(Bag.I) Hukum Asuransi Konvensional dan Syari'ah Tanpa Investasi Dalam Kitab Kuning || Dilengkapi Referensi - [Kitabkuning90]

 

Hukum asuransi
Hukum Asuransi Tanpa Investasi

Yuk...Gabung ke Grup Whatshap kami untuk leluasa berkonsultasi kitab kuning. Klik link berikut ini:  Kitabkuning90 (Inan.id)

Hukum Asuransi Konvensional Tanpa Investasi Dalam Kitab Kuning Klasik dan Kontemporer

Pada tahun 1985 para ulama Islam sedunia yang berada di bawah OKI dalam konferensi ke II di Jeddah sepakat mengeluarkan keputusan No. 9 (9/2) 1985, yang berbunyi, "Transaksi Asuransi dengan premi tertentu yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi merupakan transaksi dengan tingkat gharar (spekulasi) tinggi. Hal ini membuat hukum transaksi asuransi batal (menurut syariat). Oleh karena itu, transaksi ini diharamkan Islam.[1]

Menela’ah dengan kacamata fiqh Syᾱfi’iyyah, dari sisi pihak tertanggung yang memberikan sejumlah premi secara rutin kepada pihak penanggung, kiranya tidak dapat digolongkan kepada satu akad apapun yang bisa di-sah-kan. Tidak dapat digolongkan kepada akad shadaqah, karena saat mengalami kemudhāratan pihak tertanggung diberikan hak untuk menunntut pertanggungan kepada pihak penanggung berdasarkan kesepakatan dalam polis asuransi, sedangkan dalam konsep akad shadaqah adalah memberikan harta tanpa pamrih dan tidak mengharapkan balasan imbalan apapun melainkan hanya pahala semata, sebagaimana keterangan dalam fiqh Syᾱfi’iyyah berikut:

(فإن ملك) أي: أعطى شيئا بلا عوض (محتاجا) وإن لم يقصد الثواب، أو غنيا (لثواب الآخرة) أي: لأجله (فصدقة)[2]

Artinya: “(Maka jika seseorang memberi kepemilikan) suatu benda dengan tanpa mengharap balasan (kepada orang yang memerlukan), sekalipun tidak diniatkan untuk pahala, atau kepada orang kaya (untuk mengharap pahala akhirat), artinya karenanya. (Maka itu adalah shadaqah)”.

Juga tidak dapat digolongkan kepada akad hibbah, walaupun hibbah bi tsawab (pemberian dengan mengharapkan balasan dikemudian hari), karena balasan yang diharapkan dalam asuransi konvensional tidak pasti adanya, yaitu berupa tanggungan atas kemudhāratan yang akan dialami, bila kemudhāratan tersebut tidak ada maka premi yang sudah diberikan pun akan hangus begitu saja. Padahal dalam akad hibbah bi tsawab disyaratkan balasan tersebut harus jelas, agar dapat dihukumi sah sebagai akad bai’, bila tidak jelas maka hukumnya batal, sebagaimana keterangan Syaikhuna Ibn Hajar al-Haitami berikut:

(ولو وهب بشرط ثواب معلوم) كوهبتك هذا على أن تثيبني كذا فقبل (فالأظهر صحة العقد) نظرا للمعنى إذ هو معاوضة بمال معلوم فكان كبعتك (و) من ثم (يكون بيعا على الصحيح) فيجري فيه عقب العقد أحكامه كالخيارين كما مر بما فيه، والشفعة وعدم توقف الملك على القبض (أو) بشرط ثواب (مجهول فالمذهب بطلانه) لتعذر تصحيحها بيعا لجهالة العوض وهبة لذكر الثواب[3]

Artinya: “(Jikalau seseorang menghibahkan dengan syarat adanya balasan yang maklum), seperti; aku hibahkan kepadamu barang ini dengan ketentuan engkau menghibahkan untukku barang demikian, dan diterimanya. (Maka menurut pendapat al-azhar hukumnya sah akad tersebut), karena meninjau bagi makna. Karena itu adalah tukar menukar harta yang maklum, maka seolah-olah diucapkan; aku jual kepadamu. Dan saat itu akad tersebut adalah akad jual beli berdasarkan pendapat shahih). Maka sesudah akad berlakulah hukum-hukum jual beli, seperti dua khiyar sebagaimana pembahasan yang terdahulu, syuf’ah, dan tidak ada ketergantungan kepemilikan di atas serah terima. Atau dengan syarat balasan (yang tidak jelas, maka menurut al-Madzhab akad tersebut batal), karena ozor menganggap sahnya sebagai jual beli karena tidak jelas barang tukarannya dan tidak bisa sebagai hibbah karena ada disebutkan balasan”.

Menurut hemat penulis asuransi konvensional ini lebih menyerupai dengan akad hutang piutang, yaitu menghutangkan sejumlah uang kepada orang lain dan mengharapkan bayarannya dikemudian hari. Namun dalam praktiknya asuransi konvensional ini lebih cendrung jatuh kepada riba yang diharamkan, karena memiliki potensi gharar (tipuan) yang tinggi, yaitu ketidakjelasan seberapa besar kemudhāratan yang harus ditanggung. Bilapun jelas, namun tidak setara dengan jumlah premi yang pernah diberikan, dan bilapun setara, namun belum tentu ada kemudhāratan yang harus ditanggung, bila tidak ada kemudhāratan yang dialami pihak tertanggung, maka premi yang sudah diberikan pun akan hangus begitu saja. Maka kesepakatan yang seperti ini kiranya jatuh ke dalam riba, sebagaimana keterangan berikut:

وشرعا قال الروياني عقد على عوض مخصوص غير معلوم التماثل في معيار الشرع حالة العقد أو مع تأخير في البدلين أو أحدهما

Artinya: “Riba menurut syara’ sebagaimana berkata Imam al-Rauyani adalah akad atas tukaran harta yang terkhusus yang tidak jelas setaranya pada timbangan syariat pada ketika akad atau beserta menunda dua barang pengganti atau salah satunya”.

Atas dasar keterangan inilah menurut hemat penulis kiranya transaksi asuransi konvensional ini tidak dapat disahkan, bahkan termasuk perbuatan terlarang yang dapat menimbulkan dosa.

Hukum Asuransi Syariah Tanpa Investasi Dalam Kitab Kuning Klasik dan Kontemporer


Berangkat dari keterangan sebelumnya, ada hal penting yang harus digarisbawahi, bahwa di dalam asuransi syariah, ada dua jenis akad yang dikembangkan oleh pemegang polis dan perusahaan, yaitu: akad untuk ber-tabarru’ dan akad untuk berinvestasi. Semua hasil dana dari penerapan kedua akad ini adalah milik kolektif member (milik bersama).

Asuransi dengan tujuan ber-tabarru’ (tanpa investasi) pada dasarnya adalah akad perwakilan, yaitu pihak asuransi berperan selaku wakil dari nasabah. Selaku wakil, pihak lembaga berperan hanya menyalurkan dana yang sudah terkumpul. Sedangkan sedikit persen dari premi yang diambil oleh pihak lembaga asuransi selaku penanggung merupakan ongkos atas kerjanya dalam mengelola harta yang diwakilkan tersebut, dan hal ini dibolehkan dalam fiqh syāfi’iyyah dengan istilah wakalah bi ja’li (perwakilan yang disertai dengan adanya imbalan) atau juga dinggap sebagai akad ijārah (sewa menyewa).

Konsekuwensinya adalah pihak tertanggung menyewa jasa pihak lembaga asuransi untuk mengumpulkan serta menyalurkan dana asuransi kepada anggota yang membutuhkan, baik itu dirinya atau anggota yang lain, serta dana premi tersebut akan diambil kembali bila selama masa asuransi pihak tertanggung tersebut tidak mengalami kemudhāratan yang harus ditanggung oleh pihak asuransi.

Penjelasan wakalah bi ja’li dalam arti akad ijārah ini, penulis fahami sekilas dari ulasan Syaikh Muhammad Ibn Umar Nawawi al-Bantani dalam menjelaskan wakalah bi ja’li sebagai berikut:

أما الوكالة بجعل فلا بد فيها من القبول فورا لفظا ولا فرق بين كون التوكيل بصيغة الأمر أو غيره كما أفاده الشبراملسي خلافا لابن حجر وذلك فيما إذا كان العمل الموكل فيه مضبوطا لتكون الوكالة حينئذ إجارة[4]

Artinya: “Adapun perwakilan dengan disertai upah, maka diharuskan padanya qabul secara segera dengan lafazh, dan tiada beda berlakunya perwakilan tersebut antara keadaan perwakilan dengan perintah atau lainnya, sebagaimana yang diberikan pemahaman oleh Syaikh al-Syibran Malasi. Berbeda dengan pendapat Syaikhuna Ibn Hajar. Dan ketentuan demikian berlaku pada keadaan apabila pekerjaan yang diwakilkan adalah pekerjaan yang terjangkau, supaya perwakilan tersebut sah menjadi sewa-menyewa”.

Penjelasan tersebut didukung pula oleh Syaikh Muhammad al-Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj sebagai berikut:

أما لو كانت بجعل فلا بد من قبوله لفظا كما في المطلب، وينبغي تصويره بما إذا كان العمل الموكل فيه مضبوطا لتكون الوكالة حينئذ إجارة[5]

Artinya: “Apabila wakalah tersebut disertai dengan adanya upah, maka diharuskan ada qabul secara lafazh, sebagaimana keterangan dalam kitab Mathlab. Dan sepatutnya gambaran kejadian ini apabila pekerjaan yang disewakan dapat dijangkau ukurannya, supaya wakalah tersebut dapat dianggap sebagai ijārah (persewaan)”.

Namun Syaikh Muhammad al-Ramli juga sempat menjelaskan bahwa yang membedakan kedudukan masalah ini, antara tergolong dalam akad wakalah bi ja’li atau akad ijārah (sewa menyewa) sebenarnya hanyalah lafazh yang digunakan dalam akad tersebut, bila diucapkan sewa menyewa dalam akad, maka itu akad ijārah, namun bila diucapkan perwakilan maka itu adalah akad wakalah, sebagaimana penjelasan berikut:

(الوكالة) ولو بجعل بناء على أن العبرة بصيغ العقود هنا كما رجحه الروياني وجزم به الجويني في مختصره ما لم تكن بلفظ الإجارة بشروطها[6]

Artinya: “(Perwakilan) sekalipun dengan upah, ini berdasarkan tinjauan pada redaksi pengucapan akad di sini, sebagaimana yang dianggap kuat oleh al-Rauyani, dipegang oleh al-Juwaini dalam kitab Mukhtashar-nya, selama tidak diucapkan dengan lafazh ijārah serta syarat-syaratnya”.

Ijārah (sewa-menyewa) atau wakalah bi ja’li dalam hal ini adalah hanya berupa jasa, karena dalam transaksi sewa menyewa menurut madzhab Syāfi’i tidak diharuskan sebuah benda, namun bisa juga berupa manfaat atau jasa, sebagaimana yang terfahami dari definisi ijārah (sewa-menyewa) yang disampaikan oleh Syaikh Ibn Qasim al-Ghazi dalam karya beliau kitab Fath Al-Qarib Al-Mujib berikut:

وشرعا عقد على منفعة معلومة مقصودة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم[7]

Artinya: “(Transaksi ijārah) menurut syara’ adalah sebuah transaksi atas manfaat yang sudah maklum lagi dimaksudkan, juga bisa diberikan dan perbolehkan untuk orang lain, dengan bayaran tertentu”.

Begitu juga yang disampaikan Syaikhuna Ibn Hajar al-Haitami dalam mendefinisikan transaksi sewa menyewa sebagai berikut:

وشرعا تمليك منفعة بعوض بالشروط الآتية[8]

Artinya: “(Transaksi ijārah) menurut syara’ adalah menyerahkan kepemilikan atas suatu manfaat dengan bayaran dan syarat-syarat yang akan datang”.

Begitujuga penjelasan dari Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fath Al-Mu’in bi muhimmah al-din saat membahas tentang masalah ijārah sebagai berikut:

تصح إجارة بإيجاب كأجرتك بكذا وقبول كاستأجرت بأجر معلوم في منفعة متقومة معلومة واقعة للمكتري غير متضمن لاستيفاء عين قصدا[9]

Artinya: “Sah sewa menyewa dengan ijab seperti; Saya sewakan kepadamu dengan bayaran sekian, dan dengan qabul seperti; saya meminta sewa kepadamu, dengan harga tertentu pada manfaat yang berharga, sudah diketahui, dapat diambil oleh penerima sewa dan tidak mengandung menghabiskan bendanya sebagai tujuan dasar”.

Dari keterangan tentang ijārah (sewa menyewa) di atas dapat difahami bahwa tidak mesti benda saja yang dapat disewakan, akan tetapi jasa pun juga bisa disewakan, karena yang ditransaksikan dalam sewa hanyalah manfaat saja, maka bisa berupa benda dan bisa juga manfaat dari sebuah jasa.

Kalangan ulama madzhab Syāfi’i secara tidak langsung sebenarnya mengakui kebolehan transaksi asuransi dengan sistem wakalah bi ja’li atau ijārah seperti ini, diantanya Imam al-Nawawi pernah memberikan penjelasan beserta contoh yang jelas tentang prangktik sewa yang kiranya sama persis dengan transaksi asuransi dengan sistem sewa jasa ini sebagai berikut:

وهي قسمان واردة على عين كإجارة العقار ودابة أو شخص معينين وعلى الذمة كاستئجار دابة موصوفة وبأن يلزم ذمته خياطة أو بناء ولو قال استأجرتك لتعمل كذا فإجارة عين[10]

Artinya: “Ijārah (sewa menyewa) terbagi dua, ada yang berlaku pada benda, seperti menyewa kebun, hewan atau seseorang yang sudah ditentukan. Dan ada pula yang berlaku atas tanggungan, seperti menyewa hewan yang disebutkan cirri-cirinya, dan seumpama membebani atas tanggungan seseorang untuk menjahit atau membangun bangunan. Jika seseorang berkata; Saya menyewa mu untuk melakukan pekerjaan ini, maka itu adalah ijārah ‘ain”.

Dari keterangan Imam al-Nawawi tersebut jelas bahwa dibolehkan menyewa seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, maka begitu juga dengan asuransi syariah model pertama ini, dimana sebuah lembaga asuransi menawarkan jasanya untuk disewakan sebagai penanggung jawab atas dana premi yang disetor oleh para member, untuk dikumpulkan dan disalurkan kepada member-member yang mengalami kemudhāratan, dan bila sampai habis masa asuransi ada anggota member yang tidak mengalami kemudhāratan, maka dia berhak menarik kembali premi yang telah disetornya selama masa asuransi selain biaya yang sudah disepakati sebagai upah bagi lembaga asuransi. Pernyataan Imam al-Nawawi di atas juga sempat dibahas oleh ulama madzhab Syāfi’i lainnya sebagai berikut:

a. Jalaluddin al-Mahalli dalam kitab Al-Mahalli sebagai berikut:

(ولو قال استأجرتك لتعمل كذا فإجارة عين) للإضافة إلى المخاطب[11]

Artinya: “(Jikalau seseorang berkata; saya menyewa mu untuk melakukan pekerjaan ini, maka itu adalah ijārah ‘ain), karena dari lafadz tersebut disandarkan kepada mukhatab (lawan bicara)”.

b. Syaikh Muhammad Al-Ramli dalam kitab Nihayah Al-Muhtaj:

(ولو قال استأجرتك) أو اكتريتك (لتعمل كذا) أو لكذا أو لعمل كذا (فإجارة عين) لأن الخطاب دال على ارتباطها بعين المخاطب كاستأجرت عينك[12]

Artinya: “(Jikalau seseorang berkata; saya menyewa mu) atau aku menyewamu (untuk melakukan pekerjaan ini) atau untuk ini, atau untuk pekerjaan ini, (maka itu adalah ijārah ‘ain), karena khithab menunjukkan pada terikatnya ijārah dengan diri mukhathab (lawan bicara), seolah-oleh; saya menyewa dirimu”.

c. Syamsuddin Muhammad Al-Khathib Al-Syarbini, dalam kitab Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfadz Al-Minhaj:

(ولو قال) شخص لآخر: (استأجرتك لتعمل) لي (كذا فإجارة عين) في الأصح للإضافة إلى المخاطب[13]

Artinya: “(Jikalau berkata) seseorang pada orang lain; (saya menyewa mu untuk bekerja) pada ku (pekerjaan ini, maka itu adalah ijārah ‘ain), menurut pendapat kuat, karena dari lafadz tersebut disandarkan kepada mukhatab (lawan bicara)”.

d. Syaikhuna Ibn Hajar al-Haitami:

(فإجارة عين) لأن الخطاب دال على ارتباطها بعين المخاطب كاستأجرت عينك[14]

Artinya: “(maka itu adalah ijārah ‘ain), karena khithab menunjukkan pada terikatnya ijārah dengan diri mukhathab (lawan bicara), seolah-oleh; saya menyewa dirimu”.

Asuransi berbasis akad tabarru’ ini dalam fiqh disebut juga ta’mīn ta’awwuni. Syaikh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa asuransi berbasis akad tabarru’ atau ta’mīn ta’awwuni hukumnya dibolehkan, berikut keterangan beliau:

والتأمين التعاوني بأشكاله ومنه التأمين على الحياة جائز شرعاً، بل هـو أمـر مرغوب فيه، لأنه يدخل في عقود التبرعات، ومن قبيل التعاون المطلوب شرعاً على البر والخير[15]

Artinya: “Ta’mīn ta’awwuni dengan segala macam-macamnya, sebagiannya yaitu asuransi jiwa, adalah dibolehkan menurut syariat, bahkan hal demikian merupakan perintah yang digemari, karena temasuk pada akad tabarru’, dan dari sisi saling membantu adalah sangat dianjurkan menurut syariat di atas kebaikan”.

Referensi:
[1] Journal Figh Council, edisi II, jld. 2, h. 545.
[2]Syaikhuna Ahmad ibn Hajr Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, Jld. VI, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2009), h.297
[3]Syaikhuna Ahmad ibn Hajr Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, Jld. VI, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2009), h.297
[4] Muhammad Ibn Umar al-Bantani, Nihayah al-Zain, (Bairut: Dar al-Fikri, tt), h.250
[5]Syaikh Muhammad Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, jld.V…, h.28

[6]Syaikh Muhammad Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, Jld.V, (Beirut: Dar Al-Fikri, 1984), h.52
[7]Syaikh Muhammad Ibn Qasim Al-Ghazi, Fath Al-Qarib Al-Mujib…, h.196
[8]Ahmad ibn Hajar Al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj…, h.121
[9]Syaikh Zainuddin Al-Malibari, Fath Al-Mu’in Bi muhimmah al-din, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014), h.374-375
[10]Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Minhaju al-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn fi al-Fiqh, (Surabaya: Al-Hidayah, tt), h.159

[11]Jalaluddin al-Mahalli, Al-Mahalli, Jld.III (Bandung: Syirkah Nur Asia, t.t), h.69
[12]Syaikh Muhammad Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, Jld.V, (Beirut: Dar Al-Fikri, 1984), h.264
[13]Syamsuddin Muhammad Al-Khathib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfadz Al-Minhaj, Jld. III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994), h.443
[14]Ahmad ibn Hajar Al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Jld. VI, (Beirut: Dar Al-Fikr 2009), h.126
[15]Wahbah al-Zuhaili, Al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah, (Damaskus, Dar al-Fikr, tt), h.271

Kunjungi bahan makalah dan skripsi yang lain di daftar isi kami di bawah ini. Terimakasih
Wassalam...!!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama