Hukum dan dalil Qiblat |
Yuk...Gabung ke Grup Whatshap kami untuk leluasa berkonsultasi kitab kuning. Klik link berikut ini: Kitabkuning90 (Inan.id)
Hukum Menghadap Kiblat Menurut Al-Madzᾱhib Al-Arba’ah
Salah satu syarat sah shalat ialah menghadap kiblat. Arah kiblat umat Islam seluruh dunia ialah Ka’bah yang berada di Makkah. Seseorang yang tidak menghadap kiblat saat shalat, dihukumi tidak sah, kecuali dalam dua kondisi, yakni ketika shalat khauf dan shalat sunnah yang dilaksanakan di atas kendaraan. Hal ini dinyatakan oleh Imam Abu Ishak al-Syairazi dalam kitab Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syᾱfi’i sebagai berikut:
استقبال القبلة شرط في صحة الصلاة إلا في حالين في شدة الخوف وفي النافلة في السفر[1]
Artinya: “Menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat kecuali dalam dua kondisi, yakni ketika kondisi teramat bahaya (perang berkecamuk) dan shalat sunnah yang dikerjakan saat perjalanan”.Terkait kewajiban menghadap kiblat saat shalat, memiliki dua kondisi yang berbeda dan berakibat kepada konsekwensi hukum yang berbeda pula. Bila Ka’bah tampak langsung di depan mata, maka wajib menghadap ‘ain (dzat) Ka’bah tersebut. Namun para ulama madzhab berbeda pendapat bila dalam kondisi jauh dari Ka’bah, sebagaian ulama dari satu madzhab berpendapat bahwa yang wajib dihadap adalah ‘ain (dzat) ka’bah dan sebagian madzhab yang lain berpendapat yang wajib dihadap hanyalah arahnya saja. Berikut penulis paparkan perbedaan pandangan ulama madzahib arba’ah dalam memaknai kewajiban menghadab kiblat saat shalat bila dalam keadaan jauh dari Ka’bah:
a) Madzhab Hanafi
Ulama Madzhab Hanafi berpendapat perihal menghadap kiblat dalam shalat bila jauh dari Ka’bah, adalah cukup dengan menghadap arahnya, tidak harus menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah. Pendapat ini sama dengan pandangan dalam madzhab Maliki, sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni berikut:
وذهب الحنفية والمالكية إلى أنّ الواجب استقبال جهة الكعبة[2].
Artinya: “Ulama madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa sesungguhnya yang wajib adalah menghadap arah Ka’bah”.Terkait kewajiban menghadap kiblat saat shalat bila jauh dari Ka’bah, Syaikh Abdurrahman Al-Jazari menjelaskan pandangan ulama madzhab Hanafi sebagai berikut:
الحنفية قالوا: من يجهل القبلة ويريد أن يستدل عليها لا
يخلو حاله إما أن يكون في بلدة أو قرية. وإما أن يكون في الصحراء ونحوها … فإن كان الشخص في
بلد من بلدان المسلمين. وهو يجهل جهة القبلة. فإن له ثلاث حالات: الحالة الأولى:
أن يكون في هذه البلدة مساجد بها محاريب قديمة. وضعها الصحابة أو التابعون … وفي هذه الحالة يجب
عليه أن يصلي إلى جهة هذه المحاريب القديمة[3].
الحالة الثانية: أن
يكون جهة ليست بها محاريب قديمة. وفي هذه الحالة يجب أن يعرف القبلة بالسؤال عنها[4]
الحالثة الثالثة:
أن لا يجد محراباً ولا شخصاً يسأله، وفي هذه الحالة عليه أن يعرف القبلة بالتحري،
بأن يصلي إلى الجهة التي يغلب على ظنه أنها جهة القبلة[5]
أما إن كان مسافراً في الصحراء ونحوها من الجهات التي ليس بها سكان من المسلمين، فإنه إذا كان عالماً بالنجوم، ويعرف اتجاه القبلة بها أو بالشمس أو القمر، فذاك، وإن لم يكن عالماً ووجد شخصاً عارفاً بالقبلة، فإنه يجب عليه أن يسأله. وإذا سأله ولم يجبه، فعليه أن يجتهد في معرفة جهة القبلة بقدر ما يستطيع، ثم يصلي[6]
Artinya: “Adapun jika keadaan orang tersebut dalam musafir di lapangan atau seumpamanya yang tidak ada tempat tinggal orang-orang muslim, maka jika dirinya mampu mengetahui kiblat dengan bintang, dan mengetahui arah menghadapnya dengan bintang tersebut atau dengan matahari atau bulan, maka lakukanlah demikian. Namun jika dirinya tidak mungkin mengetahuinya dan bertemu dengan orang yang mengetahui kiblat, maka wajib atasnya untuk bertanya, tapi bila saat ditanya dan tidak mendapat jawaban, maka wajib atasnya ber-ijtihᾱd untuk mengetahui arah kiblat dengan ukuran semampunya, kemudian laksanakan shalat”.Dari keterangan ini tampak jelas bahwa yang wajib perihal menghadap kiblat bagi oang yang jauh dari Ka’bah menurut madzhab Hanafi adalah hanya wajib menghadap arah Ka’bah saja dengan konsekuensi bila seseorang berada di daerah pemukiman wajib atasnya mengikuti mihrab masjid masa lalu atau bertanya pada orang lain di tempat tersebut atau ber-ijtihᾱd sendiri mencari ke mana arah kiblat. Bila dia berada bukan di daerah pemukiman orang Islam, maka wajib baginya ber-ijtihᾱd sendiri mencari arah kiblat, bila tidak bisa baru bertanya pada orang lain”.
b) Madzhab Maliki
Adapun dalam madzhab Maliki, ketentuan menghadap kiblat dalam sembahyang bagi orang yang jauh dari Ka’bah adalah sebagai berikut:
المالكية قالوا:
يجب على من كان بمكة أو قريباً منها أن يستقبل القبلة بناء الكعبة، بحيث يكون
مسامتاً لها بجميع بدنه، ولا يكفيه استقبال هوائها، على أنهم قالوا: إن من صلى على
جبل أبي قبيس فصلاته صحيحة، بناءً على القول المرجوح من أن استقبال الهواء كاف[7]
إذا كان المصلي في
جهة لا يعرف القبلة، فإن كان في هذه الجهة مسجد به محراب قديم، فإنه يجب عليه أن
يصلي إلى الجهة التي فيها ذلك المحراب[8]
فإن وجد في جهة ليس بها محاريب وكان يمكنه أن
يتحرى جهة القبلة، فإنه يجب عليه أن يتحرى، ولا يسأل أحداً، الا إذا خفيت عليه
علامات القبلة، وفي هذه الحالة يلزمه أن يسأل عن القبلة شخصاً مكلفاً عدلاً،
عارفاً بأدلة القبلة، ولو كان أنثى أو عبداً.
هذا إذا كان أهلاً للتحري وللاجتهاد، فإن لم يكن أهلاً لذلك، فإنه يجب عليه أن يسأل شخصاً مكلفاً عدلاً عارفاً بالقبلة، فإن لم يجد من يسأله فإنه يصلي إلى أي جهة يختارها وتصح صلاته[9]
Artinya: “Maka jika seseorang tersebut berada di arah yang tidak ada mihrab masa lalu dan dia mungkin untuk mengetahui arah kiblat, maka wajib atasnya untuk ber-ijtihᾱd dan tidak bolh bertanya pada seorang pun kecuali tersembunyi tanda-tanda kiblat darinya. dan pada kondisi ini, sseorang tersebut wajib bertanya pada orang yang mukallaf lagi adil dan mengetahui tanda-tanda kiblat, sekalipun orang tersebut adalah perempuan dan hamba sahaya. Keadaan ini apabila orang tersebut adalah orang yang sanggup ber-ijtihᾱd, jika dia tidak sanggup ber-ijtihᾱd, maka wajib atasnya untuk bertanya pada orang lain yang mukallaf, adil dan mengetahui arah kiblat. Jika dia tidak mendapati orang tempat bertanya, maka dia harus shalat ke arah mana saja yang dia pilih dan sahlah shalatnya tersebut”.Dari uraian di atas dapat difahami bahwa dalam madzhab Maliki sebagaimana pula dalam madzhab Hanafi terkait kewajiban menghadap kiblat bagi orang yang jauh dari Ka’bah adalah hanya wajib menghadap arahnya saja, dengan cara berpedoman pada mihrab masa dahulu atau ber-ijtihᾱd sendiri mencari tanda-tanda arah kiblat atau dengan bertanya kepada orang lain yang mengerti arah kiblat.
c) Madzhab Syᾱfi’i
Sedangkan dalam madzhab Syᾱfi’i perihal menghadap kiblat bagi orang yang jauh dari Ka’bah adalah wajib menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah, bukan arahnya. Pendapat ini hamper sama dengan pandangan dalam madzhab Hambali. Namun menurut Imam Hambali bila jauh dari Ka’bah yang wajib adalah menghadap arahnya saja. Sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni berikut:
فذهب الشافعية والحنابلة إلى أن الواجب استقبال عين الكعبة[10].
Artinya: “Ulama madzhab Syᾱfi’i dan Hambali berpendapat bahwa sesungguhnya yang wajib adalah menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah”.Pernyataan ini juga didukung oleh Syaikh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah sebagai berikut:
الشافعية قالوا: يجب على من كان قريباً من الكعبة أو بعيداً عنها أن يستقبل عين الكعبة، أو هواءها المتصل بها، كما بيناه أعلى الصحيفة، ولكن يجب على القريب أن يستقبل عينها أو هواءها يقيناً بأن يراها أو يلمسها أو نحو ذلك مما يفيد اليقين، أما من كان بعيداً عنها فإنه يستقبل عينها ظناً لا جهتها على المعتمد[11]
Artinya: “Ulama Syᾱfi’iyyah berpendapat; Wajib atas seseorang yang berada di dekat Ka’bah atau jauh dari Ka’bah untuk menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah atau hawanya yang bersambung dengan ‘ain (fisik) Ka’bah tersebut sebagaimana yang telah kami nyatakan di bagian atas lembaran, akan tetapi bagi orang yang di dekat Ka’bah wajib menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah tau hawanya dengan secara yakin dengan cara melihat langsung atau menyentuhnya atau dengan cara lain yang dpat meyakinkan. Sedangkan bagi orang yang jauh, maka wajib menghadap ‘ain (fisik) cukup dengan dzhan (dugaan kuat), bukan menghadap arahnya berdasarkan pendapatt kuat”.Mkasud dari menghadap ‘ain Ka’bah adalah menghadap bangunan Ka’bah dan tempat yang setentang dengan bangunan Ka’bah, baik dari dasar bumi atau dari udara, berikut penjelasan dari Syaikh al-Syarwani:
والمراد بعينها جرمها أو هواؤها المحاذي إن لم يكن المصلي فيها[12]
Artinya: “Maksud dari ‘ain Ka’bah adalah bangunannya atau di udara yang setentang dengannya, ini jika orang yang shalat tersebut bukan di dalamnya”.Ada dua kondisi terkait menghadap kiblat yang akan memberikan konsekuensi hukum yang berbeda, hal ini dijelaskan oleh Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi sebagai beikut:
فإن كان بحضرة البيت لزمه التوجه إلى عينه... وإن لم يكن بحضرة البيت نظرت فإن عرف القبلة صلى إليها وإن أخبره من يقبل خبره عن علم قبل قوله ولا يجتهد …وإن رأى محاريب المسلمين في موضع صلى إليها ولا يجتهد لأن ذلك بمنزلة الخبر وإن لم يكن شيء من ذلك نظرت فإن كان ممن يعرف الدلائل فإن كان غائباً عن مكة اجتهد في طلب القبلة لأن له طريقاً إلى معرفتها بالشمس والقمر والجبال والرياح … فكان له أن يجتهد كالعالم في الحادثة [13].
