Terjemahan Al-Mahalli Jilid 1 - Kitabus-Sholah (Makna Pesantren Lengkap)


Terjemahan al mahalli - berinvestasi dengan berbagi kebaikan
Al-Mahalli Jilid 1

Yuk...Gabung ke Grup Whatshap kami untuk leluasa berkonsultasi kitab kuning. Klik link berikut ini:  Kitabkuning90 (Inan.id)

Terjemahan Al-Mahalli Jilid 1 - Kitabus-Sholah (Makna Pesantren Lengkap)

كِتَابُ الصَّلَاةِ 

Ini adalah suatu Kitab yang menjelaskan tentang sholat.

(الْمَكْتُوبَاتُ) أَيْ الْمَفْرُوضَاتُ مِنْهَا كُلُّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ (خَمْسٌ) كَمَا هُوَ مَعْلُومٌ مِنْ الدِّينِ بِالضَّرُورَةِ، وَأَصْلُهُ قَوْلُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «فَرَضَ اللَّهُ عَلَى أُمَّتِي لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ خَمْسِينَ صَلَاةً فَلَمْ أَزَلْ أُرَاجِعُهُ وَأَسْأَلُهُ التَّخْفِيفَ حَتَّى جَعَلَهَا خَمْسًا فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ»

(Sholat-Sholat yang diwajibkan) artinya yang difardhukan dari pada sholat pada tiap sehari dan semalam (adalah 5), sebagaimana keterangan tersebut sudah dimaklumi dari Agama dengan secara dharuri.

Dan dalil wajib 5 sholat tersebut adalah sabda Nabi Saw: "Allah mewajibkan di atas umat ku pada malam isra' mi'raj akan sebanyak 50 sholat, maka senantiasa aku kembali kepada Allah dan aku memohon kepada Allah akan keringanan sehingga Allah jadikan sholat tersebut akan sebanyak 5 kali sholat dalam tiap-tiap sehari semalam".

«وَقَوْلُهُ لِلْأَعْرَابِيِّ: خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ» «وَلِمُعَاذٍ لَمَّا بَعَثَهُ إلَى الْيَمَنِ أَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ».

Dan sabdanya Nabi bagi orang-orang Arab pedalaman: "5 sholat pada tiap sehari semalam". Dan sabda Nabi bagi mu'adz manakala Nabi mengutus nya ke negeri Yaman: "Khabarkanlah oleh mu kepada mereka penduduk Yaman bahwa Allah ta'aala sungguh telah mewajibkan di atas mereka 5 sholat dalam tiap sehari semalam".

)الظُّهْرُ وَأَوَّلُ وَقْتِهِ زَوَالُ الشَّمْسِ) أَيْ وَقْتِ زَوَالِهَا، وَعِبَارَةُ الْوَجِيزِ وَغَيْرِهِ يَدْخُلُ وَقْتُهُ بِالزَّوَالِ، (وَآخِرُهُ مَصِيرُ) أَيْ وَقْتُ مَصِيرِ (ظِلِّ الشَّيْءِ مِثْلَهُ سِوَى ظِلِّ اسْتِوَاءِ الشَّمْسِ) أَيْ الظِّلِّ الْمَوْجُودِ عِنْدَهُ، 

(Yang pertama adalah sholat dzuhur. Dan awal waktunya dzuhur adalah tergelincir matahari) artinya waktu yergelincirnya matahari. Dan ibarat kitab al-Wajiz dan selainnya al-wajiz adalah "masuk waktunya sholat dzuhur dengan tergelincir matahari. 
(Dan akhir waktunya sholat dzuhur adalah saat jadi) artinya waktu jadi bayangan sesuatu seumpamanya sesuatu tersebut selain bayangan saat tegak matahari) artinya bayangan yang ada ketika tegak matahari tersebut.

وَبَيَانُ ذَلِكَ أَنَّ الشَّمْسَ إذَا طَلَعَتْ وَقَعَ لِكُلِّ شَاخِصٍ ظِلٌّ طَوِيلٌ فِي جِهَةِ الْمَغْرِبِ، ثُمَّ يَنْقُصُ بِارْتِفَاعِ الشَّمْسِ إلَى أَنْ تَنْتَهِيَ إلَى وَسَطِ السَّمَاءِ، وَهِيَ حَالَةُ الِاسْتِوَاءِ، وَيَبْقَى حِينَئِذٍ ظِلٌّ فِي غَالِبِ الْبِلَادِ، ثُمَّ تَمِيلُ إلَى جِهَةِ الْمَغْرِبِ فَيَتَحَوَّلُ الظِّلُّ إلَى جِهَةِ الْمَشْرِقِ، وَذَلِكَ الْمَيْلُ هُوَ الزَّوَالُ، 

Dan penjelasan demikian adalah bahwa matahari apabila terbitlah matahari tersebut niscaya jadilah bagi tiap-tiap benda, bayangan yang panjang pada arah barat. Kemudian berkuranglah bayangan tersebut dengan sebab naik matahari hingga bahwa sampai matahari tersebut ke pertengahan langit. 

Dan saat tersebut adalah ketika tegak matahari. Dan ketika itu kekal bayangan pada kebiasaan negeri, kemudian condronglah matahari tersebut ke arah barat, maka berpalinglah bayangan ke arah timur, dan demikian kecondrongan matahari itulah yang disebut tergelincir.

وَالْأَصْلُ فِي الْمَوَاقِيتِ حَدِيثُ «أَمَّنِي جِبْرِيلُ عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ فَصَلَّى بِي الظُّهْرَ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ وَالْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ أَيْ الشَّيْءِ مِثْلَهُ، وَالْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَالْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ، وَالْفَجْرَ حِينَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ. فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِي الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ أَيْ الشَّيْءِ مِثْلَهُ، وَالْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ، وَالْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَالْعِشَاءَ إلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ، وَالْفَجْرَ فَأَسْفَرَ وَقَالَ: الْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَغَيْرُهُ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَغَيْرُهُ. 


Dan dalil pada waktu-waktu tersebut adalah hadis: Malaikat Jibril Mengimami aku di sisi Masjidil haram 2 kali, maka dia sholat bersamaku akan sholat dzuhur ketika tergelincir matahari dan akan sholat ashar ketika keadaan bayangannya, -artinya sesuatu- itu seumpamanya sesuatu tersebut.

Dan akan shalat magrib ketika berbuka orang puasa dan akan shalat isya ketika hilang cahaya kemerahan dan akan shalat fajar/subuh ketika sudah haram makan dan minum di atas orang puasa.

Maka manakala tibalah keesokan harinya, sholatlah malaikat jibril dengan ku akan sholat dzuhurketika keadaan bayangannya, -artinya sesuatu- itu seumpama sesuatu tersebut, dan akan sholat ashar ketika keadaan bayangan sesuatu tersebut itu dua misilnya/dua kalinya sesuatu tersebut.

Dan akan sholat magrib ketika berbuka orang puasa dan akan sholat isya hingga sepertiga malam dan akan sholat fahar/subuh, maka keluarlah cahaya kekuning-kuningan.

Dan berkatalah malaikat jibril tersebut: Waktu sholat adalah ma/waktu diantara dua waktu ini.
Diriwayatkan hadis ini oleh Abu Daud dan selainnya Abu Daud dan dianggap shahih hadis tersebut oleh al-Hakim dan selainnya al-Hakim.

وَقَوْلُهُ: «صَلَّى بِي الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ» أَيْ فَرَغَ مِنْهَا حِينَئِذٍ كَمَا شَرَعَ فِي الْعَصْرِ فِي الْيَوْمِ الْأَوَّلِ حِينَئِذٍ قَالَهُ الشَّافِعِيُّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - نَافِيًا بِهِ اشْتِرَاكَهُمَا فِي وَقْتٍ، وَهُوَ مُوَافِقٌ لِحَدِيثِ مُسْلِمٍ «وَقْتُ الظُّهْرِ إذَا زَالَتْ الشَّمْسُ مَا لَمْ تَحْضُرْ الْعَصْرُ»  وَقَوْلُهُ: " حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ " أَيْ حِينَ دَخَلَ وَقْتُ إفْطَارِهِ.

Dan (sebagai dalil waktu-waktu shalat pula) adalah sabdanya Nabi Saw: "Malaikat jibril shalat bersamaku yaitu shalat dzuhur ketika keadaan bayangan sesuatu menyamai sesuatu tersebut". Artinya sudah selesailah malaikat jibril dari padanya shalat dzuhur ketika itu, sebagaimana malaikat jibril memulai pada saat shalat ashar pada hari yang pertama diketika itu juga.

Dinyatakan akan penafsiran tersebut oleh Imam al-Syafi'i r.a, yang dengan penafsiran tersebut Imam al-Syafi'i menafikan bersekutu kedua shalat tersebut (dzuhur dan ashar) dalam satu waktu. Penafsiran tersebut sesuai dengan hadis Imam Muslim: "Waktu Zuhur adalah apabila tergelincir matahari hingga selama belum datang waktu ashar". Dan sabda Nabi: "Ketika berbuka orang yang berpuasa", adalah artinya ketika masuk waktu berbuka orang yang berpuasa.

وَفِي الصَّحِيحَيْنِ حَدِيثُ «إذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ»)وَهُوَ) أَيْ مَصِيرُ ظِلِّ الشَّيْءِ مِثْلَهُ (أَوَّلُ وَقْتِ الْعَصْرِ) وَعِبَارَةُ الْوَجِيزِ وَغَيْرِهِ: وَبِهِ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ (وَيَبْقَى) وَقْتُهُ (حَتَّى تَغْرُبَ) الشَّمْسُ لِحَدِيثِ الصَّحِيحَيْنِ «وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ» وَرَوَى ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ «وَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَغْرُبْ الشَّمْسُ» وَإِسْنَادُهُ فِي مُسْلِمٍ. 


Dan dalam dua kitab shahih terdapat satu Hadis: Apabila seseorang menghadap malam dari pada waktu ini dan meninggalkan siang dari pada waktu ini pula, maka sungguh berbukalah orang yang berpuasa.

(Dan waktu tersebut), artinya waktu jadi bayangan sesuatu menjadi seumpamanya sesuatu (adalah awal waktu sembahyang asar). Dan ibarat kitab Al-wajiz adalah: "dan dengannya waktu tersebut masuklah waktu sembahyang ashar".

Dan tinggallah waktu Ashar tersebut hingga terbenam matahari, karena hadis dalam dua kitab Shahih: "dan barang siapa yang memperdapat 1 rakaat dari pada sembahyang ashar, sebelum bahwa terbenamlah matahari, maka sungguh memperdapat ia akan sembahyang ashar".
Dan Ibnu Abi syaibah meriwayatkan: "waktu Ashar adalah selama belum terbenam matahari". Dan sanad hadits tersebut ada dalam kitab Shahih Muslim. 

(وَالِاخْتِيَارُ أَنْ لَا نُؤَخِّرَ) بِالْفَوْقَانِيَّةِ (عَنْ) وَقْتِ (مَصِيرِ الظِّلِّ مِثْلَيْنِ) بَعْدَ ظِلِّ الِاسْتِوَاءِ لِحَدِيثِ جِبْرِيلَ السَّابِقِ، وَقَوْلِهِ فِيهِ بِالنِّسْبَةِ إلَيْهَا: «الْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ» مَحْمُولٌ عَلَى وَقْتِ الِاخْتِيَارِ، وَبَعْدَهُ وَقْتُ جَوَازٍ إلَى اصْفِرَارِ الشَّمْسِ، ثُمَّ وَقْتُ كَرَاهَةٍ أَيْ يُكْرَهُ تَأْخِيرُ الصَّلَاةِ إلَيْهِ.

(Dan waktu pilihan adalah bahwa jangan kita tunda) dibaca dengan satu titik di atas (dari pada) waktu (jadi bayangan menjadi 2 kali umpamanya) sesudah bayangan  Istiwa, karena hadits Jibril yang telah lalu.

Dan perkataan Jibril pada hadis jibril tersebut dengan memandang kepadanya waktu tersebut: <<Waktu Ashar adalah waktu di antara dua waktu ini>>, adalah dimaksudkan di atas waktu pilihan.

Dan sesudahnya waktu tersebut adalah waktu Jawaz  (masih boleh) hingga cahaya kekuning-kuningan matahari, kemudian setelah itu adalah waktu Makruh, maksudnya dimakruhkan menunda sembahyang hingga waktu tersebut.

)وَالْمَغْرِبُ) يَدْخُلُ وَقْتُهَا (بِالْغُرُوبِ وَيَبْقَى حَتَّى يَغِيبَ الشَّفَقُ الْأَحْمَرُ فِي الْقَدِيمِ) كَمَا سَيَأْتِي. وَاحْتَرَزَ بِالْأَحْمَرِ عَمَّا بَعْدَهُ مِنْ الْأَصْفَرِ ثُمَّ الْأَبْيَضِ وَلَمْ يَذْكُرْهُ فِي الْمُحَرَّرِ لِانْصِرَافِ الِاسْمِ إلَيْهِ لُغَةً. (وَفِي الْجَدِيدِ يَنْقَضِي بِمُضِيِّ قَدْرِ) زَمَنِ (وُضُوءٍ وَسَتْرِ عَوْرَةٍ وَأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ وَخَمْسِ رَكَعَاتٍ) لِأَنَّ جِبْرِيلَ صَلَّاهَا فِي الْيَوْمَيْنِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ بِخِلَافِ غَيْرِهَا.


(Dan yang ketiga adalah shalat maghrib) Masuklah waktunya maghrib (dengan terbenam matahari. Dan tinggallah waktu tersebut hingga hilang cahaya yang merah menurut pendapat Qadim) sebagaimana keterangan yang akan datang. 

Dan pengarang menjaga dengan kata-kata cahaya kemerah-merahan dari waktu sesudahnya kemerah-merahan tersebut, yaitu dari saat cahaya kekuning-kuningan kemudian putih. Dan Imam al-Rafi'i tidak menyebutkan kata tersebut dalam kitab al-Muharrar. Karena tertuju nama maghrib kepada waktu kemerah-merahan tersebut menurut bahasa.

(Dan dalam pendapat Jadid: Berlalulah waktu maghrib dengan berlalu ukuran) masa (berwudhu', menutup aurat, adzan, iqamah dan 5 raka'at) karena sungguh malaikat Jibril mengerjakan shalat magrib pada dua hari tersebut dalam waktu yang satu, berbeda selainnya shalat maghrib.

وَلِلْحَاجَةِ إلَى فِعْلِ مَا ذَكَرَ مَعَهَا اعْتَبَرَ مُضِيَّ قَدْرِ زَمَنِهِ، وَالِاعْتِبَارُ فِي جَمِيعِ مَا ذَكَرَ بِالْوَسَطِ الْمُعْتَدِلِ، وَسَيَأْتِي سَنُّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ فِي وَجْهٍ صَحَّحَهُ الْمُصَنِّفُ فَقِيَاسُهُ كَمَا قَالَ فِي الشَّرْحِ الصَّغِيرِ اعْتِبَارُ سَبْعِ رَكَعَاتٍ

Dan karena hajat pada mengerjakan perbuatan tersebut besertanya maghrib, maka ditinjaukan berlalu ukuran masanya. Dan tinjauan pada sekalian pwrbuatan tersebut adalah dengan ukuran sederhana yang normal.

Dan akan datang pembahasan sunat dua rakaat yang ringan sebelum maghrib pada satu pendapat yang dianggap sahih oleh pengarang. Maka bandingannya sebagaimana yang Imam Rafi'i katakan dalam kitab Syarh Shaghir adalah meninjau tujuh raka'at.

(وَلَوْ شَرَعَ) فِيهَا (فِي الْوَقْتِ) عَلَى الْجَدِيدِ (وَمَدَّ) بِالتَّطْوِيلِ فِي الْقِرَاءَةِ وَغَيْرِهَا (حَتَّى غَابَ الشَّفَقُ الْأَحْمَرُ جَازَ عَلَى الصَّحِيحِ) مِنْ الْخِلَافِ الْمَبْنِيِّ عَلَى الْأَصَحِّ فِي غَيْرِ الْمَغْرِبِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ بَعْضِهَا عَنْ وَقْتِهَا مَعَ الْقَوْلِ بِأَنَّهَا أَدَاءٌ كَمَا سَيَأْتِي وَالثَّانِي الْمَنْعُ كَمَا فِي غَيْرِ الْمَغْرِبِ، وَاسْتَدَلَّ الْأَوَّلُ بِأَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «كَانَ يَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِالْأَعْرَافِ فِي الرَّكْعَتَيْنِ كِلْتَيْهِمَا» صَحَّحَهُ الْحَاكِمُ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَفِي الْبُخَارِيِّ نَحْوُهُ


(Dan jikalau seseorang mulai masuk) pada shalat maghrib (dalam waktunya) yang berdasarkan pendapat jadid (dan Nabi berlama-lama) dengan sebab panjang pada bacaan dan selainnya bacaan (hingga hilanglah cahaya yang merah, maka boleh demikian menurut pendapat kuat) dari khilafiysh yang terbangun di atas pendapat as-sah pada selain shalat maghrib yang menyatakan bahwa sesungguhnya selain maghrib tidak boleh ditunda sebagiannya shalat dari waktu shalat tersebut serta pendapat yang menyatakan bahwa shalat tersebur adalah tunai, sebagaimana keterangan yang akan datang.

Dan pendapat kedua menyatakan tertegah, sebagaimana penjelasan pada selain magrib. Pendapat pertama membawa dalil dengan bahwa sesungguhnya Nabi Saw membaca pada shalat magrib surat al-a'raf dalam dua rakaat, tiap-tiap rakaat tersebut. Al-Hakim menganggap sahih hadis tersebut di atas syarat al-syaikhani (Imam Bukhari dan Muslim), dan dalam kitab Sahih Bukhari terdapat hadis seumpama nya.

وَقِرَاءَتُهُ لَهَا تَقْرُبُ مِنْ مَغِيبِ الشَّفَقِ لِتَدَبُّرِهِ وَمَدِّهِ فِي الصَّلَاةِ إلَى ذَلِكَ يَجُوزُ بِنَاؤُهُ عَلَى امْتِدَادِ وَقْتِهَا إلَيْهِ، وَعَلَى عَدَمِ امْتِدَادِهِ إلَيْهِ. وَبَنَاهُ قَائِلُ الثَّانِي عَلَى الِامْتِدَادِ فَقَطْ (قُلْت: الْقَدِيمُ أَظْهَرُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ) وَرَجَّحَهُ طَائِفَةٌ.

Dan bacaan Nabi bagi surat al-a'raf adalah bacaan yang hampir dari pada saat hilangnya cahaya merah, karena tadabburnya Nabi dan lamanya Nabi dalam shalat hingga saat hilang cahaya merah demikian. Pendapat tersebut boleh jadi dibangun di atas lama waktunya shalat Nabi hingga saat hilang cahaya merah tersebut dan boleh jadi di atas tidak lamanya waktu tersebut hingga saat hilang cahaya merah. 

Dan ulama yang mengemukakan pendapat kedua membangun masalah tersebut di atas lama saja. (Menurut saya: Pendapat Qadim tersebut adalah pendapat yang kuat, Wallahu a'lam) dan sekelompok ulama juga menggap kuat pendapat Qadim tersebut.

قَالَ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ: بَلْ هُوَ جَدِيدٌ أَيْضًا لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ عَلَّقَ الْقَوْلَ بِهِ فِي الْإِمْلَاءِ، وَهُوَ مِنْ الْكُتُبِ الْجَدِيدَةِ عَلَى ثُبُوتِ الْحَدِيثِ، وَقَدْ ثَبَتَتْ فِيهَا أَحَادِيثُ مِنْهَا حَدِيثُ مُسْلِمٍ وَقْتُ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ.

Imam al-Nawawi berkata dalam kitab Syarh al-Muhadzab: bahkan pendapat tersebut adalah pendapat jadid pula, karena sesungguhnya imam Al-Syafi'i mengaitkan pendapat dengannya pendapat jadid tersebut dalam kitab al-Imlak. Dan kitab tersebut adalah sebagian dari kitab kitab kumpulan pendapat jadid di atas sebut dalil hadis.

Dan sungguh sebutlah beberapa hadis dalam kitab imla' tersebut yang sebagian dari hadis-hadis tersebut adalah hadis muslim: waktu shalat maghrib adalah selama belum hilang cahaya kemerahan.

)وَالْعِشَاءُ) يَدْخُلُ وَقْتُهَا (بِمَغِيبِ الشَّفَقِ) أَيْ الْأَحْمَرِ الْمُنْصَرِفِ إلَيْهِ الِاسْمُ لِحَدِيثِ جِبْرِيلَ السَّابِقِ. (وَيَبْقَى إلَى الْفَجْرِ) أَيْ الصَّادِقِ وَسَيَأْتِي لِحَدِيثِ مُسْلِمٍ «لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ وَإِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِ الْأُخْرَى» ظَاهِرُهُ يَقْتَضِي امْتِدَادَ وَقْتِ كُلِّ صَلَاةٍ إلَى دُخُولِ وَقْتِ الْأُخْرَى مِنْ الْخَمْسِ، أَيْ غَيْرِ الصُّبْحِ لِمَا سَيَأْتِي فِي وَقْتِهَا 


(Dan yang ke empat adalah shalat isya) masuklah waktunya isya dengan tiba waktu hilang cahaya) maksudnya kemerahan yang tertuju pada arti kemerahan tersebut oleh nama "syafaq", karena hadis Jibril yang lalu.

(Dan kekal waktu isya tersebut hingga fajar) maksudnya fajar shadiq, dan akan datanglah pembahasannya fajar shadiq.

Karena hadis Muslim: <<Tidaklah pada saat ketiduran itu kesalahan, hanyasanya kesalahan itu di atas orang yang tidak mau mengerjakan shalat hingga datang waktu shalat yang lain>>.

Zahir hadis tersebut menghendaki panjangnya waktu tiap-tiap shalat hingga masuk waktu shalat yang lain dari shalat yang lima, maksudnya selain shalat subuh, karena penjelasan yang akan datang pada waktunya shalat subuh.

(وَالِاخْتِيَارُ أَنْ لَا تُؤَخَّرَ عَنْ ثُلُثِ اللَّيْلِ) لِحَدِيثِ جِبْرِيلَ السَّابِقِ، وَقَوْلُهُ فِيهِ بِالنِّسْبَةِ إلَيْهَا الْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ مَحْمُولٌ على وقت الاختيار. 

(Dan waktu pilihan adalah tidak ditunda-tundakan shalat sampai melewati sepertiga malam), karena hadis Jibril yang lalu.

Dan perkataan Jibril pada hadis Jibril tersebut dengan hanya memandang pada waktu isya saja "Waktu Shalat adalah saat diantara dua waktu ini", adalah dimaksudkan di atas waktu pilihan.

(وفي قول نصفه) لحديث «لولا أن أشق على أمتي لأخرت صلاة العشاء إلى نصف الليل» صححه الحاكم على شرط الشيخين، ورجح المصنف في شرح مسلم هذا القول، وكلامه في شرح المهذب يقتضي أن الأكثرين عليه.

(Dan pada satu pendapat lain; jangan ditunda hingga pertengahan malam), karena hadis <<Jikalau bukan karena aku khawatir memberatkan di atas umat ku sungguh aku tunda shalat isya hingga pertengahan malam>>. 

Al-Hakim memganggap sahih hadis ini di atas ketentuan dua syaikh. Dan pengarang menganggap kuat pendapat ini dalam kitab Syarh Muslim. Dan pembahasan pengarang dalam kitab Syarh al-Muhadzab cendrung menyatakan bahwa kebanyakan ulama berpendapat demikian juga.

(والصبح) يدخل وقتها (بالفجر الصادق، وهو المنتشر ضوءه معترضا بالأفق) أي نواحي السماء بخلاف الكاذب، وهو يطلع قبل الصادق مستطيلا، ثم يذهب ويعقبه ظلمة 

(Dan  yang kelima adalah salat subuh) Masuklah waktunya salat subuh (dengan Fajar shadiq, yaitu Saat terpancar cahayanya Fajar, secara melintang di ufuk) artinya di pertengahan langit, dengan sebalik Fajar kadzib/ Fajar bohongan, yaitu Saat terbit cahaya sebelum fajar shadiq dengan keadaan membujur kemudian hilang Fajar cahaya Fajar tersebut dan mengiringi cahaya tersebut oleh kegelapan.

(ويبقى) الوقت (حتى تطلع الشمس) لحديث مسلم «وقت صلاة الصبح من طلوع الفجر ما لم تطلع الشمس» وفي الصحيحين حديث «من أدرك ركعة من الصبح قبل أن تطلع الشمس فقد أدرك الصبح» . 

Dan tinggal waktu hingga terbit matahari, karena hadis muslim; <<Waktu shalat subuh adalah mulai dari terbit fajar hingga selama belum terbit matahari>>.

Dan dalam dua kitab shahih terdapat satu hadis; <<Barang siapa yang memperoleh satu rakaat dari shalat subuh sebelum terbit matahari maka sungguh dia memperoleh seluruh shalat subuh>>.

(والاختيار أن لا تؤخر عن الإسفار) لحديث جبريل السابق وقوله فيه بالنسبة إليها «الوقت ما بين هذين» محمول على وقت الاختيار.

Dan perkataan Jibril dalam hadis tersebut dengan memandang pads shalat subuh tersebut <<waktu shalat adalah selama antara dua waktu ini>> adalah dimaksudkan di atas waktu pilihan.

(قلت: يكره) تسمية المغرب عشاء والعشاء عتمة للنهي عن الأول في حديث البخاري «لا تغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم المغرب» وتقول الأعراب هي العشاء، وعن الثاني في حديث مسلم «لا تغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم ألا إنها العشاء» وهم يعتمون بالإبل بفتح أوله وضمه وفي رواية بحلاب الإبل.

(Menurutku; Dimakruhkan) menamai shalat magrib dengan nama isya dan menamai shalat isya dengan bergelap-gelapan, karena ada larangan dari yang pertamadalam hadis al-Bukhari; <<Janganlah dipengaruhi akan kalian oleh kebiasaan orang Arab atas menamai shalat kaliayaitu maghrib>>. Dan orang Arab menyebutnya maghrib tersebut adalah isya.

Dan ada larangan dari yang ke dua dalam hadis Muslim; <<Janganlah dipengaruhi akan kalian oleh kebiasaan orang Arab atas nama shalat kalian, Betapa tidak sesungguhnya shalat tersebut adalah Isya>>. Dan orang Arab sering bergelap-gelapan dengan merawat unta, dibaca dengan fatah awalnya atau dhummah awal. Dan ada dalam riwayat lain; <<dengan memeras susu unta>>.

قال في شرح مسلم: معناه أنهم يسمونها العتمة لكونهم يعتمون بحلاب الإبل أي يؤخرونه إلى شدة الظلام. (والنوم قبلها) أي قبل العشاء (والحديث بعدها) لأنه - صلى الله عليه وسلم - كان يكرههما، رواه الشيخان عن أبي برزة. (إلا في خير والله أعلم) كقراءة القرآن والحديث ومذاكرة الفقه وإيناس الضيف، ولا يكره الحديث لحاجة.

Imam Nawawi dalam kitab syarh Muslim berkata; Makna hadis tersebut adalah bahwa sesungguhnya orang Arab menamai waktu isya dengan saat bergelap-gelapan, karena mereka bergelap-gelapan untuk memeras susu unta, artinya menundanya hingga saat sangat gelap.

(Dan dimakruhkan tidur sebelumnya), maksudnya sebelum shalat isya. (Dan makruh ngobrol sesudahnya isya), karena Nabi saw, keadaan beliau membenci kedua perkara tersebut. Hadis ini diriwayat oleh dua orang Syaikh dari Abi barzah.

(Kecuali untuk kebaikan. Dan hanya Allah yang maha mengetahui), seperti membaca al-Quran dan Hadis, berdiskusi masalah fiqih dan meladeni tamu. Dan tidak makruh ngobrol karena suatu keperluan.

(ويسن تعجيل الصلاة لأول الوقت) لحديث ابن مسعود: سألت النبي - صلى الله عليه وسلم -: أي الأعمال أفضل؟ قال: «الصلاة لأول وقتها» رواه الدارقطني وغيره.

(Dan disunnahkan menyegerakan shalat di awal waktu) karena hadis Ibn Mas'ud: Aku bertanya pada Nabi saw; Amakan apa yang paling afdhal ?, Nabi menjawab: <<Shalat di awal waktu>>. Hadis ini diriwayat oleh Al-Daraquthni dan lainnya.

وقال الحاكم: إنه على شرط الشيخين، ولفظ الصحيحين لوقتها، فيشتغل أول الوقت بأسبابها كالطهارة والستر ونحوهما إلى أن يفعلها، وسواء العشاء وغيرها 

Dan al-Hakim berkata; bahwa sungguh hadis tersebut di atas syarat dua orang Syaikh. Dan lafazh hadis dalam dua kitab sahih adalah "li waqtiha"; bagi waktu shalat tersebut. Maka seseorang menyibukkan diri di awal waktu dengan sebab-sebabnya shalat, seperti bersuci, menutup aurat dan seumpama keduanya hingga seseorang tersebut mengerjakannya shalat, sama saja baik shalat tersebut adalah isya atau selainnya.

(وفي قول تأخير العشاء أفضل) أي ما لم يجاوز وقت الاختيار لحديث الشيخين عن أبي برزة، قال: كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يستحب أن يؤخر العشاء، وجوابه ما قال في شرح المهذب إن تقديمها هو الذي واظب عليه النبي - صلى الله عليه وسلم -.

(Dan pada satu pendapat: Mengakhirkan shalat isya adalah lebih baik) artinya selama tidak melewati waktu ikhtiyar, karena hadis riwayat dua orang Syaikh dari Abi Barzah,

Abi Barzah berkata: Adalah Rasulullah saw menuntut sunatkan akan bahwa diakhirkan shalat isya. Dan jawabannya pendapat pertama adalah sesuai dengan apa yang dikatakan imam Nawawi dalam kitab syarh al-Muhadzab: Sesungguhnya mendahulukan shalat isya adalah perbuatan yang dirutinkan oleh Nabi saw.

(ويسن الإبراد بالظهر في شدة الحر) إلى أن يصير للحيطان ظل يمشي فيه طالب الجماعة لحديث الشيخين «أَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ» وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ «بِالظُّهْرِ فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ» أَيْ هَيَجَانِهَا.

(Dan disunnahkan berdingin-dingin dengan shalat dzuhur pada saat sangat panas) hingga jadilah bayangan bagi dinding yang berjalan pada naungan bayangan tersebut oleh orang yang menuju jamaah.


Karena ada hadis dari dua kitab sahih; <<Dinginkanlah diri kalin dengan shalat>>. Dan dalam satu riwayat lain milik Imam Bukhari: <<dengan dzuhur, karena sesungguhnya sangat panas itu adalah karena luapan neraka>>, maksudnya hawa luapannya neraka.

وَفِي اسْتِحْبَابِ الْإِبْرَادِ بِالْجُمُعَةِ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا: نَعَمْ، لِحَدِيثِ الْبُخَارِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يُبْرِدُ بِالْجُمُعَةِ، وَأَصَحُّهُمَا لَا لِشِدَّةِ الْخَطَرِ فِي فَوَاتِهَا الْمُؤَدِّي إلَى تَأْخِيرِهَا بِالتَّكَاسُلِ، وَهَذَا مَفْقُودٌ فِي حَقِّ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. 



Dan  pendapat yang paling kuat dari 2 pendapat tersebut adalah tidak disunatkan, karena kekhawatiran yang bersangatan pada tinggalnya jum'at dapat menyebabkan kepada berlambat-lambatnya jum'at dengan sebab bermalas-malasan dan hal ini ini tidak ada pada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam

(وَالْأَصَحُّ اخْتِصَاصُهُ بِبَلَدٍ حَارٍّ وَجَمَاعَةِ مَسْجِدٍ يَقْصِدُونَهُ مِنْ بُعْدٍ) وَلَا ظِلَّ فِي طَرِيقِهِمْ إلَيْهِ، فَلَا يُسَنُّ فِي بَلَدٍ مُعْتَدِلٍ، وَلَا لِمَنْ يُصَلِّي فِي بَيْتِهِ مُنْفَرِدًا، وَلَا لِجَمَاعَةِ مَسْجِدٍ لَا يَأْتِيهِمْ غَيْرُهُمْ، وَلَا لِمَنْ كَانَتْ مَنَازِلُهُمْ قَرِيبَةً مِنْ الْمَسْجِدِ، وَلَا لِمَنْ يَمْشُونَ إلَيْهِ مِنْ بُعْدٍ فِي ظِلٍّ. وَالثَّانِي لَا يَخْتَصُّ بِذَلِكَ فَيُسَنُّ فِي كُلِّ مَا ذُكِرَ لِإِطْلَاقِ الْحَدِيثِ. وَذِكْرُ الْمَسْجِدِ جَرَى عَلَى الْغَالِبِ وَمِثْلُهُ الرِّبَاطُ وَنَحْوُهُ مِنْ أَمْكِنَةِ الْجَمَاعَةِ.


(Dan menurut pendapat kuat; dikhususkan sunnah berdingin-dingin tersebut di negri yang panas dan jamaah di mesjid untuk mendatangi mesjid tersebut dari kejauhan), dan tidak ada naungan pada jalan-jalan mereka untuk menuju ke mesjid.

Maka tidak disunahkan berdingin-dingi  di negeri iklim tropis, tidak sunnah pula bagi orang yang shalat sendiri di rumah, tidak pula bagi jama'ah di mesjid yang tidak datang orang lain beserta mereka, tidak sunnah pula bagi orang yang tempat tinggal mereka dekat dari mesjid, dan tidak sunah pula bagi orang yang berjalan ke mesjid dari kejauhan melalui naungan.

Dan menurut pendapat kedua; tidak dikhususkan dengan demikian, maka disunahkan pada tiap-tiap tempat tersebut karena keumuman hadis.

Dan penyebutan kata "mesjid" hanyalah berlaku di atas kebiasaan, dan seumpamanya mesjid adalah balai dan seumpamanya yang merupakan tempat berjamaah.

)وَمَنْ وَقَعَ بَعْضُ صَلَاتِهِ فِي الْوَقْتِ) وَبَعْضُهَا خَارِجَهُ (فَالْأَصَحُّ أَنَّهُ إنْ وَقَعَ) فِي الْوَقْتِ (رَكْعَةٌ) فَأَكْثَرَ (فَالْجَمِيعُ أَدَاءٌ إلَّا) بِأَنْ وَقَعَ فِيهِ أَقَلُّ مِنْ رَكْعَةٍ (فَقَضَاءٌ) لِحَدِيثِ الشَّيْخَيْنِ «مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ» أَيْ مُؤَدَّاةً، وَمَفْهُومُهُ أَنَّ مَنْ لَمْ يُدْرِكْ رَكْعَةً لَا يُدْرِكُ الصَّلَاةَ مُؤَدَّاةً. 

(Dan barang siapa yang terlaksana sebagian shalatnya dalam waktu) dan sebagian shalat tersebut di luar waktu (maka menurut pendapat as-Shah/ kuat sesungguhnya keadaan tersebut jika terlaksana dalam waktu, (satu rakaat saja) atau terlebih banyak (maka keseluruhannya adalah tunai, jika tidak demikian) maksudnya dengan bahwa yang terlaksana dalam waktu adalah kurang dari satu rakaat (maka keseluruhannya adalah qadha).

Karena hadis riwayat dua orang Syeikh; <<Barang siapa yang mendapati 1 rakaat saja dari pada shalat, maka sungguh seseorang tersebut telah mendapati shalat tersebut>>, artinya dalam keadaan tunai

Dan pemahaman hadis tersebut adalah bahwa sungguh seseorang yang tidak mendapati 1 rakaat, berarti orang itu tidak mendapati shalat tersebut dalam keadaan tunai.

وَالْفَرْقُ أَنَّ الرَّكْعَةَ تَشْتَمِلُ عَلَى مُعْظَمِ أَفْعَالِ الصَّلَاةِ إذْ مُعْظَمُ الْبَاقِي كَالتَّكْرِيرِ لَهَا، فَجَعَلَ مَا بَعْدَ الْوَقْتِ تَابِعًا لَهَا بِخِلَافِ مَا دُونَهَا. وَالْوَجْهُ الثَّانِي أَنَّ الْجَمِيعَ أَدَاءٌ مُطْلَقًا تَبَعًا لِمَا فِي الْوَقْتِ.

Dan perbedaannya adalah sesungguhnya satu rakaat adalah mencakup di atas bagian besar segala gerakan sholat, karena bagian besar rakaat yang tersisa adalah seperti mengulangi baginya rakaat tersebut.

Maka jadilah ma/ rakaat sesudah waktu, mengikuti baginya rakaat tersebut, dengan sebalik ma/ bagian shalat dibawahnya satu rakaat. Dan pendapat yang kedua adalah bahwa sungguh sekalian sholat adalah tunai secara mutlak, karena mengikuti bagi ma/ bagian shalat yang di dalam waktu.

وَالثَّالِثُ أَنَّهُ قَضَاءٌ مُطْلَقًا تَبَعًا لِمَا بَعْدَ الْوَقْتِ. وَالرَّابِعُ أَنَّ مَا وَقَعَ فِي الْوَقْتِ أَدَاءٌ وَمَا بَعْدَهُ قَضَاءٌ وَهُوَ التَّحْقِيقُ وَعَلَى الْقَضَاءِ يَأْثَمُ الْمُصَلِّي بِالتَّأْخِيرِ إلَى ذَلِكَ وَكَذَا عَلَى الْأَدَاءِ نَظَرًا لِلتَّحْقِيقِ، وَقِيلَ لَا نَظَرًا إلَى الظَّاهِرِ لِمُسْتَنِدٍ إلَى الْحَدِيثِ.

Dan pendapat yang ke tiga menyatakan bahwa seluruhnya dianggap qadha secara muthlak, karena mengikuti bagi rakaat yang sesudah waktu. Dan pendapat yang ke empat menyatakan bahwa rakaat yang di dalam waktu dianggap tunai dan yang sesudah waktu dianggap qadha. Pendapat ke empat ini adalah tahqiq.

Berdasarkan pendapat qadha, berdosalah orang yang shalat dengan menunda-nunda hingga demikian (keluar waktu). Begitujuga berdasarkan pendapat menganggap tunai, karena memandang bagi kepastian. Menurut pndapat lain tidak berdosa karena memandang pada yang zahir yang didasari pada hadis.

)وَمَنْ جَهِلَ الْوَقْتَ) لِغَيْمٍ أَوْ حَبْسٍ فِي بَيْتٍ مُظْلِمٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ (اجْتَهَدَ بِوِرْدٍ وَنَحْوِهِ) كَخِيَاطَةٍ وَقِيلَ إنْ قَدَرَ عَلَى الصَّبْرِ إلَى الْيَقِينِ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الِاجْتِهَادُ، فَقَوْلُهُ: اجْتَهَدَ، أَيْ جَوَازًا إنْ قَدَرَ وَوُجُوبًا إنْ لَمْ يَقْدِرْ، وَسَوَاءٌ الْبَصِيرُ وَالْأَعْمَى (فَإِنْ تَيَقَّنَ صَلَاتَهُ) بِالِاجْتِهَادِ (قَبْلَ الْوَقْتِ) وَعَلِمَ بَعْدَهُ (قَضَى فِي الْأَظْهَرِ) وَالثَّانِي لَا اعْتِبَارًا بِظَنِّهِ، فَإِنْ عَلِمَ فِي الْوَقْتِ أَعَادَ أَيْ بِلَا خِلَافٍ كَمَا قَالَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ 

Dan Siapa yang tidak mengetahui waktu salat karena mendung atau ditawan dalam ruangan yang gelap atau karena selain demikian maka dia harus berijtihad dengan menghitung wirid dan seumpamanya wirid seperti kegiatan menjahit dikatakan pendapat lain Jika dia sanggup atas bersabar hingga yakin maka tidak boleh baginya berijtihad.

Maka perkataan pengarang; dia harus berijtihad, maksudnya dibolehkan jika dia sanggup bersabar, dan diwajibkan Jika dia tidak kuasa bersabar, sama hukumnya seseorang tersebut dapat melihat atau buta.


(Maka jika dia yaqin sembahyangnya) yang dilakukan dengan ijtihad sebelum waktu dan dia mengetahuinya sesudah waktu, (maka dia harus mengqadha menurut pendapat Azhar).

Dan menurut pendapat kedua tidak ada tinjauan dengan dugaannya, jika dia yakin masih dalam waktu, maka dia harus mengulanginya, maksudnya dengan tanpa khilaf, sebagaimana yang dijelaskan imam nawawi dalam kitab syarah Al muhadzdzab.

(وَإِلَّا) أَيْ وَإِنْ لَمْ يَتَيَقَّنْ الصَّلَاةَ قَبْلَ الْوَقْتِ بِأَنْ تَيَقَّنَهَا فِي الْوَقْتِ أَوْ بَعْدَهُ أَوْ لَمْ يَتَبَيَّنْ الْحَالَ (فَلَا) يَقْضِي (وَيُبَادِرُ بِالْفَائِتِ) وُجُوبًا إنْ فَاتَ بِغَيْرِ عُذْرٍ وَنَدْبًا إنْ فَاتَ بِعُذْرٍ كَالنَّوْمِ وَالنِّسْيَانِ مُسَارَعَةً إلَى بَرَاءَةِ الذِّمَّةِ.

Dan

)وَيُسَنُّ تَرْتِيبُهُ) كَأَنْ يَقْضِيَ الصُّبْحَ قَبْلَ الظُّهْرِ وَالظُّهْرَ قَبْلَ الْعَصْرِ. (وَتَقْدِيمُهُ عَلَى الْحَاضِرَةِ الَّتِي لَا يَخَافُ فَوْتَهَا) مُحَاكَاةً لِلْأَدَاءِ فَإِنْ خَافَ فَوْتَهَا بَدَأَ بِهَا وُجُوبًا لِئَلَّا تَصِيرَ فَائِتَةً.

Dan

)وَتُكْرَهُ الصَّلَاةُ عِنْدَ الِاسْتِوَاءِ إلَّا يَوْمَ الْجُمُعَةِ) لِلنَّهْيِ عَنْهَا فِي حَدِيثِ مُسْلِمٍ وَالِاسْتِثْنَاءُ فِي حَدِيثِ أَبِي دَاوُد وَغَيْرِهِ.

Dan

)وَبَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ كَرُمْحٍ وَ) بَعْدَ (الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ) لِلنَّهْيِ عَنْهَا فِي حَدِيثِ الشَّيْخَيْنِ، وَلَيْسَ فِيهِ ذِكْرُ الرُّمْحِ وَهُوَ تَقْرِيبٌ.

Dan

وَفِي الْمُحَرَّرِ وَغَيْرِهِ: وَعِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ حَتَّى تَرْتَفِعَ كَرُمْحٍ، وَعِنْدَ الِاصْفِرَارِ حَتَّى تَغْرُبَ، أَيْ لِلنَّهْيِ عَنْهَا فِي حَدِيثِ مُسْلِمٍ السَّابِقِ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ الرُّمْحِ، وَلَمْ يَذْكُرْ ذَلِكَ الْمُصَنِّفُ كَغَيْرِهِ مَعَ قَوْلِهِ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ: إنَّ ذِكْرَهُ أَجْوَدُ رِعَايَةً لِلِاخْتِصَارِ، فَإِنَّهُ يَنْدَرِجُ فِي قَوْلِهِ بَعْدَ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ أَيْ لِمَنْ صَلَّى مِنْ حِينِ صَلَاتِهِ، وَلِمَنْ لَمْ يُصَلِّ مِنْ الطُّلُوعِ وَالِاصْفِرَارِ، وَأَشَارَ الرَّافِعِيُّ إلَى ذَلِكَ بِقَوْلِهِ: رُبَّمَا انْقَسَمَ الْوَقْتُ الْوَاحِدُ إلَى مُتَعَلِّقٍ بِالْفِعْلِ وَإِلَى مُتَعَلِّقٍ بِالزَّمَانِ 

Dan

(إلَّا) صَلَاةً (لِسَبَبٍ كَفَائِتَةٍ) فَرْضٍ أَوْ نَفْلٍ أَوْ صَلَاةِ جِنَازَةٍ كَمَا فِي الْمُحَرَّرِ (وَ) صَلَاةِ (كُسُوفٍ وَتَحِيَّةٍ) لِلْمَسْجِدِ (وَسَجْدَةِ شُكْرٍ) أَوْ تِلَاوَةٍ، فَلَا تُكْرَهُ فِي الْأَوْقَاتِ الْمَذْكُورَةِ، لِأَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَاتَهُ رَكْعَتَا سُنَّةِ الظُّهْرِ الَّتِي بَعْدَهُ فَقَضَاهُمَا بَعْدَ الْعَصْرِ، رَوَاهُ الشَّيْخَانِ.

Dan

وَأَجْمَعُوا عَلَى صَلَاةِ الْجِنَازَةِ بَعْدَ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَقِيسَ غَيْرُ ذَلِكَ مِمَّا ذُكِرَ عَلَيْهِ فِي الْفِعْلِ وَالْوَقْتِ، وَحُمِلَ النَّهْيُ عَلَى صَلَاةٍ لَا سَبَبَ لَهَا، وَهِيَ النَّافِلَةُ الْمُطْلَقَةُ، وَكَرَاهَتُهَا كَرَاهَةُ تَحْرِيمٍ عَمَلًا بِالْأَصْلِ فِي النَّهْيِ، وَقِيلَ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ، فَلَوْ أَحْرَمَ بِهَا لَمْ تَنْعَقِدْ كَصَوْمِ يَوْمِ الْعِيدِ، وَقِيلَ تَنْعَقِدُ كَالصَّلَاةِ فِي الْحَمَّامِ وَأُدْرِجَتْ السَّجْدَةُ فِي الصَّلَاةِ لِشَبَهِهَا بِهَا فِي الشُّرُوطِ وَالْأَحْكَامِ، 

Dan

وَفِي الرَّوْضَةِ وَأَصْلُهَا: لَوْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فِي أَوْقَاتِ الْكَرَاهَةِ لِيُصَلِّيَ التَّحِيَّةَ فَوَجْهَانِ أَقْيَسُهُمَا الْكَرَاهَةُ، كَمَا لَوْ أَخَّرَ الْفَائِتَةَ لِيَقْضِيَهَا فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ. وَلَا تُكْرَهُ صَلَاةُ الِاسْتِسْقَاءِ فِيهَا عَلَى الْأَصَحِّ. وَالثَّانِي يَنْظُرُ إلَى أَنَّهَا لَا تَفُوتُ بِالتَّأْخِيرِ، وَتُكْرَهُ رَكْعَتَا الْإِحْرَامِ فِيهَا عَلَى الْأَصَحِّ لِأَنَّهُ السَّبَبُ، وَلَمْ يُوجَدْ، وَقَدْ لَا يُوجَدُ. وَالثَّانِي يَقُولُ: السَّبَبُ إرَادَتُهُ وَهِيَ مَوْجُودَةٌ.

Dan

قَالَ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ: وَهُوَ قَوِيٌّ، وَسَيَأْتِي فِي صَلَاةِ الْعِيدِ أَنَّ وَقْتَهَا مِنْ طُلُوعِ الشَّمْسِ، وَذَكَرَهَا الْمَاوَرْدِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ ذَوَاتِ السَّبَبِ، أَيْ وَهُوَ فِي حَقِّهَا دُخُولُ وَقْتِهَا، وَمِثْلُهَا صَلَاةُ الضُّحَى عَلَى مَا فِي الرَّوْضَةِ وَأَنَّ وَقْتَهَا مِنْ طُلُوعِ الشَّمْسِ فَلَا تُكْرَهَانِ قَبْلَ ارْتِفَاعِهَا، وَيُسَنُّ تَأْخِيرُهُمَا إلَيْهِ كَمَا سَيَأْتِي. 

Dan

(وَإِلَّا) صَلَاةً (فِي حَرَمِ مَكَّةَ) الْمَسْجِدِ وَغَيْرِهِ لَا سَبَبَ لَهَا فَلَا تُكْرَهُ (عَلَى الصَّحِيحِ) لِحَدِيثِ «يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ» رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ، وَقَالَ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَالثَّانِي تُكْرَهُ فِيهِ كَغَيْرِهِ. قَالَ: وَالصَّلَاةُ فِي الْحَدِيثِ رَكْعَتَا الطَّوَافِ وَلَهَا سَبَبٌ.

Dan

)فَصْلٌ) إنَّمَا تَجِبُ الصَّلَاةُ (عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ بَالِغٍ عَاقِلٍ) ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى (طَاهِرٍ) بِخِلَافِ الْكَافِرِ، فَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ وُجُوبَ مُطَالَبَةٍ بِهَا فِي الدُّنْيَا لِعَدَمِ صِحَّتِهَا مِنْهُ، لَكِنْ تَجِبُ عَلَيْهِ وُجُوبَ عِقَابٍ عَلَيْهَا فِي الْآخِرَةِ كَمَا تَقَرَّرَ فِي الْأُصُولِ لِتَمَكُّنِهِ مِنْ فِعْلِهَا بِالْإِسْلَامِ، وَبِخِلَافِ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ لِعَدَمِ تَكْلِيفِهِمَا وَبِخِلَافِ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ لِعَدَمِ صِحَّتِهَا مِنْهُمَا. 

Dan

(وَلَا قَضَاءَ عَلَى كَافِرٍ) إذَا أَسْلَمَ تَرْغِيبًا لَهُ فِي الْإِسْلَامِ (إلَّا الْمُرْتَدِّ) بِالْجَرِّ فَإِنَّهُ إذَا عَادَ إلَى الْإِسْلَامِ يَجِبُ عَلَيْهِ قَضَاءُ مَا فَاتَهُ فِي زَمَنِ الرِّدَّةِ حَتَّى زَمَنِ الْجُنُونِ فِيهَا تَغْلِيظًا عَلَيْهِ، بِخِلَافِ زَمَنِ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ فِيهَا. وَالْفَرْقُ أَنَّ إسْقَاطَ الصَّلَاةِ فِيهَا عَنْ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ عَزِيمَةٌ، وَعَنْ الْمَجْنُونِ رُخْصَةٌ، وَالْمُرْتَدُّ لَيْسَ مِنْ أَهْلِهَا. 

Dan

(وَلَا) قَضَاءَ عَلَى (الصَّبِيِّ) ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى إذَا بَلَغَ (وَيُؤْمَرُ بِهَا لِسَبْعٍ وَيُضْرَبُ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ) لِحَدِيثِ أَبِي دَاوُد وَغَيْرِهِ «مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ، وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا» وَهُوَ حَدِيثٌ صَحِيحٌ كَمَا قَالَهُ الْمُصَنِّفُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ.

Dan

قَالَ: وَالْأَمْرُ وَالضَّرْبُ وَاجِبٌ عَلَى الْوَلِيِّ أَبًا كَانَ أَوْ جِدًّا أَوْ وَصِيًّا أَوْ قَيِّمًا مِنْ جِهَةِ الْقَاضِي، وَفِي الرَّوْضَةِ كَأَصْلِهَا: يَجِبُ عَلَى الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ تَعْلِيمُ أَوْلَادِهِمْ الطَّهَارَةَ وَالصَّلَاةَ بَعْدَ سَبْعِ سِنِينَ، وَضَرْبُهُمْ عَلَى تَرْكِهَا بَعْدَ عَشْرِ سِنِينَ. 

Dan

(وَلَا) قَضَاءَ عَلَى شَخْصٍ (ذِي حَيْضٍ) أَوْ نِفَاسٍ إذَا طَهُرَ (أَوْ جُنُونٍ أَوْ إغْمَاءٍ) إذَا أَفَاقَ (بِخِلَافِ) ذِي (السُّكْرِ) إذَا أَفَاقَ مِنْهُ فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ قَضَاءُ مَا فَاتَهُ مِنْ الصَّلَاةِ زَمَنَهُ لِتَعَدِّيهِ بِشُرْبِ الْمُسْكِرِ، فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ كَوْنَهُ مُسْكِرًا فَلَا قَضَاءَ. 

Dan

(وَلَوْ زَالَتْ هَذِهِ الْأَسْبَابُ) أَيْ الْكُفْرُ وَالصِّبَا وَالْحَيْضُ وَالنِّفَاسُ وَالْجُنُونُ وَالْإِغْمَاءُ (وَبَقِيَ مِنْ الْوَقْتِ تَكْبِيرَةٌ) أَيْ قَدْرُهَا (وَجَبَتْ الصَّلَاةُ) لِإِدْرَاكِ جُزْءٍ مِنْ الْوَقْتِ كَمَا يَجِبُ عَلَى الْمُسَافِرِ الْإِتْمَامُ بِاقْتِدَائِهِ بِمُقِيمٍ فِي جُزْءٍ مِنْ الصَّلَاةِ 

Dan

(وَفِي قَوْلٍ: يُشْتَرَطُ رَكْعَةٌ) أَخَفُّ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ أَحَدٌ كَمَا أَنَّ الْجُمُعَةَ لَا تُدْرَكُ بِأَقَلَّ مِنْ رَكْعَةٍ (وَالْأَظْهَرُ) عَلَى الْأَوَّلِ (وُجُوبُ الظُّهْرِ بِإِدْرَاكِ تَكْبِيرَةِ آخِرِ) وَقْتِ (الْعَصْرِ وَ) وُجُوبُ (الْمَغْرِبِ) بِإِدْرَاكِ تَكْبِيرَةِ (آخِرِ) وَقْتِ (الْعِشَاءِ) لِأَنَّ وَقْتَ الثَّانِيَةِ وَقْتٌ لِلْأُولَى فِي جَوَازِ الْجَمْعِ فَكَذَا فِي الْوُجُوبِ.

Dan

وَالثَّانِي لَا تَجِبُ الظُّهْرُ وَالْمَغْرِبُ بِمَا ذُكِرَ، بَلْ لَا بُدَّ مِنْ زِيَادَةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ لِلظُّهْرِ فِي الْمُقِيمِ وَرَكْعَتَيْنِ فِي الْمُسَافِرِ، وَثَلَاثٍ لِلْمَغْرِبِ، لِأَنَّ جَمْعَ الصَّلَاتَيْنِ الْمُلْحَقَ، بِهِ إنَّمَا يَتَحَقَّقُ إذَا تَمَّتْ الْأُولَى وَشَرَعَ فِي الثَّانِيَةِ فِي الْوَقْتِ، 

Dan

وَلَا تَجِبُ وَاحِدَةٌ مِنْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَالْعِشَاءِ بِإِدْرَاكِ جُزْءٍ مِمَّا بَعْدَهَا لِانْتِفَاءِ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا، وَلَا يُشْتَرَطُ فِي الْوُجُوبِ إدْرَاكُ زَمَنِ الطَّهَارَةِ. وَيُشْتَرَطُ فِيهِ امْتِدَادُ السَّلَامَةِ مِنْ الْمَوَانِعِ زَمَنَ إمْكَانِ الطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ.

Dan

)وَلَوْ بَلَغَ فِيهَا) بِالسِّنِّ (أَتَمَّهَا) وُجُوبًا (وَأَجْزَأَتْهُ عَلَى الصَّحِيحِ) وَالثَّانِي لَا يَجِبُ إتْمَامُهَا، بَلْ يُسْتَحَبُّ، وَلَا تُجْزِئُهُ لِابْتِدَائِهَا فِي حَالِ النُّقْصَانِ (أَوْ) بَلَغَ (بَعْدَهَا) فِي الْوَقْتِ بِالسِّنِّ أَوْ الِاحْتِلَامِ أَوْ الْحَيْضِ (فَلَا إعَادَةَ عَلَى الصَّحِيحِ) وَالثَّانِي تَجِبُ لِوُقُوعِهَا حَالَ النُّقْصَانِ 

Dan

(وَلَوْ حَاضَتْ) أَوْ نَفِسَتْ (أَوْ جُنَّ) أَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ (أَوَّلَ الْوَقْتِ) وَاسْتَغْرَقَهُ مَا ذَكَرَ (وَجَبَتْ تِلْكَ) الصَّلَاةُ (إنْ أَدْرَكَ) مَنْ عَرَضَ لَهُ ذَلِكَ قَبْلَ مَا عَرَضَ (قَدْرَ الْفَرْضِ) أَخَفُّ مَا يُمْكِنُهُ لِتَمَكُّنِهِ مِنْ فِعْلِهِ بِأَنْ كَانَ مُتَطَهِّرًا، فَإِنْ لَمْ تُجْزِئْ طَهَارَتُهُ قَبْلَ الْوَقْتِ كَالْمُتَيَمِّمِ اُشْتُرِطَ إدْرَاكُ زَمَنِ الطَّهَارَةِ أَيْضًا (وَإِلَّا) أَيْ وَإِنْ لَمْ يُدْرِكْ قَدْرَ الْفَرْضِ (فَلَا) تَجِبُ تِلْكَ الصَّلَاةُ لِعَدَمِ التَّمَكُّنِ مِنْ فِعْلِهَا

Selanjutnya>>

Mari Berinvestasi dengan berbagi ilmu dan kebaikan untuk meraih Keuntungan di akhirat kelak. Pastinya tulisan ini banyak sekali kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran nya kami tunggu selalu di kolom komentar. Salam SUKSES.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama