BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak dulu di Indonesia sudah terjadi kasus-kasus hukum, seperti halnya kasus korupsi, kasus perceraian, dan kasus-kasus yang lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman, penyelesai hukum yang sekarang agak berbeda dengan penyelesaian hukum pada zaman sebelumnya. Sekarang ini, dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum itu, sebagian besar para pelaku menggunakan berbagai upaya hukum, agar dapat meringankan putusan hukum yang seringan-ringannya. Ada dari mereka yang mengajukan upaya banding, ada juga dari mereka yang menggunakan upaya kasasi ataupun upaya peninjauan kembali (PK).
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalaha/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak.
Oleh karena itu perlu adanya pemaparan tentang apa yang dimaksud dengan upaya hukum beserta pembahasannya yakni mengenai upaya hukum yang akan di tempuh apabila pelaku masih tidak puas karena putusan hakim yang mungkin dinilai tidak adil dalam kasusnya. Upaya hukum tersebut meliputi banding, kasasi dan upaya hukum luar biasa seperti peninjauan kembali.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas pemakalah akan menguraikan mengenai “Upaya Hukum-Hukum Di Pengadilan” Secara ringkas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah, sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan upaya Hukum Banding ?
2. Apakah yang dimaksud dengan upaya Hukum Kasasi ?
3. Apakah yang dimaksud dengan upaya Hukum peninjauan kembali ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dari upaya Hukum Banding.
2. Untuk mengetahui maksud dari upaya Hukum Kasasi.
3. Untuk mengetahui maksud dari upaya Hukum peninjauan kembali.
D. Metode Penulisan
Metode kali ini yang akan penulis gunakan adalah Metode Kepustakaan dimana dalam pembuatan makalah ini disusun dengan pengumpulan-pengumpulan informasi dari berbagai sumber legal dan absah.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Upaya Hukum Dan Macam-Macam Upaya Hukum
Upaya hukum yaitu suatu usaha bagi setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atas kepentingannnya untuk memperolehg keadilan dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.
Macam-macam upaya hukum terdiri dari:[1]
1. Upaya hukum melawan gugatan
a. Eksepsi,
b. Rekonvensi (gugat balik);
c. Minta vrijwaring
2. Upaya hukum melawan putusan
a. Upaya hukum biasa
1) Verzet
2) Banding
3) Kasasi
b. Upaya hukum luar biasa
1) Rekes sipil (peninjauan kembali)
2) Derden verzet
3. Upaya hukum melawan sita
a. Verzet yang bersangkutan;
b. Verzet pihak ketiga;
4. Upaya hukum melawan eksekusi
a. Verzet yang bersangkutan;
b. Verzet pihak ketiga
5. Upaya hukum untuk mencampuri proses;
a. Intervensi (tussenkomst = mencampuri)
b. Voeging (turut serta pada salah satu pihak)
c. Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin)
6. Upaya hukum pembuktian:
a. Saksi
b. Tulisan
c. Dugaan/persangkaan;
d. Pengakuan
e. Sumpah dan lain-lain.
Semua ini merupakan suatu upaya hukum terhadap suatu sengketa yang telah diproses di pengadilan. Sedang upaya hukum bagi pihak yang dirugikan oleh orang lain atau untuk sesuatu kepentingan hukum baginya yang belum diproses di pengadilan ialah mengajukan perkara ke pengadilan.[2]
Dari semua macam-macam upaya hukum di atas, pada makalah ini yang kita bicarakan adalah tentang upaya hukum melawan putusan, yaitu upaya hukum biasa (Verzet, Banding dan kasasi) dan upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali dan derden verzet)
B. Upaya Hukum Biasa
1. Verzet
a. Pengertian Verzet
Verzet adalah perlawanan dari tergugat terhadap putusan verstek atau putusan al-qadla ala al-gha’ib, yaitu putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat.[3]
b. Dasar Hukum Verzet
Dasar hukum verzet adalah pasal 129 HIR/153 Rbg, yang memberi kemungkinan bagi tergugat/para tergugat yang dihukum verstek untuk mengajukan verzet atau perlawanan. Dengan ketentuan, kedua perkara tersebut (verstek dan verzet)tersebut dijadikan satu dan diberi nomor, sedapat mungkin perkara tersebut dipegang oleh Majelis Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa harus memeriksa gugata yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan. Pembuktiannya agar mengacu pada SEMA NO.9 tahun 1964.
Apabila tela dijatuhkan putsan verstek dan ternyata penggugat mengajukan bandimng, maka tergugat tidak dapat mengajukan verzet, melainkan ia boleh mengajukan banding. Tetapi, jika penggugat tidak mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan banding, melainkanboleh mengajukan verzet.
c. Syarat-Syarat Verzet
Syarat-syarat banding adalah:
1) Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara
2) Diajukan masih dalam masih masa tenggang waktu verzet
3) Putusan tersebut, menurut hukum, boleh dimintakan verzet, Dan lain-lain.
d. Tata cara verzet
Tata cara pengajuan verzet sama dengan tata cara pengajuan surat gugatan, yaitu boleh dilakukan dengan secara lisan dan boleh dengan secara tertulis (120 HIR/142 R.Bg dan 118 HIR/144 R.Bg).[4]
e. Tenggang Waktu Verzet
Tenggang waktu verzet diatur dalam pasal 129 HIR sebagai berikut:
1) Apabila pemberitahuan isi putusan verstek itu dapat disampaiakna langsung kepada tergugat, maka tenggang waktu verzet ialah 14 hari sejak setelah hari pemberitahuan.
2) Apabila pemberitahuan is putusan itu ternyata tidak dapat disampaikan langsung kepada tergugat (tidak bertenmu langsung) tetapi disampaikna lewat Kepala Desa, dan tergugat ternyata tidak melaksanakan putuan dengan sukarela kemudian ketua PA akan memanggil tergugat supaa dating di kantor PA untuk mendapat teguran, kemudian apabila tergugat dating dan telah menerimaa teguran tersebut, maka tenggang waktu verzet adalah 8 hari setelah tergugat mendapat teguran.
3) Apabila terjadi seperti tersebut di atas, dan ternyata pada waktu dipanggil untuk teguran tergugat tidak datnag menghadap, kemudian ketua PA mengeluarkan perintah eksekusi. Dalam hal ini maka batas waktu verzet ialah 8 hari setelah tanggal eksekusi (197 HIR).[5]
2. Banding
a. Pengertian Banding
Banding adalah permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak yang terlibat dalam perkara, agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan pengadilan agama diperiksa ulang dalam tingkat banding oleh Pengadilan Agama Tinggi, karena merasa belum puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama.
b. Dasar Hukum Pengajuan banding
Dalam pasal 21 ayat (1) Uandang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dinyatakan bahawa “terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.[6]
Sebagai aturan organic dari pasal 21 ayat (1) di ats, khusus untuk peradilan Agama, ketentuan mengenai putusan Pengadilan Agama yang dapat diajukan banding kepada pengadilan Agama Tinggi Agama disebutkan dalam pasal 61 undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agma sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang peradialn Agama, yaitu atas penetapan dan putusan pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh yang berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan lain”.[7] Pengecualian yang disebutkan di atas dapat dilihat dari dua kategori. Kategori pertama perkara yang bersifat financial sebagaimana diatur dalam pasal 49 huruf I Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Atas undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengenai Ekonomi Syariah, maka perkara yang diajukan banding mengacu kepada nilai standar obyek terperkara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulang di jawa dan Madura, yaitu tidak boleh kurang dari seratus rupiah.[8]
Kategori kedua adalah bahwa perkara yang dapat diajukan banding adalah perkara Contensiosa, buka voluntair. Jadi, keputusan Pengadilan Agama atas perkara voluntair yang diformulasikan dalam bentuk penetapan tidak dapat diajukan banding.
c. Syarat-syarat banding
Syarat-syarat banding adalah:[9]
1) Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara
2) Diajukan masih dalam masih masa tenggang waktu banding
3) Putusan tersebut, menurut hukum, boleh dimintakan banding
4) Membayar panjar biaya banding, kecuali dalam hal prodeo
5) Menghadapi di kepaniteraan Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding.
d. Tata cara pengajuan banding
Mengenai tata cara banding, melihat ketentuan yang terdapat dalam Pasal 199 sampai dengan 205 R.Bg dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947.
e. Mencabut Permohonan Banding;[10]
1) Sebelum permohonan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama,maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon.
2) Apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi Agama, maka: Pencabutan disampaiakan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan, Kemudian oleh panitera dibuatkan akta pencabutan kembali permohonan banding, Putusan baru memperoleh kekuatan tetap setelah waktu banding berakhir, Berkas perkara banding tidak perlu diteruskan kepada Pengadilan Tinggi Agama
3) Apabila berkas perkara banding telah dikirimkan kepada pengadilan Tinggi Agama, maka: Bagi pencabutan banding disampaikan melalui Pengadilan Agama yang bersangkutan atau langsung ke Pengadilan Tinggi Agama, Apabila pencabutan itu disampaikan melalui pengadilan Agama, maka pencabutan itu segera dikirim ke Pengadilan Tingi Agama, Apabila permohonan banding belum diputus maka Pengadilan Tinggi Agama akan mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan pencabutan kembali permohonan banding dan memerintahkan untuk mencoret dari daftar perkara banding, Apabila perkara telah diputus maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan dan Apabila permohonan banding dicabut, maka putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak pencabutan dikabulkan dengan “penetapan” tersebut.
4) Pencabutan banding tidak diperlukan persetujuan pihak lawan.
f. Waktu Pengajuan Banding;[11]
1) Bagi pihak yang bertempat kediaman di daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut maka bandingnya ialah 14 hari terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan.
2) Bagi pihak yang bertempat kediaman dilauar daerah hukum Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan banding tersebut, maka masa bandingnya ialah 30 Hari terhitung mulai hari kerja berikutnya dari pengumuman putusan kepada yang bersangkutan.[12]
3) Dalam hal permohonan banding dengan prodeo, maka masa banding dhitung m,ulai hari berikutnya dari hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi Agama tenatang ijin berperkara secara prodeo tersebut diberitahukan kepada yang bersangkutan oleh Pengadilan Agama (Pasal 7 ayat (1), (2), (3), Undang-Undang No.20 Tahun 1947)[13]
3. Kasasi
a. Pengertian Upaya hukum Kasasi
Kasasi artinya mohon pembatalan terhadap putusan/penetapan Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) atau terhadap putusan Pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama ke Mahkamah Agung di jakarta, mlalui pengadilan tingkat pertama yang memutus karena adanya alasan tertentu, dalam waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu.[14]
b. Dasar Hukum Kasasi
Dasar hukum kasasi adalah pasal 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa terhadap putusan Pengadilan dalam tingkat banding dapat dimntkan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-udang menentukan lain. Dalam pasal 43 Undamg-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang mahkamah Agung dinyatakan, bahwa permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah upya hukum banding, Karena lain oleh undang-undang.
c. Syarat-syarat Kasasi
Syarat-syarat untuk mengajukan kasasi ialah:[15]
1) Diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi
2) Diajukan masih dalah tenggang waktu kasasi
3) Putusan atau penetapan judex factie, menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
4) Membuat memori kasasi
5) Membayar uang panjar biaya kasasi
6) Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang bersangkuta
d. Tata cara kasasi[16]
1) Permohonan dajukan pada Pengadilan Agama, dengan melenngkapi semua kelengkapan administrasinya.
2) Setelah Proses administrasi di Pengadilan Agama selesai, maka akan dilanjutkan pada tingkat mahkamah Agung dengan melalui tahapan-tahapan tertentu seperti pencatatan permohonan kasasi oleh panitera mahkamah Agung dan tahapan lainnya.
3) Setelah Mahkamah Agung memberi putusan maka, putusan mahkamah Agung dikirim pada Pengadilan Agama pada meja III, selanjutnya memberitahukan kepada kedua belah pihak melaui jurusita pengganti.
e. Tenggang waktu untuk kasasi
Permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi yaitu 14 hari setelah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada yang bersangkutan (pasal 46 ayat (1)). UU NO.14 Tahun 1985
f. Pencabutan Permohonan kasasi (pasal 49 UU No.14 Tahun 1985)
1) Sebelum permohonan kasasi di putus oleh mahkamah Agung maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh permohonan, tanpa persetujuan pihak lawan.
2) Apabila berkas perkara belum dikirimkann ke mahkamah Agung, maka: Pencabutan disampaikan kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan, baik secara tertulis maupun lisan. Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan kemudian permohonan kasasi. Pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meski pun tenggang waktu kasasi belum lampau dan berkas itu tidak perlu diteruskan ke Mahkamah Agung.[17]
3) Apabila berkas perkara telah dikirimkan kepqada Mahkamah Agung, maka: Pencabutan disampiakan melalui Pengadilan Agama yang bersangkutan atau langsung ke Mahkamah Agung, Apabila permohonan kasasi belum diputus, maka mahkamah Agung akan mengeluarkan “penetapan” yang isinya, bahwa mengabulkan permohonan pencabutan kembali perkara kasasi dan memerintahkan untuk mencoret perkara kasasi dan Apabila permohonan kasasi telah diputus, maka pencabutan tidak mungkin dikabulkan.[18]
4) Apabila permohonan kasasi permohonan kasasi dicabut maka tidak bolehdiajukan lagi permohonan kasasi baru.[19]
5) Apabila permohonan kasasi telah dicabut maka putusan yang dimintkan kasasi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terghitung sejak tanggal dibuatkan akta pencabutan kasasi atau dikeluarkanya “penetapan” pencabutan kasasi.
C. Upaya Hukum Luar Biasa
1. Peninjauan Kembali
a. Pengertian Peninjauan kembali
Peninjauan kembali atau request civiel yaitu memeriksa dan mengadili atau memutus kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap karena diketahui terdapat hal-hal baru yang dulu tidak dapat diketahui, yang apabila terungkap maka keputusan hakim akan menjadi lain.[20]
b. Dasar Hukum peninjauan kembali
Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah agung. Peninjauan kembali diatur dalam Undang-undang No14 Tahun 1985 tentahg mahkamah Agung. Apablia terdapat hal-hal atau keadaaan-keadaan yang ditentukan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana, oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 21 UU No.14/11970).[21]
c. Syarat-syarat permohonan peninjauan kembali
Syarat-syarat permohonan peninjauan kembali ialah;[22]
1) Diajukan oleh pihak yang berperkara, ahli warisnya, ataui wakilnya yang secara khusus diberi kuasa untuk itu,
2) Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
3) Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuatalasan-alasannya.
4) Diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tenggang waktu 180 hari (atau sesuai alasan yang disebutkan),
5) Membayar uang panjar (uang muka) biaya peninjauan kembali
d. Tata cara permohonan peninjauan kembali
Tata cara permohonan peninjauan kembali adalah sebagai berikut:
1) Permohonan diajukan oleh pemohon (ahli warisnya atau wakilnya) kepada Mahkamah Agung yang memutus perkara dalam tingkat pertama (pasal 70 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985 ).[23]
2) Permohonan diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan.
3) Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakin yang ditunjuk oleh ketua pangadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (pasal 71 UU No.14 Tahun 1985).
4) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-sekurangnya dengan tiga orang hakim (pasal 40 ayat (1) UU No.14 tahun 1985).
5) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali (pasal 66 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985).
6) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menantikan pelaksaan putusan (pasal 66 ayat (2) UU No.14 Tahun 1985).
7) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Agama yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau tingkat pertama atau Pengadilan Tinggi (tingkat banding) mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta segala hal keterangan serta pertimbangan dari pengadilan yang dimaksud (pasal 73 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985).
8) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus.
e. Tenggang waktu pengajuan Peninjauan kembali[24]
2. Derden Verzet
a. Pengertian derden Verzet
Derden Verzet adalah perlawanan pihak ketiga terhadap subjek pihak-pihak yang terdapat dalam suatu perkara yang yang telah diputus, yang merugikan kepentingannya, sebelum putusan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sebelum penetapan eksekusi dilaksanakan. [25]
b. Alasan-alasan pengajuan derden verzet
Derden verzet dapat diajukan dengan alasan atau alasan-alasan sebagai berikut:
1) Atas Alasan milik murninya pelawan, yaitu bahwa apa yang diperkarakan oleh para terlawan adalah milik pelawan.
2) Adanya conservatoir beslaag (sita jaminan) atas barang yang diambil oleh pelawan,
3) Adanya eksekusi atas barang miliknya pelawan atau atas barang yang dibelinya dari salah seorang pihak terlawan,
4) Adanya eksekusi yang melebihi dari putusan,
5) Adanya derden verzet atas harta pusaka dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suatu putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Oleh karena itu, demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum. Ada beberapa Upaya hukum yaitu:
1. Banding artinya ialah mohon supaya perkara yang telah diputus oleh Pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh Pengadilan yang lebih tinggi (tingkat banding), karena merasa belum puas dengan keputusan Pengadilan tingkat pertama.
2. Kasasi adalah suatu permohonan pemeriksaan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan pengadilan bawahan dalam menjatuhkan putusan.
3. Peninjauan kembali adalah meninjau kembali putusan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap, karena diketahuinya hal-hal yang baru yang dulu tidak dapat diketahui oleh Hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan Hakim akan menjadi lain.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat banyak kekurangan, baik dalam isi, penyusunan bahasa atau pun penulisannya. Maka dari itu kami mohon kepada semua pihak untuk memberi saran.
DAFTAR PUSTAKA
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Online) cet.VI,( 2005), https:/ /hamas faiumi. blogspot.com/ 2015/ 04/ makalah- peradilan- agama- di- indonesia. html, diakses pada 1 Agustus 2019.
Lubis, Sulasikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Online) cet. II, (2006), https:/,/hamasfaiumi.blogspot.com/ 2015/04/makalah- peradilan-agama- di- indonesia. html, diakses pada 1 Agustus 2019.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Online), (2008), https:/ /shofie-artikel. blogspot.com/ 2016/01/ makalah- peradilan- agama- upaya-hukum. html, diakses pada 1 Agustus 2019.
Rasyid, Chatib dan Syarifuddin, Hukumn Acara Perdata dalam tori dan Praktik pada Peradilan Agama, Cet.I (Yogyakarta: UII Press, 2009) .
Roihan, Rasyid A., Hukum Acara peradilan Agama, (Online) cet.VI, (1998), https:/ /ikhwanmf. wordpress. com/2014/ 07/25 /upaya-hukum- di-pengadilan/, diakses pada 1 Agustus 2019.
Uandang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 21 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradialn Agama
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 Pasal 6, tentang Peradilan Ulang di Jawa dan Madura
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947 Pasal 7
Undang-Undang No.14 Tahun 1985 pasal 49
Undang-Undang No.14/11970, Pasal 21
Undang-Undang No.14 Tahun 1985 pasal 70 ayat (1)
FOOTNOTE
[1] Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Online) cet.VI,( 2005), https:/ /hamas faiumi. blogspot.com/ 2015/ 04/ makalah- peradilan- agama- di- indonesia. html, diakses pada 1 Agustus 2019.
[2] Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Online) cet.VI,( 2005), https:/ /hamas faiumi. blogspot.com/ 2015/ 04/ makalah- peradilan- agama- di- indonesia. html…,
[3] Lubis, Sulasikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Online) cet. II, (2006), https:/,/hamasfaiumi.blogspot.com/ 2015/04/makalah- peradilan-agama- di- indonesia. html, diakses pada 1 Agustus 2019.
[4] Lubis, Sulasikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Online) cet. II, (2006), https:/,/hamasfaiumi.blogspot.com/ 2015/04/makalah- peradilan-agama- di- indonesia. html, diakses pada 1 Agustus 2019.
[5] Lubis, Sulasikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Online) cet. II, (2006), https:/,/hamasfaiumi.blogspot.com/ 2015/04/makalah- peradilan-agama- di- indonesia. html, diakses pada 1 Agustus 2019.
[6] Uandang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 21 Ayat (1)
[7] Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradialn Agama
[8] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 Pasal 6, tentang Peradilan Ulang di jawa dan Madura
[9] Rasyid, Chatib dan Syarifuddin, Hukumn Acara Perdata dalam tori dan Praktik pada Peradilan Agama, Cet.I (Yogyakarta: UII Press, 2009) h.173.
[10] Rasyid, Chatib dan Syarifuddin, Hukumn Acara Perdata dalam tori dan Praktik pada Peradilan Agama…, h.175.
[11] Rasyid, Chatib dan Syarifuddin, Hukumn Acara Perdata dalam tori dan Praktik pada Peradilan Agama…, h.175.
[12] Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947 Pasal 7
[13] Rasyid, Chatib dan Syarifuddin, Hukumn Acara Perdata dalam tori dan Praktik pada Peradilan Agama…, h.176.
[14] Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Online), (2008), https:/ /shofie-artikel. blogspot.com/ 2016/01/ makalah- peradilan- agama- upaya-hukum. html, diakses pada 1 Agustus 2019.
[15] Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Online), (2008), https:/ /shofie-artikel. blogspot.com/ 2016/01/ makalah- peradilan- agama- upaya-hukum. html…,
[16] Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Online), (2008), https:/ /shofie-artikel. blogspot.com/ 2016/01/ makalah- peradilan- agama- upaya-hukum. html,
[17] Undang-Undang No.14 Tahun 1985 pasal 49
[18] Undang-Undang No.14 Tahun 1985 pasal 49
[19] Undang-Undang No.14 Tahun 1985 pasal 49
[20] Roihan, Rasyid A., Hukum Acara peradilan Agama, (Online) cet.VI, (1998), https:/ /ikhwanmf. wordpress. com/2014/ 07/25 /upaya-hukum- di-pengadilan/, diakses pada 1 Agustus 2019.
[21] Undang-Undang No.14/11970, Pasal 21
[22] Roihan, Rasyid A., Hukum Acara peradilan Agama, (Online) cet.VI, (1998), https:/ /ikhwanmf. wordpress. com/2014/ 07/25 /upaya-hukum- di-pengadilan/…,
[23] Undang-Undang No.14 Tahun 1985 pasal 70 ayat (1)
[24] Roihan, Rasyid A., Hukum Acara peradilan Agama, (Online) cet.VI, (1998), https:/ /ikhwanmf. wordpress. com/2014/ 07/25 /upaya-hukum- di-pengadilan/…,
[25] Roihan, Rasyid A., Hukum Acara peradilan Agama, (Online) cet.VI, (1998), https:/ /ikhwanmf. wordpress. com/2014/ 07/25 /upaya-hukum- di-pengadilan/…,
Tags:
SKRIPSI DAN MAKALAH