Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Mati Menurut Pandangan Syaikh Wahbah Al-Zuhaili
Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa hukuman mati tidak boleh sembarangan ditegakkan kecuali terdapat hak. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)”. (QS. Al-An’am [6]: 151). [1]
Dalam memahami ayat di atas, Syaikh Wahbah al-Zuhaili membatasi tentang hukum membunuh atas nama hak hanya berlaku pada tiga perkara yang hal demikian telah jelas dinyatakan dalam hadis Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Berikut keterangan beliau:
وأما القتل بحق فله ثلاث حالات ورد بيانها في حديث الصحيحين عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لا يحل دم امرئ مسلم إلا بإحدى ثلاث: الثيب الزاني، والنفس بالنفس، والتارك لدينه المفارق للجماعة» وفي لفظ: «كفر بعد إيمان، وزنى بعد إحصان، وقتل نفس بغير حق[2]
Artinya: “Adapun membunuh dengan hak, maka dibolehkan baginya pada tiga keadaan yang telah dijelaskan dalam hadis shahih riwayat Ibnu Mas'ud radhiallahu ‘anhu, Beliau berkata; Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda; tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan sebab salah satu dari tiga perkara, yaitu orang yang sudah menikah namun berzina, yang kedua pembalasan nyawa dengan nyawa dan orang yang meninggalkan agama Allah dan memisahkan diri dari jamaah. Sedangkan dalam lafaz hadis yang lain disebutkan tiga perkara, yaitu kafir sesudah beriman, berzina sesudah berumah tangga dan membunuh nyawa seseorang dengan tanpa hak”.
Firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”, ayat tersebut adalah larangan untuk membunuh jiwa yang diharamkan, baik seorang muslim maupun orang yang mendapat perlindungan umat Islam. Kecuali dengan cara yang benar yang Allah wajibkan untuk membunuhnya. [3]
Hukuman mati diwajibkan untuk pertama sekali diturunkan Allah dalam QS. al-Baqarah [2]: 178, yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”. (QS. Al-Baqarah [2]: 178). [4]
Syaikh Wahbah al-Zuhaili menjelasan sebab turunnya ayat ini diterangkan dalam sebuah riwat, bahwa pada masa jahiliyah dahulu, jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, baik yang menjadi korban itu orang merdeka atau hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan, maka yang di-qishash adalah tetap orang laki-laki merdeka, sehingga turunlah surat Al-Baqarah [2] ayat 178 tersebut yang menjelaskan hukum Qishash:
فأنزل الله هذه الآية، يخبرهم أن العبد بالعبد، والأنثى بالأنثى، فنهاهم عن البغي[5]
Artinya: “Allah menurunkan ayat ini untuk mengkhabarkan kepada kaum jahiliyah bahwa qishash hamba dengan hamba, perempuan dengan perempuan. Maka Allah jiga melarang mereka dari melakukan perbuatan yang berlebihan”.
Sedangkan Imam Ibn Katsir menerangkan terkait asbâb al-nuzûl ayat ini di atas bahwa Imam Abu Muhammad ibn Abi Hatim meriwayatkan, “Telah diinformasikan kepada kami oleh Abu Zur‘ah, Yahya ibn Abdullah ibn Bukair, Abdullah ibn Luhi’ah, dan `Atha’ ibn Dinar dari Sa’id ibn Jubair mengenai firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, yakni apabila dilakukan dengan sengaja orang merdeka dengan orang merdeka”. Mereka mengatakan bahwa pada waktu itu ada dua suku bangsa Arab saling berperang pada masa jahiliyah, beberapa waktu sebelum datangnya Islam. Maka, di antara mereka terjadilah pembunuhan dan pelukaan, sehingga mereka membunuh budak-budak dan kaum wanita, kemudian sebagian mereka tidak membalas atas sebagian yang lain sehingga datangnya agama Islam. [6]
Salah satu dari kedua suku itu bertindak berlebihan terhadap yang lain dalam jumlah dan harta. Lantas mereka mengadakan janji setia secara internal bahwa mereka tidak rela sehingga mereka membunuh orang merdeka sekalipun orang itu cuma membunuh budak saja, dan membunuh laki-laki meskipun laki-laki itu hanya membunuh seorang perempuan. Kemudian turunlah ayat di atas, “Orang merdeka (dibalas) dengan (membunuh) orang merdeka, budak dengan budak, dan perempuan dengan perempuan”.[7]
Kaitan turunlah surat Al-Baqarah [2] ayat 178 tersebut dengan hukum grasi hukuman mati terhadap seorang narapidana yang diberikan oleh pemerintah, Syaikh Wahbah al-Zuhaili mendasarkan kepada hukum qishash dalam surat al-Baqarah ayat 178 dengan menafsirkan kata “min akhihi” (dari saudaranya) yang bermakna hanya wali sedarah yang memiliki wewenang untuk memaafkan hukuman mati qishash tersebut. Berikut penjelasan beliau:
فمن عفي له من أخيه شيء أي من عفي له من جهة ولي الدم شيء من العفو[8]
Artinya: “Barang siapa yang diberi kemaafan baginya dari saudaranya, akan sesuatu, maksudnya barang siapa yang diberikan kemaafan baginya dari pihak wali sedarah akan sesuatu kemaafan”.
Kemudian Syaikh Wahbah al-Zuhaili juga menegaskan bahwa maksud dari kata “saudaranya” dalam surat al-Baqarah ayat 178 yang memiliki wewenang untuk memberi kemaafan hukuman qishash adalah keluarga sedarah dari pihak ahli waris yang mendapatkan kemaafan. Berikut penjelasan beliau:
فمن عفي له عن جنايته من جهة أخيه ولي الدم، حتى ولو كان واحدا من أولياء الدم أو القتيل: وهم عصبته الذين يعتزون بوجوده[9]
Artinya: “Maka Barang siapa yang diberikan kemaafan untuknya tentang kasus pidananya dari pihak saudaranya, maksudnya wali sedarah, sehingga walaupun wali tersebut hanya satu orang dari wali-wali yang sedarah atau wali korban. Mereka adalah orang-orang yang menerima kemaafan yang ditinjau sesuai dengan keberadaannya saja”.
Para ulama sepakat bahwa ayat ini menetapkan kewajiban menerapkan qishâsh untuk pembunuhan yang sengaja atau diniatkan, namun terjadi perbedaan pemahaman diantara para ulama dan pakar hukum mengenai bentuk dari pembunuhan sengaja, apakah orang yang merdeka di-qishâsh atas pembunuhan yang dia lakukan terhadap seorang hamba atau tidak?, atau orang muslim kepada orang kafir atau ahli dzimmi?. Imam Abû Hanîfah menilai bahwa ayat di atas bersifat umum untuk seluruh pembunuhan, baik yang dilakukan oleh orang merdeka kepada seorang hamba dan sebaliknya, ataupun seorang dzimmi kepada seorang Muslim dan sebaliknya.[10]
Selain dasar pikiran di atas, Imam Abû Hanîfah juga menyatakan bahwa pernyataan hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orangorang yang dibunuh dan ungkapan orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita merupakan dua ungkapan yang terpisah. Masing-masing merupakan kalimat yang sempurna dan berdiri sendiri. Kalimat pertama menjelaskan secara umum mengenai hukum qishâsh, sedangkan kalimat kedua merupakan penjelasan atau penyangkalan terhadap kekeliruan orang-orang jahiliyah yang pada waktu itu, sering melakukan pembalasan yang tidak seimbang. Sebagaimana yang tersebut di dalam asbâb an-nuzûl ayat ini; yaitu apabila ada salah seorang dari kelompok mereka yang terbunuh maka mereka menuntut balas lebih dari satu orang; yakni dengan membunuh beberapa orang. Bukan merupakan pembatasan status sebagai hamba dengan hamba, melainkan pembatasan satu banding satu.[11]
Terkait wewenang dalam pemberian kemaafan hukuman mati dalam perkara qishash juga dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Isra ayat 33 sebagai berikut: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (QS. Al-Isra’ [17]: 33).
Berdasarkan ayat ini Syaikh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa barang siapa yang telah membunuh orang lain dengan secara zalim, maka wajib diberlakukan terhadapnya qishash dengan cara dihukum mati
فقال: ومن قتل مظلوما فقد جعلنا لوليه سلطانا.. أي ومن قتل ظلما وعدوانا بغير حق يوجب قتله،[12]
Artinya: “Firman Allah SWT: “barang siapa yang telah membunuh orang lain dengan secara zalim, maka kami jadikan walinya sebagai raja”. Maksudnya barang siapa yang telah membunuh orang lain dengan secara zalim dengan tanpa hak, maka wajib dihukum mati”.
Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat di atas diawali dengan seruan (Hai orang-orang yang beriman), yang mengisyaratkan adanya hukum yang akan diterangkan. Dari panggilan ini seolah-olah Allah mengatakan: “Karena kamu telah menyatakan keimananmu kepada-Ku, maka dengarkanlah perintah taklif berikut ini”. Kemudian Allah swt berfirman: “diwajibkan atas kamu qishâsh”. Artinya, Allah mewajibkan orang-orang mukmin untuk melaksanakan qishâsh seperti kewajiban melaksanakan shalat dan puasa.[13]
Lebih jauh, Imam Sya‘rawi menegaskan bahwa kata “kutiba” mengisyaratkan sebuah kemaslahatan. Hal ini terlihat dari kelanjutan ayat berupa penetapan sanksi qishâsh kepada pembunuh yang dengannya lahir sebuah kemaslahatan bagi kerabat yang dibunuh (wali ad-dam) agar dapat menuntut. Begitu pula sebaliknya, karena setiap orang mungkin menjadi pembunuh atau yang dibunuh. Ketika ia menjadi pembunuh, maka qishâsh menjadi beban yang harus diterima. Namun, ketika ia terbunuh, maka qishâsh merupakan kemaslahatan baginya. Dengan demikian syariat itu menyentuh ke seluruh lapisan masyarakat.[14]
Dalam ayat diatas juga menjelaskan bahwa qishâsh itu tidak perlu dilakukan, bila yang membunuh mendapat kemaafan dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Keumuman ayat yang pada awalnya menetapkan kewajiban qishâsh kemudian diberi pengkhususan (takhshîsh), yaitu bila dimaafkan oleh saudaranya (ahli waris korban) maka qishâsh dibatalkan. [15]
Pembunuhan tergolong tindak pidana yang secara langsung mengganggu fisik seseorang, walaupun kepentingan umum juga terganggu di sini, tapi sifatnya tidak langsung. Pelakunya akan dituntut atau diberikan ampunan (maaf) atas tindakan yang dilakukannya tersebut oleh korban yang bersangkutan atau keluarga korban. Ia akan diproses dalam kepentingan si korban dan keluarganya, baik dalam penyelidikan delik pidana (investigating the crime), pengusutan atau penuntutan hukum qishâsh.
Pemerintah sebagai public authority dalam hal ini tidak memiliki wewenang untuk memberikan intervensi. Kata (saudaranya) dalam ayat tersebut, menurut sebagian ulama terutama ulama Syafi’iyah merujuk kepada saudara seagama, karena qishâsh itu hanya berlaku terhadap orang yang seagama saja. Tidak diberlakukan qishâsh bagi orang Islam yang telah membunuh seorang kafir dzimmi.[16]
Memahami dari bentuk hukum jinayah yang ada, kiranya hukuman mati dalam kelompok hukum jinayah terbagi dua, yaitu hukum had dan hukum ta’zir. Syaikh Muhammad Mustafa Al-Zuhaili mendefinisikan hukum had sebagai berikut:
الحدود: جمع حد، وهو عقوبة مقدرة شرعاً حقاً لله تعالى [17]
Artinya: “Hudūd kata jamak dari had, yaitu hukuman yang sudah dikadarkan pada syara’ sebagai hak Allah ta’ala”.
Definisi ini sama persis dengan definisi had yang dikemukakan dalam madzab hanafi, sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Wahbah Al-Zuhaili berikut:
والحد في الشرع في اصطلاح الحنفية: عقوبة مقدرة واجبة حقا لله تعالى[18]
Artinya: “Had menurut syariat dalam istilah madzhab Hanafi adalah hukuman yang wajib dan sudah ditetapkan ukurannya sebagai hak Allah ta’ala”.
Sedangkan hukuman ta’zir didefinisikan oleh Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam karya beliau berikut:
وهوشرعا: العقوبة المشروعة على معصية أو جناية لا حد فيها، ولا كفارة سواء أكانت الجناية على حق الله تعالى أم على حق العباد[19]
Artinya: “Ta’zīr merupakan hukuman yang diberlakukan terhadap suatu bentuk kemaksiatan atau kejahatan yang tidak ada ancaman hukuman had dan tidak pula kafarat, baik itu kejahatan berupa hak Allah SWT maupun kejahatan berupa hak Adami”.
Perbedaan antara hukuman had dan ta’zīr yang berdampak pada peran wewenag pemerintah dalam memtuskannya juga dapat dilihat dari penjelasan Syaikh Wahbah al-Zuhaili berikut:
إن عقوبات الحدود والقصاص مقدرة مقدما في الشرع للجرائم الموجبة لها، وليس للقاضي تقدير العقوبة بحسب ظروف المجرم أو ظروف الجريمة. أما عقوبات التعزير فمفوض تقديرها إلى القاضي[20]
Artinya: “Sesungghnya hukuman kategori had dan qishash sudah ditetapkan kadarnya lebih dulu dalam syariat bagi kasus-kasus kejahatan yang wajib dijatuhi hukuman had dan tidak boleh bagi qadhi menetapkan kadar ukuran hukumannya dengan sekira-kira keparahan korbannya atau tindak kejahatannya. Adapun hukuman ta’zīr, mak diserahkan penentuan kadar hukumannya kepada qadhi”.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa wewenang pemerintah dalam memberikan grasi hukumn mati kiranya hanya berlaku pada kasus jarimah yang dijatuhi hukuman mati dalam kategori ta’zīr saja, tidak berlaku pada kasus jarimah yang dijatuhi hukuman had, karena hanya masalah kasus jarimah yang dijatuhi hukuman ta’zīr saja yang diberikan wewenang kepada pemerintah untuk memutuskannya, seperti kasus maisir, khalwat, ikhtilath, pelecehan seksual, pemerkosaan, liwath dan musahaqah.
Sedangkan kasus jarimah yang dijatuhi hukuman had seperti khamar, zina, qishash dan qadzaf, bukan merupakan wewenang pemerintah untuk memutuskannya, karena hukuman had merupaka hak Allah SWT yang sudah jelas tertera dalam nash syariat.
Namun dalam kitab Tafsir Al-Munir, Syaikh Wahbah al-Zuhaili menegaskan juga bahwa dalam pemberian maaf atas hukuman mati dalam kasus qishash, pemerintah mendapatkan wewenang untuk menggantikan wali atau ahli waris dari korban, bila wali dan ahli waris korban tersebut sudah tidak ada lagi. Maka dalam hal ini pemerintah juga berhak untuk memutuskan pilihan apakah menjatuhkan hukuman mati ataupun membayar diyat sebagai tembusan qishash. Berikut penjelasan beliau:
فقد جعلنا لمن يلي أمره من وارث أو سلطان حاكم عند عدم الوارث سلطة على القاتل ومنحه الخيار بأحد أمرين: إما القصاص (القود) منه بعد حكم قضائي وبإشراف القاضي، وإما العفو عنه على الدية أو مجانا[21]
Artinya: “Firman Allah: “sungguh kami telah menjadikan bagi orang yang menjadi wali urusan si korban, yaitu dari pihak ahli waris atau pemimpin, yaitu hakim, di ketika tidak ada ahli waris, menjadikan wewenang di atas pembunuh dan dihadapkan pilihan antara salah satu dari dua urusan; adakala memilih qishash sesudah adanya hukum yang resmi dan terbukti pasti dan dengan pengajuan kepada qadhi dan adakala diberi kemaafan dari si pelaku atas pembayaran diyat atau maaf semata-mata”.
Di sisi lain, Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa sisi pandang keadaan narapidana untuk dapat ditangguhkan hukumannya bila terdapat luka di tubuhnya, maka pada saat demikian pemerintah berwewenang untuk menunda hukuman tersebut hingga luka tersebut sembuh:
ثم قالوا: لا يجوز أن يقتص من الجراحة حتى تندمل جراحه المجني عليه، فإن اقتص منه قبل الاندمال ثم زاد جرحه، فلا شيء له، والدليل على ذلك ما رواه الإمام أحمد عن عمرو بن شعيب، عن أبيه، عن جده أن رجلا طعن رجلا بقرن في ركبته، فجاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: أقدني، فقال «حتى تبرأ» ، ثم جاء إليه فقال: أقدني، فأقاده فقال: يا رسول الله عرجت، فقال «قد نهيتك فعصيتني، فأبعدك الله وبطل عرجك» ثم نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يقتص من جرح حتى يبرأ صاحبه، تفرد به أحمد[22]
Artinya: “Kemudian mereka mengatakan bahwa tidak boleh melakukan hukum qishâsh pada luka yang belum mengering (sembuh); karena jika dia melakukan hukum qishâsh (pembalasan) sebelum lukanya kering, kemudian ternyata lukanya itu bertambah parah, maka tidak ada hak lagi baginya untuk menuntut pelakunya. Dalil yang menunjukkan hal tersebut ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya: bahwa pernah terjadi seorang lelaki menusuk lutut lelaki lain dengan tanduk. Lalu orang yang ditusuk itu datang kepada Nabi Saw. dan berkata, "Berikanlah hak qishâsh kepadaku." Nabi Saw. menjawab, "Tunggu sampai kamu sembuh." Kemudian ia datang lagi dan berkata, "Berilah aku hak qishâsh" maka Nabi Saw. memberikan hak qishâsh kepadanya Sesudah itu ia datang lagi dan berkata, "Wahai Rasulullah,kini aku menjadi pincang." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Aku telah melarangmu (cepat-cepat melakukan qishâsh), tetapi kamu mendurhakai perintahku, maka akibatnya Allah menjauhkanmu (dari rahmat-Nya) dan membatalkan (hak qishâsh) kepincanganmu. Kemudian Rasulullah Saw. melarang melakukan hukum qishâsh karena pelukaan, kecuali bila orang yang dilukai telah sembuh dari lukanya. Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid”.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya tidak ada wewenang bagi pemerintah untuk memberikan grasi (keringanan hukum) atas hukuman mati terhadap seorang narapidana dalam kasusnya, karena apabila kasus tersebut adalah terkait dengan qishash, maka yang berhak memberikan keringanan hukum atau kemaafan adalah pihak wali atau keluarga yang sedarah dengan korban tersebut dan apabila hukuman tersebut masuk dalam ranah kategori hukuman had, maka ketentuan hukumnya sudah jelas dan tegas tersebut dalam nash Al-Qur’an dan hadis, maka dalam hal demikian, seorang pemerintah tidak memiliki wewenang untuk mengubahnya, namun di sisi lain, apabila kasus kejahatan tersebut adalah kasus narapidana yang tergolong dalam kategori hukuman ta’zir, maka sifat hukumannya dikembalikan sepenuhnya atas pertimbangan pemerintah atau hakim terkait. Begitu juga apabila dalam kasus qishash, pemerintah atau hakim juga berwewenang untuk memberi kemaafan bila keluarga dari korban sudah tidak ada lagi.
Metode Istidlāl Syaikh Wahbah Al-Zuhaili Terkait Status Grasi Terhadap Terpidana Mati
Corak penafsiran Syaikh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Tafsir Al-Munir termasuk sebagai corak tafsir yang ideal, karena selaras antara ‘adabi, ijtima’i, dan fiqh-nya. Dalam kata pengantar beliau menyetakan: Kalau tujuan saya adalah menyusun sebuah tafsir Al-Qur’an karim yang menggabungkan antara ma’sur dan ma’qul, dengan memakai referensi terpercaya, juga dari buku-buku seputar Al-Qur’an al-Karim, baik mengenai sejarah, penjelasan sebab-sebab turunnya ayat atau i’rab yang membantu menjelaskan banyak ayat. [23]Metode atau kerangka pembahasan kitab Tafsir Al-Munir ini, dapat diringkas sebagai berikut:
1. Membagi ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam satuan-satuan topik dengan judul-judul penjelas.
2. Menjelaskan kandungan setiap surah secara global.
3. Menjelaskan aspek kebahasaan.
4. Memaparkan sebab-sebah turunnya ayat dalam riwayat yang paling shahih dan mengesampingkan riwayat yang lemah, serta menerangkan kisah-kisah para Nabi dan peristiwa-peristiwa besar Islam, seperti perang badandan uhud, dari buku-buku sirah yang paling dapat dipercaya.
5. Tafsir dan penjelasan.
6. Hukum-hukum yang dipetik dari ayat-ayat.
7. Menjelaskan balaghah (retorika) dan i’rab (sintaksis) banyak ayat agar hal itu dapat membantu untuk menjelaskan makna bagi siapa pun yang menginginkannya, tetapi dalam hal ini saya menghindari istilah-istliah yang menghambat pemahaman tafsir bagi orang yang tidak ingin memberi perhatian kepada aspek (balaghah dan i’rab) tersebut. Sedapat mungkin dalam Tafsir Al-Munir, Syaikh Wahbah Al-Zuhaili mengutamakan Tafsir maudhu’i (tematik), yaitu menyebutkan tafsir ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan suatu tema yang sama seperti jihad, hudud, waris, hukum-hukum pernikahan, riba, khamr, dan saya akan menjelaskan pada kesempatan pertama segala sesuatu yang berhubungan dengan kisah Al-Qur’an seperti kisah para Nabi: Adam a.s, Nuh a.s, Ibrahim a.s, dan lain-lain, kisah Fir’aun dengan Nabi Musa a.s, serta kisah Al-Qur’an diantara kitab samawi. [24]
Dalam memahami hukum grasi (memberi keringanan) hukuman mati, Syaikh Wahbah al-Zuhaili mendasarkan pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 178 yang menyatakan orang yang memiliki wewenang dalam pemberian kemaafan terhadap keputusan hukuman mati dalam kasus qishash adalah wali dari korbannya yang sedarah dengan korban, dengan memahami penafsiran dari kata “min akhihi” (dari saudaranya):
“Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”. (QS. Al-Baqarah [2]: 178). [25]:
Syaikh Wahbah al-Zuhaili mengkhususkan makna “saudara” dalam ayat tersebut hanyalah kepada wali dan ahli waris, berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 33 yang menegaskan bahwa Allah telah menjadikan wali dari korban yang dapat memberikan kemaafan kepada pelaku pembunuhan. Berikut penjelasan beliau:
فقد جعلنا لمن يلي أمره من وارث أو سلطان حاكم عند عدم الوارث سلطة على القاتل ومنحه الخيار بأحد أمرين: إما القصاص (القود) منه بعد حكم قضائي وبإشراف القاضي، وإما العفو عنه على الدية أو مجانا[26]
Artinya: “Firman Allah: “sungguh kami telah menjadikan bagi orang yang menjadi wali urusan si korban, yaitu dari pihak ahli waris atau pemimpin, yaitu hakim, di ketika tidak ada ahli waris, menjadikan wewenang di atas pembunuh dan dihadapkan pilihan antara salah satu dari dua urusan; adakala memilih qishash sesudah adanya hukum yang resmi dan terbukti pasti dan dengan pengajuan kepada qadhi dan adakala diberi kemaafan dari si pelaku atas pembayaran diyat atau maaf semata-mata”.
Dalam Al-Qur’an surat al-Isra ayat 33 Allah SWT berfirman sebagai berikut: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (QS. Al-Isra’ [17]: 33).
Dengan metode istidlᾱl takhshis antara satu ayat dengan ayat lain yang dipahami oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili tersebut, beliau berkesimpulan bahwa dalam kasus qishash, hanya wali atau ahli waris yang memiliki wewenang untuk memberi kemaafan atas hukuman mati kepada pelaku pembunuhan, namun di saat ahli waris dan wali sudah tidak ada lagi, maka dalam hal ini wewenang diberikan kepada pemerintah atau hakim terkait. [27]
Kesimpulan
Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Tafsir Al-Munir menegaskan bahwa dalam pemberian maaf atas hukuman mati dalam kasus qishash, pemerintah mendapatkan wewenang untuk menggantikan wali atau ahli waris dari korban, bila wali dan ahli waris korban tersebut sudah tidak ada lagi. Maka dalam hal ini pemerintah juga berhak untuk memutuskan pilihan apakah menjatuhkan hukuman mati ataupun hanya membayar diyat sebagai tembusan qishash.
Foot Note:
[1]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Diponegoro, 2007), hlm.214.
[2]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.VIII, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), hlm.98.
[3]Imam Al-Qurthubȋ, Al-Jâmi’ lil Ahkâm Al-Qur’an, jilid ke-7, terj. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 330.
[4]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2008) hlm.28.
[5]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, hlm.105.
[6]Abû al-Fidâ’ Isma‘îl bin ‘Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I (Cairo: Dâr Thaibah Linnasyar wa al-Tauzi‘, 1999), hlm. 489
[7]Abû al-Fidâ’ Isma‘îl bin ‘Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz I (Cairo: Dâr Thaibah Linnasyar wa al-Tauzi‘, 1999), hlm. 489
[8]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), hlm.102.
[9]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr.., hlm.106.
[10]Alî as-Sâis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, Jld II (Beirut: Dâr al-Qâhirah, t.t.), hlm. 131.
[11]Alî as-Sâis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, Jld II (Beirut: Dâr al-Qâhirah, t.t.), hlm. 131.
[12]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), hlm.106.
[13]Abû Ja‘far Al-Thabarî, Jâmi`u al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Juz. III (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 2000), hlm. 357.
[14]Muhammad Mutawally Sya‘râwî, Tafsîr al-Sya‘râwî, Jld. V (Beirut: Mathabi’ al-Akhbar al-Yaum, 1997), hlm. 758
[15]Muhammad Mutawally Sya‘râwî, Tafsîr al-Sya‘râwî…, hlm. 758.
[16]Imam Al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi‘ al-Ahkâm al-Qur’ân…, hlm. 636-63.
[17]Syaikh Muhammad Mustafa Al-Zuhaily, Al-Qawāid Al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātihā Fī Al-Mazāhib Al-Arba’ah, jld.II (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) hlm.706.
[18]Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jld.VII, (Suriyah: Dar al-Fikri, tt), hlm.5274.
[19]Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jld. VII, (Suriyah: Dar al-Fikri, tt), hlm.5591.
[20]Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu…, hlm.5286.
[21]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), hlm.106.
[22]Abi al-Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, Tafsi al-Qur’an al-‘adzim, Jld.III, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, tt), hlm.112
[23]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, hlm. Xvii.
[24]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.I, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), hlm. 17.
[25]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2008), hlm.28.
[26]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, hlm.106.
[27]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, hlm.106.