Dalil Wajib Ber-Madzhab dengan Salah satu Imam Madzhab yang Empat - Bahan Skripsi dan Makalah Kajian Pondok Pesantren [Kitabkuning90]


Fiqh empat madzhab

Yuk...Gabung ke Grup Whatshap kami untuk leluasa berkonsultasi kitab kuning. Klik link berikut ini:  Kitabkuning90 (Inan.id)

Wajib Ber-Madzhab dengan Salah satu Imam Madzhab yang Empat

Dalam bidang pengambilan hukum agama (fiqh), untuk masa sekarang umat diharuskan memilih model pendekatan ber-madzhab. Di mana pemahaman terhadap agama Islam dilakukan dengan cara mengikuti apa yang telah dirumuskan para ulama terdahulu yang diyakini memiliki kemampuan untuk menggali sendiri hukum dari Al-Qur’an dan Hadis. Hal ini telah nyata dicontohkan oleh para ulama salaf al-shalīh, bisa didapati para ulama yang menisbatkan diri kepada Madzhab tertentu, sebagaimana lazim disebutkan di belakang namanya, dan tidak terhitung banyaknya ulama yang secara terang-terangan mengikuti Madzhab fiqh tertentu.

Berikut ini beberapa kutipan dari pendapat ulama dan sedikit ulasan untuk menyingkap apa hakikat ber-Madzhab itu:

a)    Al-Imam Taj al-Din al-Subki dalam kitab Jam'ul Jawâmi' menyatakan:

 التزام غير المجتهد مذهبا معينا يعتقده أرجح أو مساويا لغيره [1]

Artinya: “Berpegang teguhnya selain mujtahid kepada Madzhab tertentu yang diyakininya lebih kuat atau setara dengan selainnya."

Komentator dari kitab tersebut seperti Badr al-Din al-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami' dan Waliy al-Din al-'Iraqi dalam al-Ghaits al-Hami', menjadikan pernyataan Taj al-Subki di atas sebagai definisi dari al-tamadzhub (ber-Madzhab).[2]

Menurut al-'Aththar dalam Hasyiyah al-'Aththar 'ala Syarh al-Mahalli 'ala Jam' al-Jawami', saat memberikan catatan atas kata "iltizam" menyatakan bahwa arti "iltizam" adalah orang yang ber-madzhab itu dalam menghadapi suatu perkara (kasus hukum) tidak mengambil (mencari jawaban) kecuali pada Madzhab tertentu.[3]

b)   Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam kitab beliau Alla Madzhabiyyah Akhtharu Bid'atin Tuhaddid al-Syari'ah al-Islamiyyah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ber-Madzhab (al-tamadzhub) adalah:

 أن يقلد العامي أو من لم يبلغ رتبة الإجتهاد مذهب إمام مجتهد سواء التزم واحد بعينه أو عاش يتحول من واحد على آخر [4]

Artinya: “Bertaklidnya orang awam atau orang yang belum mencapai tingkat mampu ber-ijtihad kepada madzhab imam mujtahid, baik ia terikat pada satu madzhab tertentu atau ia hidup berpindah dari satu madzhab ke madzhab yang lainnya”.

Ber-madzhab itu sangat penting bagi umat Islam sekarang, agar pemahaman dan praktik agamanya benar. Karena ber-Madzhab merupakan metode untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapi dengan merujuk pada fiqh Madzhab tertentu yang dianut atau upaya penyimpulannya dilakukan berdasarkan ushul al-Madzhab yang diyakininya. Keharusan ber-madzhab ini karena para imam Madzhab (mujtahidun) mereka semua telah disepakati para ulama memiliki otoritas dan lebih bisa dipercaya dalam menafsirkan sumber utama hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah, dan merekalah ulama yang diberi kewenangan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menjelaskan kebenaran agama Islam kepada kita semua. Imam Al-Nawawi juga menjelaskan wajibnya umat untuk ber-madzhab mengikuti fatwa-fatwa ulama yang sudah mempuni dan sanggup menggali hukum langsung dari Al-Quran dan Hadis, sebagai berikut:

كل من لم يبلغ دَرَجَة الْمُفْتِي فَهُوَ فِيمَا يسْأَل عَنهُ من الْأَحْكَام الشَّرْعِيَّة مُستفتٍ مقلِّد من يفتيه…

وَيجب عَلَيْهِ الاستفتاء إِذا نزلت بِهِ حَادِثَة يجب عَلَيْهِ علم حكمهَا فَإِن لم يجد بِبَلَدِهِ من يستفتيه وَجب عَلَيْهِ الرحيل إِلَى من يفتيه وَإِن بَعدت دَاره[5]

Artinya: “Setiap orang yang tidak sampai pada derajat seorang mufti, maka pada semua hukum syari’at yang menjadi persoalannya dia adalah seorang mustafti yang harus mengikuti orang lain yang sanggup berfatwa. Dan wajib di atasnya menanyakan fatwa apabila terjadi kejadian baru yang wajib diketahui hukumnya, maka jika tidak terdapat mufti yang sanggup ber-fatwa di negerinya, maka wajib di atasnya untuk melakukan pengembaraan kepada orang yang sanggup berfatwa, sekalipun jauh negeri orang tersebut”.

KH Achmad Shiddiq memaparkan bahwa dengan ber-madzhab bukan berarti telah mempertentangkan antara sistem ijtihad dan sistem taqlȋd, melainkan upaya memadukan keduanya dalam proporsi yang serasi. Masing-masing keduanya adalah sistem yang baik untuk digunakan oleh seorang muslim dalam beragama. Hanya saja keduanya harus digunakan oleh orang yang tepat.[6] KH Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa:

“Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman beragama seorang muslim adalah sebuah keharusan. Namun memahami kedua sumber hukum Islam tersebut tanpa meninjau pendapat ulama terdahulu adalah sebuah kelalaian”. [7]

Sayyid Al-Imam Ahmad  bin Hasan al-Athas memberikan motifasi kepada umat Islam agar memperbanyak mengkaji, membaca dan mempelajari kitab para ulama salaf sebagai penerus madzhab, beliau mengatakan bahwa kitab para ulama salaf didalamnya terdapat  cahaya, keberkahan dan ilmu. Syaithan juga selalu menggoda manusia agar manusia mengalami kemunduran dalam agamanya dengan sebab meninggalkan kitab para ulama salaf, karena saat itu manusia tidak mendapatkan ilmu dan amal. Sebagaimana beliau menegaskan:

من أراد التقدمَ فعليه بكتب المتقدمين ومن أراد التأخُّر فعليه بكتب المتأخرين         

Artinya: “Siapa yang menginginkan kemajuan dalam ilmu pengetahuan maka hendaklah berpegang kepada kitab-kitab ulama terdahulu, dan barang siapa yang menginginkan kemunduran maka hendaklah ia berpegang dengan kitab-kitab ulama muta’akhirin (sekarang)”.

Alasan selanjutnya karena para ulama salaf mengumpulkan antara ilmu, amal, ikhlas dan kebenaran dalam menyusun kitab-kitab mereka, juga dalam keperibadian mereka. Adapun berpalingnya sebahagian manusia dari kitab-kitab para ulama salaf baik dalam bidang fiqh dan cabang ilmu lainnya merupakan tindakan pembodohan dan kehancuran.

Salah satu  musibah yang merajalela saat ini adalah anggapan para ahli agama yang beranggapan bahwa mereka lebih pintar, lebih ahli dan lebih berhati-hati dalam memutuskan sebuah hukum daripada ulama-ulama salaf al-shalīh, padahal karya-karya yang mereka buat adalah dengan cara mengumpulkan, meringkas atau menambahkan dari karya orang-orang sebelumnya (salaf al-shalīh).[8] Kebenaran dalam kitab-kitab kontemporer sekarang ini tidak bisa lepas dari kitab-kitab zaman dahulu. Siapa pun penulis kitab-kitab kontemporer harus merujuk kepada kitab-kitab zaman dahulu.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa secara umum sumber hukum yang disepakati oleh ulama madzhab adalah Al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas. Selain itu ada juga dalil yang digunakan oleh imam-imam madzhab namun masih diperselisihkan tentang kehujjahannya, dalil-dalil tersebut adalah istihsan, istishab, maslahah mursalah, sadd al-dzara’i, al-urf, syar’u man qablana dan madzhab shahabi.[9] Kesemua dalil ini digunakan oleh masing-masing mujtahid sesuai dengan porsi yang diakuinya, adapun perbedaan hukum yang timbul dikemudiannya salah satunya disebabkan oleh bedanya pengakuan terhadap dalil-dalil ini. Adappun mengenai posisi kitab turats peninggalan ulama salaf al-shalīh, Syaikhulislam Abi Yahya Zakaria al-Anshary as-syafi’i[10] menjelaskan hal ini dalam tulisannya:

و بالدليل التفصيل العلم بذالك للمُقلِّدِ فإنه من المجتهد بواسطة دليل إجملي وهو أن هذا الحكم أفتاه به المفتى وكل ما أفتاه به المفتى فهو حكم الله فى حقه [11]

Artinya: “Tidak termasuk dalam kategori dalil tafsili yaitu pengetahuan hukum syar’i bagi muqallid (pengikut mujtahid), pengetahuan muqallid yang berasal dari mujtahid melalui dalil ijmaly yaitu hukum yang dicetuskan oleh mufti dan berbagai produk hukum yang dihasilkan oleh mufti sama halnya seperti hukum yang Allah tetapkan bagi diri muqallid (Pengikut madzhab)”.

Dari redaksi turats di atas dapat kita ambil pelajaran bahwa Al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas adalah dalil bagi mujtahid (mujtahid mutlak) yang merupakan para muqallad. Sedangkan bagi para muqallid, produk hukum yang dihasilkan oleh para muqallad-nya sama halnya dengan hukum Allah bagi para muqallid (pengikut madzhab). Berdasarkan penjelasan diatas dapat difahami bahwa dalam bidang fiqh, untuk masa sekarang umat diharuskan memilih model pendekatan ber-Madzhab dengan cara merujuk dan mempelajari kitab-kitab peninggalan ulama salaf al-shalīh sebagai penerus madzhab.

Footnote:

[1]Al-Imam Taj al-Din al-Subki, Jam'ul Jawâmi', jld. II, (Dimasyqi: Dar Al-Fikr, t.th), h.123

[2]Badr al-Din al-Zarkasyi, Tasynif al-Masami', jld IV, (Dimasyqi: Dar Al-Fikr, tth), h.619, Lihat juga Wali al-Din al-'Iraqi, al-Ghaits al-Hami', Jld. III, (Dimasyqi: Dar Al-Fikr, tth), h.905

[3]Al-'Aththar , Hasyiyah al-'Aththar 'ala Syarh al-Mahalli 'ala Jam' al-Jawami', jld. II, (Dimasyqi: Dar Al-Fikr, tth), h. 440

[4]Al-Syaikh Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi, Alla Madzhabiyyah Akhtharu Bid'atin Tuhaddid al-Syari'ah al-Islamiyyah, (Dimasyqi: Dar Al-Fikr, tth), h. 11

[5]Yahya Ibn Syaraf Al-Nawawi, Adab Al-Fatwa wa Al-Mufti wa Al-Mustafti, (Dimasyqi: Dar Al-Fikr, 1408), h.71.

[6]Ahmad Nur Kholis, Tradisi Bermadzhab di Masa Sahabat (Online) https://www.nu.or.id/ post/read/76041/ tradisi-bermadzhab-di-masa-sahabat, diakses pada 25 Agustus 2020

[7]Ahmad Nur Kholis, Tradisi Bermadzhab di Masa Sahabat (Online) https://www.nu.or.id/ post/read/76041/ tradisi-bermadzhab-di-masa-sahabat, diakses pada 25 Agustus 2020

[8]Habib Zain Bin Ibrahim Bin Sumait, Al-Manhaj Al-Sawi Syarh Ushul Thariqah Al-Sadah Al-Ba’lawi, (Tarim: Darul Ilmu Wa Da’wah, 2005), h. 246

[9]Abdul Mun’im Saleh, Otoritas Maslahah Dalam Mazhab Syafi’i, Cet. I, (Yogyakarta, Magnum, 2012), h. 75.

[10]Zainuddin Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariyya Al-Anshari Al-Khazraji As-Sunaiki Al-Qahiri Al-Azhari Asy-Syafi’i atau yang kerap disapa dengan panggilan Imam Zakaria al-Anshari lahir pada tahun 824 H-926 H/27 November 1520 M dalam usia 100 tahun lebih.

[11]Zakaria al-anshary, Ghayatul Wushul syarhu lubbul al ushul, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.th), h. 6.

Semoga bermanfa'at dunia wal akhirat !!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama