Hukum Syari'at |
Yuk...Gabung ke Grup Whatshap kami untuk leluasa berkonsultasi kitab kuning. Klik link berikut ini: Kitabkuning90 (Inan.id)
Hukum Fiqh Tidak Berubah Mengikuti Zaman
Dari uraian penulis sebelumnya telah difahami bahwa, di era 4.0 ini untuk mendapatkan hukum fiqh yang murni sebagaimana fiqh yang dibawa oleh Rasulullah Saw adalah tiada lain melainkan dengan cara ber-Madzhab mengikuti hukum fiqh praktis yang sudah dirumuskan oleh ulama salaf dari imam mujtahid yang empat. Kebenaran hukum fiqh di era ini hanya ada dalam ruang lingkup fiqh empat Madzhab yang diteruskan oleh para ulama-ulama para pemgikut Madzhab-Madzhab tersebut dan tidak boleh berpedoman pada selain dari empat Madzhab ini. Sebagaimana ungkapan KH. Sirajuddin Abbas berikut:
“Tidak Boleh ber-taqlȋd selain kepada Imam yang empat ini dalam furu’ syari’at, seperti kepada Imam Sofyan Tsuri, kepada Imam Sofyan bin ‘Ujainah, kepada Imam Abdurrahman bin Umar al-Auza’I dan juga tidak boleh taqlȋd kepada salah seorang sahabat-sahabat yang besar, karena madzhaab mereka tidak teratur dan tidak dikumpulkan dengan rapi”. [1]
Namun para pencetus fiqh baru di era modern sekarang ini, tidak hanya datang dari kaum anti madzhab, tapi juga datang dari pemikir-pemikir yang ber-madzhab dengan salah satu madzhab yang empat, dengan mendakwakan diri menggunakan qa’idah dalam madzhab-nya dan bertujuan mencari kemaslahatan, sebagian mereka ada yang terlalu berani membuat pembaruan hukum yang bila dikaji, ternyata sangat bertentangan dengan hukum yang sudah baku dari masa ulama salaf. Keberanian mereka mengutak atik hukum tersebut sebagian besarnya karena didasari dengan qa’idah-qa’idah fiqh seperti:
تبدل الاحكام بتبدّل الازمان[2]
Artinya: “Hukum dapat berganti sebab bergantinya zaman”.
Qa’idah ini sangat berbahaya bila difahami secara tekstualnya saja, sebagai mana yang dipandang oleh para pemikir fiqh yang keliru. Perluasan makna qa’idah ini didasari dari qa’idah fiqh lain yaitu:
العادة محكّمة[3]
Artinya: “Adat istiadat bisa diterima sebagai hukum”
Hukum Islam mengakui adat sebagai sumber hukum, karena sadar akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah mendapatkan peran penting dalam mengatur hubungan sosial di kalangan masyarakat. Adat sebagai tatanan yang disepakati oleh masyarakat yang tidak tertulis tapi tetap dipatuhi karena dirasakan sesuai dengan kesadaran hukum sendiri.
Qa’idah ini didasari oleh dalil nash Al-Quran dan Hadis yang diantaranya adalah firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa Ayat 115: [4]
Artinya: “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa [4]:115)[5]
Yang dimaksud dengan jalan orang mukmin dalam ayat tersebut adalah tradisi mereka yang sudah disepakati sebagai ketentuan yang benar, sehingga ketentuan tersebut bila baik setelah dipertimbangkan oleh para ahli hukum syari’at maka baik pula disisi Allah SWT dan patut untuk diikuti, Hal ini senada dengan hadis mauquf dari Abdullah ibn Mas’ud sebagai berikut:
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن[6]
Artinya: “Segala sesuatu yang telah dipertimbangkan menurut Umat Islam adalah baik, maka baik pula disisi Allah SWT”
Akan tetapi perubahan hukum yang dimaksud di sini bukanlah perubahan dengan serta merta mengikuti arus zaman, karena hukum tidak pernah mengikuti zaman dan zaman lah yang harus selalu mengikuti hukum. Maka saat ada hukum yang berubah karena berubah adat suatu zaman, pada hakikatnya hukum tersebut tidak berubah, melainkan hukum yang pertama dan yang kedua adalah sama-sama hukum dasar yang sifatnya relatif dan memang harus disesuaikan dengan keadaan. Syaikh Ramadhan Al-Buthi menjelaskan hal ini sebagai berikut:
و الحقيقة هی انّ الحكم الشرعي لا يتبدّل مهما تبدّلت الازمان و تغيّرت الاعراف اللهمّ الّا عن طريق النسخ و قد اغلق بابه بعد تكامل هذا الشرع الحنيف و وفاة النبي صلّی اﷲ عليه و سلّم. و القاعدة الفقهية العادة محكّمة ليس معناها انّ بعض الاحكام الشرعيّة تتبدل بتبدّل الازمان حقيقة كما يفهم من ظاهر هذا اللفظ[7]
Artinya: “Kebenaran yang hakiki adalah bahwa sesungguhnya hukum syar’i tidak akan berubah karena berubahnya zaman dan berubahnya segala tradisi, Ya Allah... kecuali melalui jalur nasakh dan sungguh telah terkuncilah pintu nasakh tersebut sesudah sempurna syari’at yang ramah ini dan sesudah wafat Nabi Muhammad Saw. dan mengenai Qa’idah fiqh; Adat istiadat merupakan sumber hukum”, bukanlah maknanya adalah sebagian hukum syariat harus berubah sebab berubah masa pada hakikat, sebagaimana yang terfahami dari dzahir lafadz ini”.
Abdurrahman ibn Salih Abdullatif menjelaskan maksud dari adat yang bisa dijadikan hukum tersebut dalam Al-Qawa’id wa al-dhawabith al-fiqhiyyah sebagai berikut:
وقيدت العادة المعتبرة بألا تخالف نصا شرعيا، وبأن تطرد وتغلب[8]
Artinya: “Dikaitkan adat yang ditinjau tersebut dengan bahwa tidak menyalahi nash syar’i dan berlaku tetap/konsisten dan telah mendominasi”.
Banyak terdapat pendapat-pendapat ulama yang membolehkan sebuah tradisi menjadi hukum baru selama tidak bertentangan dengan syari’at, diantaranya pernyataan Imam Al-Suyuthi dalam sebuah karya beliau Al-Asybah wa Al-Nazhair sebagai berikut:
فَصْلٌ: فِي تَعَارُضِ الْعُرْفِ مَعَ الشَّرْعِ ,هُوَ نَوْعَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَتَعَلَّقَ بِالشَّرْعِ حُكْمٌ، فَيُقَدَّمُ عَلَيْهِ عُرْفُ الِاسْتِعْمَالِ، وَالثَّانِي: أَنْ يَتَعَلَّقَ بِهِ حُكْمٌ فَيُقَدَّمُ عَلَى عُرْفِ الِاسْتِعْمَالِ[9]
Arinya: “Sebuah fashal menyatakan tentang berlawanan antara ‘urf dan syara’, hal demikian terdapat dua pembagian, yang pertama bahwa pada hukum yang ada tersebut tidak berkaitan dengan syara’, maka didahulukan hukum ‘urf dari pada syara’. Dan pembagian yang kedua bahwa hukum yang ada telah dahulu ada kaitannya dengan syara’, maka lebih didahulukan hukum syara’ dari pada ‘urf /tradisi.
Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi menjelaskan lebih rinci lagi pendapat Imam Al-Suyuthi tersebut dalam risalah beliau yang berjudul Dhawabith Al-Mashlahah sebagai berikut:
فمؤدی كلام الصيوطی هذا انّ العرف الشرعي امّا ان يكون مجرد تسمية و اصطلاح... و امّا ان يكون فيه مع ذلك حكم ايضا... فالاول فقط هو الذي يتناوله عرف الناس بالتغيير و التبديل. و امّا الثانی فلا يمكن ان يغيّره شيء لانّه مستند الی حكم[10]
Artinya: “Maksud perkataan Imam Al-Suyuthi ini adalah bahwa sesungguhnya ‘urf Syar’i adakala bahwa ‘urf tersebut merupakan semata-mata penamaan dan istilah saja, dan adakala merupakan ‘urf yang padanya terdapat hukum pula. Maka hanya yang pertama sajalah yang merupakan ‘urf orang-orang yang dapat berubah dan berganti-ganti. Adapun yang ke dua maka tidak mungkin dapat diubah oleh sesuatu apapun, karena ‘urf tersebut disandarkan kepada hukum”.
Dari beberapa penjelasan ini nyatalah bahwa yang dimaksud adat dapat dijadikan sebagai hukum adalah adat istiadat yang tidak menentang dengan hukum syariat yang sudah jelas didasari oleh nash, adat yang konsisten berlakunya dan sudah mendominasi ke semua masyarakat. Adat inilah yang kiranya dapat dijadikan sumber hukum, bahkan adat itu pula lah yang pada hakikatnya adalah diri hukum.
Dari sisi pandang yang berbeda, adat terbagi kepada tiga pembagian, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Ramadhan Al-Buthi berikut:
و تحقيق ذلك هو ان ما تعارف عليه الناس و اصبح عرفا لهم امّا ان يكون هو بعينه حكما شرعيا ايضا... و امّا ان يكون لا يكون حكما شرعيا ولكن تعلق به الحكم الشرعي... و امّا ان لا يكون هذا و لا ذاك فلا يكون حكما شرعيا و لا مناطا لحكم شرعي[11]
Artinya: “Dan kebenaran hal demikian adalah bahwa sesuatu yang sudah mentradisi pada orang-orang dan sudah menjadi adat istiadat bagi mereka adakala diri tradisi tersebut merupakan hukum syar’i pula…, dan adakala tradisi tersebut bukan hukum syar’i, akan tetapi berkaitan dengan hukum syar’i…, dan adakala tradisi tersebut bukan seperti yang pertama dan bukan yang ke dua, maka tradisi tersebut bukan hukum syar’i dan tidak berkaitan dengan hukum syar’i.
Kemudian beliau menyatakan dari 3 pembagian adat tersebut, bahwa yang dimaksud adat dapat dijadikan hukum dalam qa’idah adalah adat yang ke dua, yaitu adat yang bukan merupakan hukum syar’i, tapi berkaitan dengan hukum syar’i dan dijadikan dasar/pedoman bagi hukum syar’i berikut pernyataan beliau:
و هذه الصورة من العرف هی التی عناها الفقهاء بقولهم العادة محكمة لانّ الشارع جعلها هی الاساس و المناط لما علق بها من احكام[12]
Artinya: “Dan surah ini merupakan tradisi/adat yang dimaksud oleh para Fuqaha dengan perkataan mereka “Adat dapat dijadikan sebagai hukum”, karena Sang pembawa syari’at menjadikan adat tersebut sebagai dasar dan sumber bagi hukum-hukum yang berkaitan dengannya”.
Dari penjelasan ini maka jelas bahwa yang dimaksud dengan qa’idah; “Hukum dapat berubah sebab berubahnya zaman” adalah bukan semua hukum, melainkan hanya hukum-hukum fiqh yang penentuan hukum tersebut didasari oleh adat/tradisi. Seperti pada kasus wajib bersuci yang didasari pada kuasa seseorang menggunakan alat bersuci menurut keadaannya, maka hukum ini bisa berubah pada satu saat wajib menggunakan air, pada kali lain wajib menggunakan air dan debu dan pada kali lain lagi hanya wajib menggunakan debu saja.[13]
Maka hukum bersuci tersebut berubah-ubah karena memang patokan dasarnya yang sudah berubah, yaitu keadaan kuasa seseorang dalam menggunakan alat bersuci, jadi pada hakikatnya hukum tersebut masih dalam konteks hukum dasar, bukan perubahan.
Footnote:
[1]K.H. Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i…, h. 98-99
[2]Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, (Risalah) Dhawabith Al-Mashlahah fi Al-Syariah Al-Islamiyah, (Dimasyqi: Universitas Al-Azhar, 1965), h.280
[3]Muhammad Yasin ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaidu Al-Janiyyah Hasyiyyah Al-Mawahib Al-Saniyyah, Jld.I (Bairut: Dar al-Rasyid, tth) h.289.
[4]Muhammad Yasin ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaidu Al-Janiyyah…, h.289-290.
[5]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya..., h.97.
[6]Muhammad Yasin ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawāid Al-Janiyyah…, h.290
[7]Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, (Risalah) Dhawabith Al-Mashlahah fi Al-Syariah Al-Islamiyah, (Dimasyqi: Universitas Al-Adzhar, 1965), h.281.
[8]Abdurrahman ibn Salih Abdullatif, Al-Qawa’id wa al-dhawabith al-fiqhiyyah, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.300
[9]Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-nazha’ir (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.93
[10]Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Dhawabith Al-Mashlahah…, h.286.
[11]Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Dhawabith Al-Mashlahah…, h.281.
[12]Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Dhawabith Al-Mashlahah…, h.283.
[13]Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Dhawabith Al-Mashlahah…, h.283.
Salam santri Indonesia... Semoga dapat menjadi bekal di akhirat kelak