Artinya: “Apabila ia berada di dalam bait (Masjidil Haram), maka wajib baginya menghadap ‘ain kiblat… Apabila ia tidak berada didalamnya, maka dilihat dulu, jika ia tahu letak kiblat, maka sholat menghadap arah tersebut, jika ada seorang terpercaya yang mengabarinya, maka terima kabar tersebut dan tidak perlu ber-ijtihᾱd lagi…jika ia melihat mihrab muslimin di suatu tempat, maka shalat menghadap ke arah mihrab tersebut dan tidak perlu ijtihᾱd, karena hal itu sama saja seperti sebuah kabar. Jika tidak ada sesuatu pun, maka dilihat dulu, jika ia adalah seseorang yang bisa menangkap pertanda, sedangkan kondisinya jauh dari Makkah, ia mesti berijtihᾱd mencari arah kiblat menggunakan metode bisa dari melihat matahari, bulan, bintang, atau arah angin bertiup…maka wajib baginya ber-ijtihᾱd sebagaimana orang alim ber-ijtihᾱd persoalan fiqh terbaru”.Dari ta’bir di atas bisa dipahami bahwa jika seseorang berada di dalam Masjidil Haram, maka yang dihadap olehnya haruslah “benda” Ka’bah itu sendiri dengan secara yakin. Jika ia berada di luar Masjidil Haram, termasuk di Indonesia, maka menghadap fisik Ka’bah cukup dengan dzhan (dugaan kuat). Kendatipun ada sebagian ulama madzhab Syᾱfi’i yang membolehkan manghadap kiblat dengan arah Ka’bah saja, namun hal tersebut diluruskan oleh Syaikh Abdurrahman Ba’alawi, dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin yang berpendapat bahwa ketentuan bolehnya menghadap arah Ka’bah (jihatul ka’bah), itu bila seseorang tidak mengetahui tanda-tanda letak geografis persis dari fisik Ka’bah, berikut keterangan beliau:
مَحَلُّ اْلإِكْتِفَاءِ بِالْجِهَّةِ عَلَى الْقَوْلِ بِهِ عِنْدَ عَدَمِ
الْعِلْمِ بِأَدِلَّةِ الْعَيْنِ إِذِ الْقَادِرُ عَلَى الْعَيْنِ إِنْ فُرِضَ
حُصُوْلُهُ بِاْلإِجْتِهَادِ لاَ يُجْزِيْهِ اسْتِقْبَالُ الْجِهَّةِ قَطْعًا
وَمَا حَمَلَ الْقَائِلِيْنَ بِالْجِهَّةِ ذَلِكَ إِلاَّ كَوْنُهُمْ رَأَوْا أَنَّ
اسْتِقْبَالَ الْعَيْنِ بِاْلإِجْتِهَادِ مُتَعَذِّر [14]
Artinya: “Ketentuan cukup menghadap arah (berdasarkan atas pendapat demikian) adalah saat tidak mengetahui tanda-tanda keberadaan fisik Ka’bah (a’inul Ka’bah). Karena orang yang mampu mengetahui Ka’bah bila diandaikan bisa dihasilkan dengan ber-ijtihᾱd, maka ia tidak cukup menghadap arah saja secara pasti (tanpa khilafiyyah). Tidak ada yang mendorong ulama yang membolehkan menghadap ke arah Ka’bah melainkan mereka memandang bahwa menghadap Ka’bah dengan berijtihᾱd itu sulit dilakukan”.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam madzhab Syᾱfi’i terkait perihal menghadap kiblat, menurut pendapat kuat yang wajib adalah menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah, bukan arah Ka’bah. Bila orang tersebut jauh dari Ka’bah, maka dia harus mencari keberadaan ‘ain (fisik) Ka’bah dengan dzhan (dugaan kuat).
Jika ia tahu arah kiblat, maka sholat menghadap arah tersebut, jika ada seorang terpercaya yang mengabarinya, maka terima kabar tersebut dan tidak perlu ber-ijtihᾱd lag. Jika ia melihat mihrab muslimin di suatu tempat, maka shalat menghadap ke arah mihrab tersebut dan tidak perlu ijtihᾱd, karena hal itu sama saja seperti sebuah kabar. Jika tidak ada sesuatu pun dan ia adalah seseorang yang bisa menangkap pertanda, maka ia mesti ber-ijtihᾱd mencari arah kiblat menggunakan metode dari melihat matahari, bulan, bintang, atau arah angin bertiup, maka wajib baginya ber-ijtihᾱd sebagaimana orang alim ber-ijtihᾱd persoalan fiqh terbaru”.
d) Madzhab Hambali
Sebagaimana penjelasan di atas bahwa dalam madzhab Hambali wajib menghadap kiblat dengan menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah langsung bagi orang yang dekat dengan Ka’bah, Namun bila jauh dari Ka’bah maka yang wajib hanya menghadap arahnya saja, berikut keterangan dari Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi dalam Hasyiyyah-nya:
واعتبر الإمام مالك الجهة، والإمام أحمد اعتبر العين مع القرب والجهة مع البعد، واعتبر الإمام أبو حنيفة جزءا من قاعدة، مثلث زاويته العظمى عند ملتقى بصره[15]
Artinya: “Imam Malik meng-i’tibar makna arah, sedangkan Imam Ahmad meng-i’tibar makana ‘ain bagi orang yang dekat dan makna arah bagi orang yang jauh. Adapun Imam Abu Hanifah meng-i’tibar makna juzuk (bagian) dari qaidah: “Tiga sudut Ka’bah adalah bagian terbesar yang tampak saat memandangnya”.Ibn Qudamah al-Maqdisi salah seorang ulama madzhab Hambali juga menyatakan hal yang sama dalam karya beliau sebagai berikut:
الثاني: من فرضه إصابة جهة الكعبة، وهو البعيد عنها فلا يلزمه إصابة العين، لقول النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «ما بين المشرق والمغرب قبلة»[16]
Artinya: “Keadaan yang kedua adalah seseorang yang hanya wajib tepat menghadap arah Ka’bah, yaitu orang yang jauh dari Ka’bah. Maka tidak wajib baginya tepat menghadap ‘ain fisik Ka’bah, karena sabda Nabi saw; “Diantara timur dan barat adalah kiblat”.Dalam madzhab Hambali yang menjadi salah satu poin pandangan yang berbeda dari madzhab yang lain terkait masalah kiblat menjadikan syadzarwan (pondasi Ka’bah) atau bagian loteng Ka’bah menjadi bagian dari Ka’bah. Demikian penjelasannya:
الحنابلة قالوا: إن الشاذروان وستة أذرع من الحجر وبعض ذراع فوق ذلك من الكعبة، فمن استقبل شيئاً من ذلك صحت صلاته [17].
Artinya: “Ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa sesungguhnya syadzarwan (pondasi Ka’bah), enam hasta hajar aswad dan sebagian hasta di atasnya. Maka siapa saja yang menghadap satu bagian dari demikian, shalatnya dianggap sah”.Dari penjelasan ini dapat difahami bahwa pandangan madzhab Hambali hampir sama dengan pandangan dalam madzhab Syafi’iyyah terkait kewajiban menghadap kiblat dalam shalat, yaitu wajib menghadap ‘ain Ka’bah bila dekat dengan Ka’bah, namun bila jauh dari Ka’bah menurut madzhab Hambali hanya wajib menghadap arah saja.
Dalil Menghadap Kiblat Dalam Shalat Menurut Al-Madzᾱhib Al-Arba’ah
Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa diantara ulama Al-Madzᾱhib Al-Arba’ah saling selisih faham dalam menetapkan hukum kewajiaban menghadap kiblat dalam shalat, terlebih lagi saat jauh dari Ka’bah. Menurut madzhab Syᾱfi’i wajib menghadap kiblat dalam shalat dengan cara menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah, baik bagi orang yang berada di dekat Ka’bah ataupun orang yang jauh, hanya sanya bagi orang yang dekat diwajibkan menghadap ‘ain Ka’bah secara yakin, sedangkan orang yang jauh cukup dengan dzhan (dugaan kuat).
Berikut beberapa dasar dalil yang dijadikan ulama Syafi’iyyah sebagai dalil dalam menentukan kewajiban menghadap kiblat adalah wajib menghadap ‘ain Ka’bah, diantaranya yaitu:
استدل الشافعية والحنابلة على مذهبهم بالكتاب،
والسنة، والقياس. أما الكتاب، فهو ظاهر هذه الآية {فَوَلِّ وَجْهَكَ
شَطْرَ المسجد الحرام}[18].
وأما السنة: فما روي في «الصحيحين» عن أسامة بن زيد رَضِيَ اللَّهُ عَنْه أنه قال: «لمّا دخل النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ البيت دعا في نواحيه كلّها، ولم يصلّ حتى خرج منه، فلمّا خرج صلى ركعتين من قِبَل الكعبة، وقال: هذه القبلة» . قالوا: فهذه الكلمة تفيد الحصر، فثبت أنه لا قبلة إلا عين الكعبة. [19].
Artinya: “Adapun dalil hadis adalah hadis yang diriwayat dalam dua kitab Shahih diambil dari Usamah ibn Yazid ra, beliau berkata; Manakala Nabi saw masuk ke dalam Ka’bah, beliau berdia pada tiap-tiap bagiannya dan tidak shalat hingga beliau keluar dari Ka’bah tersebut. Manakala beliau keluar, lalu beliau shalat dua raka’at menghadap Ka’bah, lantas beliau bersabda; Ini adalah Kiblat. Maka ulama madzhab Syafi;iyyah dan Hambaliyyah berpendapat bahwa kalimat tersebut adalah hasr (pengkhususan), maka pemahannya tidak ada kiblat lain kecuali itulah ‘ain Ka’bah”.وأما القياس: فهو أنّ مبالغة الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في تعظيم الكعبة، أمر بلغ مبلغ التواتر، والصلاة من أعظم شعائر الدين، وتوقيفُ صحتها على استقبال عين الكعبة يوجب مزيد الشرف، فوجب أن يكون مشروعاً. [20].
Artinya: “Adapun qiyᾱs, maka qiyᾱs-nya adalah bahwa sesungguhnya bersangatan Rasulullah dalam memuliakan Ka’bah adalah sebuah urusan yang sudah sampai pada tingkat tawatur. dan shalat adalah sebagaian dari syi’ar agama terbesar. dan perihal ketergantungan sahnya di atas menghadap ‘ain Ka’bah membawa kepada bertambahnya kemuliaan, maka wajiblah bahwa hal demikian itu juga disyari’atkan”.وقالوا أيضاً: كونُ الكعبة قبلة أمر مقطوع به، وكون غيرها قبلة أمر مشكوك فيه، ورعايةُ الاحتياط في الصلاة أمر واجب، فوجب توقيف صحة الصلاة على استقبال عين الكعبة. [21].
Artinya: “Ulama Syᾱfi’iyyah dan Hambaliyyah juga berargumen bahwa keadaan Ka’nah sebagai kiblat adalah sebuah urusan yang dapat dipastikan, sedangkan keadaan selain Ka’bah dijadikan sebagai kiblat adalah sebuah urusan yang masih diragukan. Sedangkan menjaga kehati-hatian dalam shalat adalah urusan yang wajib, maka wajiblah menggantungkan sah shalat di atas menghadap ‘ain Ka’bah”.Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalil madzhab Syᾱfi’i dan Hambaliah terkait kewajiban menghadap kiblat dalam shalat adalah didasari pada empat dalil, yaitu:
1. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 144, memahami dari kata “al-syathr” yang berarti arah, maksudnya adalah arah yang setentang dan tepat antara diri orang yang shalat dan ‘ain (fisik) Ka’bah.
2. Hadis Sahih yang berfaedah kepada hashar (pengkhususan) kiblat hanya pada ‘ain (fisik) Ka’bah.
3. Di-qiyᾱs-kan dengan sikap Nabi yang sangat memuliakan Ka’bah, maka dalam shalat menghadap Ka’bah pun harus lebih dimuliakan lagi, maka tampaklah mulia Ka’bah dengan menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah itu sendiri, bukan arahnya.
4. Ihthiyath (kehati-hatian) dalam memenuhi syarat sah shalat, yaitu menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah adalah sebuah kepastian terhitung sebagai kiblat, sedangkan arah Ka’bah masih diragukan sebagai kiblat.
Sedangkan dalam madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hambaliyyah, wajib menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah terkhusus hanya bagi orang yang dekat dengan Ka’bah, sedangkan orang yang jauh, hanya diwajibkan menghadap arah Ka’bah saja, berikut keterangannya:
واعتبر الإمام مالك الجهة، والإمام أحمد اعتبر العين مع القرب والجهة مع البعد، واعتبر الإمام أبو حنيفة جزءا من قاعدة، مثلث زاويته العظمى عند ملتقى بصره[22]
Artinya: “Imam Malik meng-i’tibar makna arah, sedangkan Imam Ahmad meng-i’tibar makana ‘ain bagi orang yang dekat dan makna arah bagi orang yang jauh. Adapun Imam Abu Hanifah meng-i’tibar makna juzuk (bagian) dari qaidah: “Tiga sudut Ka’bah adalah bagian terbesar yang tampak saat memandangnya”.Berikut penulis paparkan beberapa dalil madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah, begitujuga yang digunakan dalam madzhab Hambaliyyah dalam menetapkan hukum wajib menghadap kiblat dalam shalat hanya wajib menghadap arahnya saja bila jauh dari Ka’bah, berikut penjelasannya:
واستدل المالكية والحنفية على مذهبهم بالكتاب، والسنة وعمل الصحابة، والمعقول. أما الكتاب: فظاهر قوله تعالى: {فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ المسجد الحرام} ولم يقل: شطر الكعبة، فإنّ من استقبل الجانب الذي فيه المسجد الحرام، فقد أتى بما أمر به سواء أصابَ عين الكعبة أم لا [23].
Artinya: “Ulama madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah mendasarkan dalil, di atas pendapat mereka dengan Al-Qur’an, Hadis, amal sahabat dan rasional. Adapun Al-Qur’an, maka pendapat demikian berdasarkan zahir ayat; (Maka palingkanlah hadapan mu ke arah Masjidil Haram). Allah swt tidak berfirman; “syatr al-Ka’bah”. Maka sungguh orang yang menghadap sisi yang pada sisi tersbut merupakan Masjidil Haram, maka sungguh dia telah mengerjakan apa yang diperintahkan, baik hal tersebut mengenai ‘ain Ka’bah atau tidak”.وأما السنة: فقوله عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ: «ما بين المشرق والمغرب قِبْلةٌ» . وحديث: «البيتُ قبلةٌ لأهل المسجد والمسجدُ قبلةٌ لأهل الحرم، والحرامُ قبلةٌ لأهل الأرض في مشارقها ومغاربها من أمتي» [24].
Artinya: “Adapun hadis maka Rasulullah saw bersabda; Arah antara timur dan barat adalah kiblat. dan hadis; Bait adalah kiblat bagi ahli masjid ini dan masjid ini adalah kiblat bagi ahli tanah haram, dan tanah haram adalah kiblat bagi ahli bumi yang ada di timur dan barat dari pada ummat ku”.وأما عمل الصحابة: فهو أنّ أهل (مسجد قباء) كانوا في صلاة الصبح بالمدينة، مستقبلين لبيت المقدس، مستدبرين الكعبة، فقيل لهم: إن القبلة قد حوّلت إلى الكعبة، فاستداروا في أثناء الصلاة من غير طلب دلالة، ولم ينكر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عليهم، وسُمّي مسجدهم (بذي القبلتين). ومعرفةُ عين الكعبة لا تعرف إلا بأدلة هندسية يطول النظر فيها، فكيف أدركوها على البديهة في أثناء الصلاة، وفي ظلمة الليل؟ [25].
Artinya: “Adapun praktik sahabat, maka demikian adalah praktik ahli (masjid kuba), mereka shalat subuh di Madinah menghadap Bait al-Maqdis dan membelakangi Ka’bah . Maka dikatakan kepada mereka; sesungguhnya kiblat sudah dipalingkan ke Ka’bah, maka mereka berbalik pada pertegahan shalat tanpa perlu mencari dalil, dan Nabi saw tidak memprotes mereka. Dan mesjid mereka dinamakan dengan (Dzil Qiblatain). Padahal untuk mengetaui ‘ain Ka’bah tidak dapat diketahui kecuali dengan dalil yang detil dan lama peninjauan padanya, maka bagaimana mereka dapat mengetahuinya secara detil saat sedang shalat dan dalam gelapnya malam”.وأما المعقول: فإنه يتعذر ضبط (عين الكعبة) على القريب من مكة، فكيف بالذي هو في أقاصي الدنيا من مشارق الأرض ومغاربها؟ ولو كان استقبال عين الكعبة واجباً، لوجب ألا تصحّ صلاة أحدٍ قط، لأن أهل المشرق والمغرب يستحيل أن يقفوا في محاذاة نيّف وعشرين ذراعاً من الكعبة، ولا بدّ أن يكون بعضهم قد توجّه إلى جهة الكعبة ولم يصب عينها، وحيث اجتمعت الأمة على صحة صلاة الكل علمنا أنّ إصابة عينها على البعيد غير واجبة {لاَ يُكَلِّفُ الله نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا} [البقرة: 286] [26].
Artinya: “Adapun dalil rasional, maka sesungguhnya keadaan adalah ozor untuk menjangkau ‘ain Ka’bah bagi orang yang dekat dengan Makkah, maka bagaimana dengan orang-orang yang ada diujung dunia dari timur dan barat?. Jikalau menghadap ‘ain Ka’bah adalah sebuah kewajiban maka sungguh tidak sah shalat seorang pun, karena ahli timur dan barat mustahil dapat berdiri pada setentang lebih lagi dan 20 hasta dari Ka’bah. dan pasti sebagaian mereka akan menghadap ke arah Ka’bah, tidak mengenai ‘ain-nya Ka’bah. Manakala telah sepakat ummat di atas sah shalat semua orang, maka dapat kita ketahui bahwa tepat mengenai ‘ain Ka’bah bagi orang yang jauh bukanlah kewajiban. (Allah tidak akan membebani satu jiwa pun kecuali yang disanggupinya). [Al-Baqarah ayat 286].ومن جهة أخرى: فإن الناس من عهد النبي عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ بنوا المساجد، ولم يحضروا مهندساً عند تسوية المحراب، ومقابلةُ العين لا تُدرك إلا بدقيق نظر الهندسة، ولم يقل أحد من العلماء إنّ تعلم الدلائل الهندسية واجب، فعلمنا أن استقبال عين الكعبة غير واجب [27].
Artinya: “Dari sisi lain; Sesungguhnya manusia dari masa Nabi saw membangun masjid-masjid dan mereka tidak menghadiri seorang peneliti saat menyamakan mihrab. dan untuk setentang dengan ‘ain Ka’bah tidak akan diperdapat kecuali dengan kehalusan tinjauan seorang peneliti. Padahal tidak seorang pun ulama yang berkata bahwa sesungguhnya mempelajari tanda-tanda penelitian adalah wajib. Maka dapat diketahui bahwa menghadap ‘ain Ka’bah adalah tidak wajib”.Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalil madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hambaliyyah terkait kewajiban menghadap kiblat dalam shalat adalah didasari pada empat dalil, yaitu
1. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 144, memahami dari kata “syathr al-masjid al-haram” yang berarti arah Masjidil Haram. Dalam ayat tersebut tidak dikatakan arah Ka’bah, maka yang diperintah hanyalah menghadap arah Masjidil Haram, bukan arah ‘ain Ka’bah.
2. Hadis shahih yang menyatakan bahwa tanah haram adalah kiblat bagi semua orang yang ada di timur dan barat.
3. Praktik para Sahabat saat memalingkan kiblat dalam shalat, mereka menghadap ke arah Ka’bah tanpa meneliti letak geografis ‘ain Ka’bah. Dalil secara rasional bahwa mencari tau letak geografis arah ‘ain (fisik) Ka’bah adalah suatu hal yang mustahil. Oleh karena itu hal demikian tidak diwajibkan dalam shalat, melainkan yang diwajibkan hanyalah menghadap arah Ka’bah.
[1]Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syᾱfi’i , juz. I, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), h.129
[2]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam Cet.III, (Bairut: Maktabah al-Ghazali, 1980) h.124
[3]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Bairut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 2003) h.179
[4]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.179
[5]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.179
[6]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.179-180
[7]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.177
[8]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.180
[9]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.180
[10]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam Cet.III, (Bairut: Maktabah al-Ghazali, 1980) h.124
[11]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.178
[12]Syaikh al-Syarwani, Hasyiyyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Jld. I, (Beirut: Dar Al-Fikr 2009), h.484
[13]Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syᾱfi’i , juz. I, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), h.129
[14]Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1371 H/1952 M), h. 39-40
[15]Ahmad ibn Ahmad Al-Qulyubi, Hasyiyyah Qulyubi wa ‘Amirah, jld.I, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014), h.151
[16]Ibn al-Qudamah al-Maqdisi, Al-Kafi fi Fiqh Imam Ahmad, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), h.234
[17]Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syᾱfi’i , juz. I, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), h.129
[18]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.125
[19]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.125
[20]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.125
[21]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.125
[22]Ahmad ibn Ahmad Al-Qulyubi, Hasyiyyah Qulyubi wa ‘Amirah, jld.I, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014), h.151
[23]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.126
[24]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.126
[25]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.126
[26]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.126-127
[27]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.127