Terjemahan Kitab - Tahqiqul Maqam 'ala Kifayatul 'Awam | Sifat Qidam dan Baqa- Makna Pesantren Lengkap (Kitabkuning90)

Terjemahan Kitab - Tahqiqul Maqam 'ala Kifayatul 'Awam | Makna Pesantren Lengkap
Kitab Tahqiqul Maqam 'ala Kifayatul 'awam
Terjemahan Kitab - Tahqiqul Maqam 'ala Kifayatul 'Awam | Makna Pesantren Lengkap - Sambungan Sifat yang ke 2 dan 3, Qidam dan Baqa (Kitabkuning90).
[Sebelumnya>> Sifat Wujud]



Bermula sifat yang kedua yang wajib bagi-Nya Allah ta'ala itu Qidam/ sedia

Dan bermula maknanya Qidam itu tiada permulaan. Maka bermula makna keadaan Allah ta'ala itu yang Kadim, itu tiada jenis permulaan bagi wujud-Nya Allah, dengan sebalik si Zaid -sebagai contoh-, maka bermula wujudnya Zaid itu Sabit baginya wujud Zaid itu permulaan. Dan bermula dia permulaan wujud Zaid itu penciptaan setetes mani yang diciptakan akan Zaid dari padanya setetes mani.

Dan diperselisihkan akan Adakah bermula qadim dan Azali itu Sabit dengan makna yang satu atau itu yang berbedalah keduanya qadim dan Azali ??

Maka bermula Man/ ulama yang berpendapat ia ulama dengan pendapat yang pertama itu mendefinisikan ia ulama akan keduanya qadim dan Azali dengan pendapatnya ulama: (bermula dia qadim dan Azali) itu ma/sesuatu yang tiada jenis permulaan baginya sesuatu. Dan menafsirkan ia ulama akan "ma" dengan sesuatu, artinya: Bermula qadim dan Azali itu sesuatu yang tiada jenis permulaan baginya sesuatu. Maka mencakupi ia qadim dan Azali akan zat Allah dan sekalian sifat-sifat-Nya Allah.

Dan bermula Man/ ulama yang berpendapat ia ulama dengan pendapat yang kedua itu mendefinisikan ia ulama akan qadim dengan pendapatnya ulama: (Bermula dia Qadim itu sesuatu yang maujud yang tiada jenis permulaan baginya sesuatu yang maujud. Dan mendefinisikan ia ulama akan Azali dengan: ma/ sesuatu yang tiada jenis permulaan baginya sesuatu, yang lebih umum ia sesuatu dari pada bahwa ada ia sesuatu itu sesuatu yang maujud atau itu bukan sesuatu yang maujud.

Maka bermula dia Azali itu lebih umum dari pada Qadim. Maka berhimpunlah keduanya Azali dan qadim pada Zat-Nya Allah ta'ala dan sifat-sifat-Nya Allah ta'ala yang wujud. Maka dikatakan bagi Zat-Nya Allah Ta'ala akan Azali dan dikatakan bagi sifat qudrah Nya Allah Ta'ala akan Azali.


Dan terasinglah Azali pada segala hal, seperti keadaan Allah ta'ala itu yang maha kuasa (berdasarkan) di atas pendapat dengannya hal. Maka bahwa sungguh keadaan Allah ta'ala itu yang maha kuasa itu dikatakan baginya (keadaan yang Maha kuasa tersebut) akan Azali (berdasarkan) di atas ini pendapat.

Dan tidak dikatakan baginya keadaan yang maha kuasa akan Qadim, karena ma/alasan yang telah engkau katahui (yaitu) bahwa sungguh Qadim itu tidak boleh tidak padanya qadim dari pada wujud. Dan bermula keadaan Allah yang maha kuasa itu tidak naik ia keadaan kepada derajat wujud, karena bahwa sesungguhnya keadaan tersebut itu hal.


Dan bermula dalil di atas qidam-Nya Allah ta'ala itu Bahwa sesungguhnya keadaan itu apabila tidak ada Ia Allah itu yang maha Qadim, niscaya ada Ia Allah itu yang baharu, karena bahwa sesungguhnya keadaan itu tiada jenis pertengahan diantara qadim dan Hadits/yang baharu. Maka bermula tiap-tiap sesuatu yang ternafi/ ditiadakan dari padanya sesuatu oleh Qidam, niscaya sebut baginya sesuatu oleh hudus/baharu.

Dan apabila ada Ia Allah ta'ala itu yang baharu, niscaya berhajat Ia Allah kepada Pencipta yang menjadikan ia pencipta akan-Nya Allah. Dan berhajatlah pencipta-Nya Allah kepada Pencipta yang lain dan seterusnya. Maka jika tidak berhenti lah semua pencipta, niscaya melazimi lah tasalsul/ berangsur-angsur. Dan bermula dia tasalsul itu berangsur-angsur lah perkara akan sebagai satu sesudah satu yang lain hingga...ma/keadaan


...ma/keadaan yang tiada jenis penghabisan baginya keadaan. Padahal bermula tasalsul itu mustahil.
Dan jika berpenghujung lah semua pencipta (maksudnya) dengan bahwa dikatakan: Bahwa sungguh Pencipta yang menciptakan ia pencipta akan Allah itu diciptakan akan nya pencipta oleh Allah, niscaya melazimi lah "Dur"/ terus berketergantungan.

Dan bermula dia "dur" itu berketergantungan sesuatu di atas sesuatu yang lain yang ketergantungan pula ia sesuatu yang lain di atasnya sesuatu yang pertama. Maka bahwa sesungguhnya keadaan itu apabila adalah bagi Allah ta'aala- Azza Wa Jalla -itu pencipta, niscaya ada Ia Allah itu yang berketergantungan di atas ini pencipta.

Dan sungguh kita takdirkan/ andaikan akan bahwa sesungguh-Nya Allah itu yang menjadikan Ia Allah akan ini pencipta, maka adalah pencipta tersebut itu berketergantungan di atas Allah. Padahal Bermula "dur"/ terus berketergantungan itu mustahil, artinya: Tidak terfikirkan pada akal akan adanya "Dur".

Dan bermula alladzi/perkara yang membawa ia perkara kepada "Dur" dan "tasalsul" yang mustahil keduanya itu mentakdirkan/ mengandaikan baharu-Nya Allah ta'ala -Maha Megah Ia Allah dan Maha Tinggi Ia Allah-. Maka adalah baharu-Nya Allah ta'ala itu mustahil, karena bahwa sungguh tiap-tiap sesuatu yang membawa ia sesuatu kepada mustahil itu mustahil pula.

Maka bermula kesimpulan dalil itu bahwa engkau kata: Jikalau adalah Allah itu tidak Qadim/sedia (maksudnya) dengan bahwa adalah Allah itu yang baharu, nidcaya sungguh berhajat Ia Allah kepada pencipta, maka melazimilah "dur" dan "tasalsul". Padahal bermula keduanya dur dan tasalsul itu mustahil lah keduanya. Maka adalah hudus-Nya/ bsharu-Nya Allah itu mustahil. Maka sebutlah Qidam/ sedia-Nya Allah. Dan bermula demikian sebut Qidam Allah itu tujuan pembahasan.

Dan bermula ini penjelasan itu dalil ijmali/global bagi sifat Qidam-Nya Allah ta'ala. Dan dengannya dalil ijmali, keluarlah orang mukallaf dari resiko taqlid/ikut-ikuta, (yaitu) keadaan alladzi yang kekal lah pelakunya taqlid dalam neraka (berdasarkan) pendapat Ibnu Arabi dan Imam Sanusi sebagai mana ma/penjelasan yang telah terdahulu ia penjelasan.


Bermula sifat yang ketiga yang wajib bagi-Nya Allah ta'ala itu baqa/ kekal

Dan bermula maknanya baqa/ kekal itu tiada pengakhiran bagi Wujud. Maka bermula makna keadaan Allah ta'ala itu yang Kekal itu Bahwa sesungguhnya keadaan itu tiada jenis akhir bagi wujud-Nya Allah.


Dan bermula dalil di atas kekal-Nya Allah ta'ala itu Bahwa sesungguhnya keadaan itu jikalau boleh saja lah bahwa dihubung/ ditemui akan-Nya Allah oleh ketiadaan, niscaya sungguh ada Ia Allah itu yang baharu. Maka berhajat Ia Allah kepada pencipta dan melazimi lah "Dur" atau "tasalsul".

Dan sungguh telah terdahulu lah definisi tiap-tiap salah satu dari pada keduanya Dur dan tasalsul pada dalil sifat Qidam/ sedia. Dan bermula penjelasannya dalil Qidam itu bahwa sungguh sesuatu alladzi yang boleh saja diatasnya sesuatu oleh tiada, itu ternafi/ tiadalah dari padanya sesuatu itu sifat Qidam/ sedia, karena bahwa sungguh tiap-tiap Man/ seseorang yang berhubung/ ditemui akan nya seseorang oleh ketiadaan itu niscaya adalah wujudnya seseorang itu yang boleh saja.

Dan Bermula tiap-tiap yang boleh saja wujud itu ada ia tiap-tiap yang boleh saja wujud itu sesuatu yang baharu, dan bermula tiap-tiap sesuatu yang baharu itu berhajat ia sesuatu yang baharu kepada pencipta. Dan bermula Dia Allah ta'aala itu sebut bagi-Nya Allah oleh sifat Qidam/ sedia dengan dalil yang telah terdahulu. Dan bermula tiap-tiap sesuatu yang sebut baginya sesuatu oleh sifat Qidam/ sedia itu niscaya mustahil di atasnya sesuatu oleh tiada.

Maka bermula dalil baqa/ kekal bagi-Nya Allah ta'ala, dia dalil itu dalil sifat Qidam/ sedia. Dan bermula kesimpulannya dalil itu bahwa engkau kata: jikalau tidak wajib/ mesti bagi-Nya Allah oleh kekal (maksudnya) dengan bahwa ada Ia Allah itu boleh saja di atas-Nya Allah oleh tiada, niscaya sungguh ternafi lah/tiadalah dari pada-Nya Allah oleh sifat Qidam/ sedia.


Dan bermula sifat Qidam/ sedia itu tidak patutlah bernafi nya/ tiadanya sifat Qidam dari pada-Nya Allah Ta'ala, karena dalil yang telah terdahulu. Dan bermula ini penjelasan, dia penjelasan itu dalil yang telah terdahulu. Dan bermula ini dalil, dia dalil itu dalil yang ijmali/ global bagi sifat baqa/ kekal yang wajib di atas tiap-tiap seseorang oleh bahwa mengetahui ia seseorang akan nya dalil ijmali.

Dan sabit seperti demikian sifat baqa itu tiap-tiap aqidah yang wajiblah bahwa mengetahui ia seseorang akan nya aqidah dan mengetahui ia seseorang akan dalilnya aqidah yang ijmali/ global. Maka apabila sudah diketahui akan sebahagian akidah-akidah dengan dalilnya sebahagian aqidah dan tidak diketahui akan aqidah yang tersisa dengan dalilnya aqidah yang tersisa, niscaya tidak memada ia demikian (keadaan tidak mengetahui) pada iman berdasarkan di atas pendapat man/ ulama yang tidak menganggap cukup ia Ulama dengan taqlid/ ikut-ikutan. Selanjutnya>>

Kritik dan saran selalu di tunggu bila ada kekeliruan. Kunjungi terjemahan kitab yang lain di Daftar Isi>> Terimakasih...
Salam Santri  !!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama