima transplantasi organ tubuh orang lain yang dapat menyebabkan binasa orang lain tersebut, Wahbah Al-Zuhaili juga menjelaskan lebih detil pernafsiran ayat di atas sebagai berikut:

ولا مانع أن تكون الآية نهيا عن قتل الإنسان نفسه وعن قتل الآخرين، وعن كل ما يؤدي إلى الموت كتناول المخدرات والسموم الضارة والمجازفة في المهالك. [21]

Artinya: “Tidak ada penghalang pemahaman bahwa ayat di atas merupakan larangan dari sikap seseorang membunuh diri sendiri atau orang lain, dan larangan dari pada tiap-tiap hal-hal yang dapat menyebabkan kematian, seperti mengkonsumsi benda yang dapat mencelakakan, racun yang dapat memudharatkan atau melemparkan diri dalam kebinasaan”.

Syaikh Wahbah Al-Zuhaili juga menegaskan bahwa sikap menjerumuskan diri sendiri dalam kebinasaan adalah sebuah perbuatan yang dilarang dalam Al-Qur’an, hal demikian juga tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 195. Berikut keterangan beliau:

ومما يدل على حرمة المجازفة بالنفس في المهالك قوله تعالى: ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة [البقرة 2/ 195] [22]

Artinya: “Sebagian dari pada dalil yang menunjukkan atas haram menjerumuskan diri sendiri dalam kebinasaan adalah firman Allah ta'ala “janganlah kalian campakkan diri kalian dalam kebiasaan”. Surat al-Baqarah ayat 195”.

Syaikh Wahbah Al-Zuhaili juga menyatakan bahwa telah terjadi kesepakatan para ulama mufassir tentang ayat di atas yang secara tegas menjadi dalil akan larangan membinasakan diri sendiri:

أجمع أهل التأويل على أن المراد بآية ولا تقتلوا أنفسكم النهي أن يقتل بعض الناس بعضا. ثم لفظها يتناول أن يقتل الرجل نفسه بقصد منه للقتل [23]

Artinya: “Ulama ahli tafsir sepakat menyatakan bahwa maksud ayat di atas “janganlah kalian membunuh diri sendiri”, maksudnya adalah larangan membunuh sesama manusia. Kemudian redaksi lafadz ayat tersebut mencakup kepada makna yang umum tentang seorang laki-laki yang membunuh dirinya sendiri dengan maksud benar-benar ingin membunuh”.

Dalam meninjau hukum tentang tranplantasi organ tubuh, Saikh Wahbah al-Zuhaili juga menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh memberikan atau menjual organ kepada orang lain sekalipun keadaannya sedang mudharat, karena organ tubuh bukan hak milik (haqqul milki). Maka dari itu, pengambilan dan transplantasi organ tubuh tanpa adanya alasan yang dibenarkan secara syar’i hukumnya haram. Namun transplantasi organ tubuh diperbolehkan jika adanya ketentuan-ketentuan mendesak secara syar’i dan tidak adanya kemudharatan bagi pendonor, seperti donor ginjal yang diberikan untuk tranplantasi orang yang mengalami gagal ginjal. Ketentuan lainnya juga bukan merupakan organ vital yang mempengaruhi kehidupannya si pendonir. Dan tidak ada upaya medis lain untuk menyembuhkannya, kecuali dengan transplantasi.

Kesimpulan

Menurut Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an berdasarkan tafsir surat Al-Maidah ayat 32, Al-An’am ayat 119 dan An-Nisa’ ayat 29, pengobatan medis dalam ranah dharurah (dalam hal ini tentang transplantasi organ tubuh) dibedakan hukumnya sesuai dengan kondisi orang yang mendonorkan organ, bila transplantasi organ tubuh dari orang yang masih hidup dan sehat, maka disyaratkan organ yang didonorkan tersebut bukanlah organ vital yang mempengaruhi kehidupan membahayakan orang yang mendonor dan orang yang menerima transplantasi organ harus orang yang benar-benar terpaksa dalam keadaan mudharat yang mengancam nyawanya. 

Sedangkan menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab tafsir Al-Munir, berdasarkan penafsiran surat surat al-Baqarah ayat 173, surat al-Baqarah ayat 195, surat Al-An’am ayat 119 dan surat an-Nisa ayat 29 menegaskan bahwa seseorang tidak boleh memberikan atau menjual organ kepada orang lain, karena organ tubuh bukan hak milik (haqqul milki), kecuali orang tersebut dalam keadaan dharurat (dalam hal ini tentang transplantasi organ tubuh), maka dibolehkan dengan syarat dilakukan apabila seseorang sudah sampai pada batasan yang dapat membinasakan, tidak ada solusi lain, ada kekhawatiran terancam nyawanya, tidak ada perasaan suka atas perbuatan tersebut dan hanya sebatas hajat organ yang dibutuhkan saja.

Foot Note
[1]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2011), hlm.141.
[2]Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Jld.VI, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 47.
[3]M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keseharian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 231.
[4]Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Jld.VI, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) hlm. 47.
[5]Muhammad Ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’a…, hlm. 47.
[6]Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Zahabi, al-Mustadrak, Jld II, (Beirut: Dari al-Fikr, 1978), hlm. 57.
[7]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2011), hlm.104.
[8]Muhammad Ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Jld.V, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 157.
[9]Muhammad Ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an…, hlm. 157.
[10]Muhammad Ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Jld.V, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 157.

[11]Muhammad Ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an…, hlm. 157.
[12]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah…, hlm. 81
[13]Muhammad Ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an…, hlm. 147.
[14]Muhammad Ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an…, hlm. 146.
[15]Departemen Agama RI, Al- Qur‟an dan Terjemahannya…, hlm. 144.
[16]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.VIII, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), hlm.21.
[17]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.II, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), hlm.77.
[18]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, hlm.79.
[19]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya…, hlm.104.
[20]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.V, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), hlm.30.

[21]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, hlm.33.
[22]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, hlm.33.
[23]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.V, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), hlm.37.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama