الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Prinsip kemudahan dalam diskursus pemikiran hukum Islam sangat banyak, namun dalam makalah ini penulis hanya menfokuskan diri dengan membahas tentang qā’idah “Kesulitan mendatangkan kemudahan” yang berbunyi:
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ
Artinya: “ Kesulitan Mendatangkan kemudahan”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pemahaman dari qā’idah ( الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ ) ?
2. Baagaimanakah implementasi qā’idah ( الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ ) dalam Fiqh ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pemahaman dari qā’idah ( الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ ).
2. Untuk mengetahui implementasi qā’idah ( الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ ) dalam Fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian “Al-Masyaqqah” dan “Al-Taisīr”
Al-Masyaqqah menurut arti bahasa (etimologi) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran.[1] Seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7:
Artinya: “Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”[2]
Adapun maksud dari “al-masyaqqah” dalam qā’idah ini, yaitu kesukaran atau kepayahan yang terpisah dari pembebanan suatu syari’at dan bukan merupakan bagian dari pembebanan syari’at tersebut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Ahmad Al-Zarqa dalam sebuah karangannya sebagai berikut:
المُرَاد بالمشقة الجالبة للتيسير: الْمَشَقَّة الَّتِي تنفك عَنْهَا التكليفات الشَّرْعِيَّة. أما الْمَشَقَّة الَّتِي لَا تنفك عَنْهَا التكليفات الشَّرْعِيَّة كمشقة الْجِهَاد وألم الْحُدُود ورجم الزناة وَقتل الْبُغَاة والمفسدين والجناة، فَلَا أثر لَهَا فِي جلب تيسير وَلَا تَخْفيف
Artinya: “Yang dimaksud dengan “al-masyaqqah” (kesukaran) dapat mendatangkan kemudahan adalah kesukaran yang terlepas/berpisah dari beban syari’at, Adapun kesukaran yang tidak terpisahkan dari beban syari’at, seperti kepayahan barjihad, kesakitan dalam hukuman had, dalam hukuman rajam penzina, dalam hukuman mati pemberontak, pembuat kerusakan, dan pelaku pidana, maka tidak berdampak apapun dalam mendatangkan kemudahan dan tidak juga (mendatangkan) keringanan”.[3]
Dalam hal ini Syaikh Ibn Najim dalam sebuah karangannya membagi “Al-Masyaqqah” (kesukaran) menjadi tiga tingkatan, yaitu :[4]
Al-Masyaqqah al-‘Azhīmah (kesukaran yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa atau rusaknya anggota badan yang menyebabkan tidak bisa melakasanakan ibadah dengan sempurna.
Al-Masyaqqah al-Mutawāsithah (kesukaran yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan). Kesukaran semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada kesukaran yang sangat berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada kesukaran yang ringan, maka belum tentu ada kemudahan di situ.
Al-Masyaqqah al-Khafīfah (kesukaran yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, malas naik haji padahal sudah dikategorikan mampu, dan lain sebagainya. Kesukaran (masyaqqah) semacam ini bisa ditanggulangi dengan mudah dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat, taat kepada perintah Allah lebih utama dari pada kesukaran yang ringan ini, apalagi masyaqqah ini bisa ditanggulangi.[5]
Sedangkan kata al-Taisīr secara bahasa (etimologis) adalah kemudahan, seperti di dalam hadis Rasulullah saw disebutkan:[6]
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ
Artinya : “Sesungguhnya Agama itu mudah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Qā’idah “Al-Masyaqqah tajlib al-Taisīr” (Kesukaran itu dapat menarik kemudahan) artinya kesukaran menyebabkan adanya suatu kemudaha,. hukum yang dipraktiknya menyulitkan mukallaf dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesukaran, maka syariat memudahkannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesukaran.
Berwisata ke Medan jangan ketinggalan singgah ke Bukit indah Simarjarunjung exsis berselfi diatas bunga yang indah
B. Sumber Qā’idah
Hukum-hukum Fiqh dibangun atas dasar ijtihad para ulama terhadap ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi. Dalam pengertian ini, maka hukum-hukum Fiqh tersebut merupakan dugaan kuat terhadap maksud Allah dan Rasul yang terkandung dalam al-Qur’an atau hadis Nabi.
Penggunaan dalil dan metode ijtihad menjadikan hasil ijtihad seorang mujtahid dapat saja berbeda satu sama lainnya, bahkan dengan kesimpulan bertolak belakang. Satu ijtihad boleh jadi tidak dapat menjangkau maksud Allah dan Rasul dengan baik, sementara ijtihad yang dihasilkan oleh mujtahid lain mendekati maksud Allah, begitu juga ijtihad mujtahid lain boleh jadi telah dapat menyelami maksud Allah dan Rasul.
Tetapi, tidak dapat dipastikan dengan jelas ijtihad mana yang mendekati kebenaran dengan maksud Allah dan Rasul. Yang jelas, ijtihad yang dilakukan mujtahid dihargai oleh Allah dan Rasul, sehingga Nabi menyatakan bahwa ijtihad yang keliru akan mendapatkan satu pahala, yaitu pahala ijtihad, sementara ijtihad yang benar akan mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaran yang dicapai dalam berijtihad.
Mengenai qā’idah “Al-masyaqqah tajlib al-Taisīr” ada banyak dalil yang mendasarinya, baik Al-Quran maupun Hadis yang diantaranya:
1. Dalil Al-Quran
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.(QS. Al-Baqarah [2]: 185)[7]
Artinya: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong”. (QS. Al-Hajj [22]: 78)[8]
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah”.[9]
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."[10]
2. Hadis
Diantara Hadis-hadis yang menjadi dasar qaidah ini adalah:
بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Artinya: “Saya di utus membawa agama yang lurus lagi mudah.”[11]
وَرَوَى الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ «إنَّ أَحَبَّ الدِّينِ إلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ»
Artinya: “Dan diriwayatkan oleh Imam AL-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dari Hadis Abi Hurairah r.a: Bahwa sungguh Agama yang paling dicintai Allah adalah Agama yang lemah lembut dan mudah”
وَرَوَى الشَّيْخَانِ وَغَيْرُهُمَا مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِ «وَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ» وَحَدِيثِ «يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا»
Artinya: “Dan diriwayatkan oleh dua Syaikh dan selain mereka dari Hadis Abi Hurairah dan selainnya: “Hanyasanya kalian dibangkitkan dalam keadaan pemberi kemudahan dan bukan sebagai orang-orang yang menyulitkan”, dan Hadis permudahlah (urusan kalian) dan janganlah persulit”[12]
عن ابي أمامة قال قال النبي ص م إنّي أبعث باليهودية ولا بالنصرانية ولكنّي بعثت بالحنيفية السمحة.
Artinya; “Dari Abu Umamah berkata : Rosulullah bersabda : Saya tidak utus dengan membawa agama Yahudi dan Nashroni namun saya di utus membawa agama yang lurus lagi mudah.” (HR. Ahmad 5/266 (21788)
Hadits dari Abu Hurairah:
عن ابي هريرة قال قام أعرابيّ فبال في المسجد فتناوله الناس فقال لهم النّبي ص م دعوه و هريقوا على بوله سجلا من ماء أو ذنوبا من ماء فإنّما بعثتم ميس!رين ولم تبعثوا معسّرين
Artinya: “Dari Abu Huroiroh berkata : Ada seorang Arab Badui yang kencing di masjid, lalu para sahabat memarahinya, maka Rosulullah bersabda : “Biarkan dia, tuangkan saja pada kencingnya air satu timba, sesungguhnya kalian diutus untuk membawa kemudahan dan bukan di utus untuk menyulitkan.”[13]
Hadis yang diterima Abu Hurairah (dalam HR. Bukhari):
الدّينُ يُسرٌ اَحَبُّ الدِّ ينُ اِلَى اللهِ الحَنِيفِيَّةُ السَّمْعَةُ
Artinya :“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi oleh Allah SWT adalah agama yang benar dan mudah.”[14]
Semua Ayat dan Hadits di atas memberikan pemahaman bahwa agama Islam tidak datang untuk membawa kesulitan akan tetapi datang dengan membawa kemudahan.
Makalah kaidah "al-ijtihad la yunqadhu bil ijtihad"
C. Penerapan Qā’idah Pada Fiqh
Dalam penerapan qā’idah “al-masyaqqah tajlib al-Taisīr” pada Fiqh, memiliki beberapa ketentuan, yaitu “al-masyaqqah”/kesukaran tersebut harus kesukaran yang dapat terpisah dari beban syari’at dan bukan kesukaran yang tidak bisa terpisahkan dari taklif syar’iyyah, sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama diantaranya:
المُرَاد بالمشقة الجالبة للتيسير: الْمَشَقَّة الَّتِي تنفك عَنْهَا التكليفات الشَّرْعِيَّة. أما الْمَشَقَّة الَّتِي لَا تنفك عَنْهَا التكليفات الشَّرْعِيَّة كمشقة الْجِهَاد وألم الْحُدُود ورجم الزناة وَقتل الْبُغَاة والمفسدين والجناة، فَلَا أثر لَهَا فِي جلب تيسير وَلَا تَخْفيف
Artinya: “Yang dimaksud dengan “al-masyaqqah” (kesukaran) dapat mendatangkan kemudahan adalah kesukaran yang terlepas/berpisah dari beban syari’at, Adapun kesukaran yang tidak terpisahkan dari beban syari’at, seperti kepayahan barjihad, kesakitan dalam hukuman had, dalam hukuman rajam penzina, dalam hukuman mati pemberontak, pembuat kerusakan, dan pelaku pidana, maka tidak berdampak apapun dalam mendatangkan kemudahan dan tidak juga (mendatangkan) keringanan”. [15]
Adapun kesukaran yang dapat mendatangkan kemudahan (al-Taisīr) para ulama juga telah menyebutkan sebab-sebab yang menimbulkan (akibat diperbolehkan) kemudahan (rukhsah) tersebut, yaitu:
Kekurang mampuan bertindak hukum ( النَّقْصُ), Misalnya, orang gila dan anak kecil tidak wajib melaksanakan sholat, puasa, bayar zakat dan naik haji. Begitu juga perempuan pada saat berhaid tidak diwajibkan shalat 5 waktu, karena pada diri mereka terdapat kekeurangan sehingga tidak mencukupi syarat untuk melakukan ibadah-ibadah tertentu.[16]
Kesulitan yang umum (عُمُوْمُ اَلْبَلْوَى), seperti debu yang berserakan di jalan, maka tidak mungkin seseorang untuk menghindar, atau adanya hama tikus yang jumlahnya sangat banyak menyerang satu desa kemudian meninggalkan air kencingnya yang kering.[17]
Bepergian (اَلْسَّفَرُ), Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat jumat bagi orang yang sedang dalam perjalanan.[18]
Keadaan sakit (اَلْمَرَضُ), Misalnya, boleh bertayamum ketika sulit memakai air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat. Ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang mentruasi.
Keadaan terpaksa (اَلْاءِكْرَاهُ), Seperti di ancam orang lain untuk membatalkan puasa ramadhan, sehingga membahayakan jiwanya.
Lupa (اَلنِّسْيَانُ), Seperti seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa.
Ketidaktahuan (اَلْجَهْلُ), Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian berdagang dengan praktik riba maka dimaafkan karena belum mengetahui haram.[19]
Adapun rasionalisasi kemudahan dalam islam ialah, Allah SWT, sebagai musyarri’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-Nya itu allah mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepada-Nya.
Agar dalam realisasi penghambatan itu tidak terjadi kekeliruan maka dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syariah demi kemaslahatan manusia sendiri. Tentunya syariah itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syariah itu bukan untuk kepentingan tuhan melainkan untuk kepentingan manusia sendiri.[20]
D. Qā’idah-Qā’idah Yang Berkaitan
Dari qā’idah asasi tersebut di atas (Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisīr) kemudian di munculkan qā’idah-qā’idah cabangnya dan bisa disebut dhabit karena hanya berlaku pada bab-bab tertentu, diantaranya:[21]
1. “Idzā dhāqa al-amr ittasa’a”
إذا ضاق الأمر إتسع
Artinya; ”Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas”[22]
Qā’idah ini sesungguhnya yang tepat merupakan cabang dari qā’idah “al-masyaqqah tajlib al- Taisīr”, sebab “Al-Masyaqqah” itu adalah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan puasa itu kembali pula.
Makalah qawaid fiqhiyah "al-khuruj minal khilaf mustahab"
Oleh karena itu muncul pula qā’idah kedua:
إذا إتسع ضاق
Artinya: “Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya menyempit”
Qā’idah ini juga dimaksud untuk tidak meringankan yang sudah ringan. Oleh karena itu qā’idah ini digabungkan menjadi satu, yaitu:
إذا ضاق الأمر إتسع و إذا إتسع ضاق
Artinya: “Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit”[23]
Qā’idah ini juga menunjukan fleksibilitas hukum islam yang biasa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan. Semakna dengan qā’idah di atas adalah qā’idah:
كل ما تجاوز عن حده إنعكس إلى ضده
Artinya: “Setiap yang melampaui Batas maka hukumnya berbalik kepada yang sebaliknya”.[24]
Atau qā’idah:
ما جاز لعذر بطل بزواله
Artinya: “Apa yang dibolehkan karena uzur (halangan) maka batal (tidak dibolehkan lagi) dengan hilangnya halangan tadi”
Contoh penerapannya seperti wanita yang sedang menstruasi dilarang shalat dan saum. Larangannya tersebut menjadi hilang bila menstruasinya berhenti kewajiban melaksanakan shalat fardhu dan saum ramadhan kembali lagi dan boleh lagi melaksanakan shalat sunnah dan puasa sunnah.
2. “Idzā ta’adzdzar al-ashl yushār ilā al-badal”
إذا تعذر الأصل يصار إلى البدل
Artinya: “Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada menggantinya”
Contohnya: tayamum sebagai pengganti wudhu. Seseorang yang meminjam harta orang lain, wajib mengembalikan harta aslinya. Apabila harta tersebut sudah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka dia wajib menggantinya dengan harga demikian juga dengan halnya dengan orang yang meminjam suatu benda kemudian benda itu hilang (misalnya, buku), maka penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau diganti dengan harga buku tersebut dengan harga dipasaran.
Dalam Fiqh Siasah, qā’idah di atas banyak diterapkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan tugas-tugas kepemimpinan misalnya, ada istilah PJMT (Pejabat yang Melaksanakan Tugas) karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka diganti oleh petugas yang lain sebagai penggantinya.
3. “Mā lā yumkin al-taharruz minhu ma’fuw ‘anhu”
ما لا يمكن التحرز منه معفوعنه
Artinya: “Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarakannya), maka hal itu dimaafkan”.
Contohnya: pada waktu sedang shaum, kita berkumur-kumur maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa. Darah yang ada pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan cucian.
4. “Al-Rukhash lā tunathu bi al-ma’āshi”
الرخص لا تناط بالمعصى
Artinya: “Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Qā’idah ini dugunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa) seperti: orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang diharamkan maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam.
Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi lagi kehabisan uang dan kelaparan dan kemudian ia makan daging babi. Maka ia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rusakhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk Kasbu Al-Halal (usaha yang halal) kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.
5. “Idzā ta’adzdzarat al-haqīqah yushar ilā al-majāz”
إذا تعذرت الحقيقة يصار إلى المجاز
Artinya: “Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Contonya: seseorang berkata: “saya wakafkan tanah saya ini kepada anak Kyai Anas”. Padahal tahu bahwa anak Kyai Anas tersebut sudah lama meninggal, yang ada adalah cucunya. Maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada yang sudah meninggal dunia .
6. “Idzā ta’adzdzar i’māl al-kalām yuhmal”
إذا تعذر إعمال الكلام يهمل
Artinya: “Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”.
Contohnya: apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya, maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
7. “Yughtafar fī al-dawām mā lā yughtafar fī al-ibtidā’”[25]
يغتفرفي الدوام ما لا يغتفر في الإبتداء
Artinya: “Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”
Contohnya: orang yang menyewa rumah yang diharuskan bayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewanya dalam arti melanjutkan sewaannya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.
Demikian pula halnya untuk memperpanjang izin perusahaan, seharusnya tidak diperlukan lagi persyaratan-persyaratan yang lengkap seperti waktu mengurus izinnya pertama kali.
8. “Yughtafar fī al-ibtidā’ mā lā yughtafar fī al-dawām”[26]
يغتفر في الإبتداء ما لا يغتفر في الدوام
Artinya: “Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”
Dhābith ini terjadi pada kasus tertentu yaitu orang yang melakukan perbuatan hukum karena tidak tahu bahwa perbuatan tersebut dilarang.
Contohnya: pria dan wanita melakukan akad nikah karena tidak tahu bahwa di antara keduanya dilarang melangsungkan akad nikah baik karena se-nasab, mushaharah (persemendaan), maupun karena persusuan. Selang beberapa tahun, baru diketahui bahwa antara pria dan wanita itu ada hubungan nasab atau hubungan persemendaan, atau persusuan, yang menghalangi sahnya pernikahan.
Maka pernikahan tersebut harus dipisah dan dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami istri. Contoh lain: seseorang yang baru masuk Islam minum miniman keras karena kebiasaannya sebelum masuk Islam dan tidak tahu bahwa minuman semacamitu dilarang (haram). Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya.
Selanjutnya, setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka ia harus menghentikan perbuatan tersebut.
9. “Yughtafar fī al-tawābi’ mā lā yughtafar fī ghairiha”
يغتفر في التوابع ما لا يغتفرفي غيرها
Artinya: “Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya: penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian pula boleh mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan.
E. Pengecualian Dari Qā’idah
Sebagai mana yang telah dimaklumi dari pembahasan sebelumnya, masyaqqah yang dimaksud dalam qā’idah “al-masyaqqah tajlib al-Taisīr” adalah kesukaran yang dapat dipisahkan dari beban suatu perbuatan yang disyari’atkan, maka tidak berlaku qā’idah ini pada kesukaran yang merupakan bagian dari beban syari’at dan juga sebagai bagian dari syariat itu sendiri, seperti pada kasus yang diterangkan oleh Syaikh Muhammad Al-Zarqa sebagai berikut:[27]
أما الْمَشَقَّة الَّتِي لَا تنفك عَنْهَا التكليفات الشَّرْعِيَّة كمشقة الْجِهَاد وألم الْحُدُود ورجم الزناة وَقتل الْبُغَاة والمفسدين والجناة، فَلَا أثر لَهَا فِي جلب تيسير وَلَا تَخْفيف
Artinya: “Adapun kesukaran yang tidak terpisahkan dari beban syari’at, seperti kepayahan barjihad, kesakitan dalam hukuman had, dalam hukuman rajam penzina, dalam hukuman mati pemberontak, pembuat kerusakan, dan pelaku pidana, maka tidak berdampak apapun dalam mendatangkan kemudahan dan tidak juga (mendatangkan) keringanan”.
Dari uraian tersebut maka dapat difahami bahwa pada kasus kesukaran dalam jihad, rasa sakit dalam hukuman had, rasa sakit dalam hukuman rajam penzina, hukuman mati bagi pemberontak dan pembuat kerusakan, dan juga hukuman bagi pelaku pidana, walaupun disana ada kesukaran dan kesusahan, akan tetapi kesukaran tersebut tidak bisa ditoleransi dan tidak dapat dimudahkan atau diringankan, karena kesukaran tersebut merupakan bagian dari tegaknya syariat-syariat itu sendiri.
Disamping itu, pemberlakuan qā’idah juga disyaratkan jangan sampai menentang dengan dalil Nash yang ada, bila menentang maka mendahulukan dalil Nash lebih diutamakan dari pada mempertimbangkan kesukaran tersebut, sebagai mana penjelasan para ulama yang diantaranya sebagai berikut:[28]
المشقة والحرج، إنما يعتبران في موضع لا نص فيه، وأما مع النص بخلافه فلا، ولذا قال أبو حنيفة ومحمد رحمهما الله بحرمة رعي حشيش الحرم وقطعه، إلا الإذخر
Artinya: “Kesukaran dan kepayahan hanyasanya dii’tibarkan pada tempat yang tidak ada Nash disana, Adapun pada tempat yang sudah ada Nash yang menyalahi (hukum kesukaran) maka kesukaran teresbut tidak ditinjau lagi, Karena demikianlah berpendapat Imam Abu Hanifah dan Syaikh Muhammad r.a bahwa haram mengembala atau memeotong rumput ditanah Haram Makkah (walaupun membuat sukar karena menghalangi) kecuali untuk diismpan”.
Dari uraian tersebut, dapat difahami bahwa ketentuan hukum haramnya memeotong tanaman di tanah Haram Makkah tidak ada keringanan hukum walaupun tanaman rumput tersebut membuat sukar seseorang yang melewatinya. Demikianlah pendapat salah seorang Imam Mazhab Abu Hanifah dan Syaikh Muhammad Rahimahumallah.
MAKALAH QAWAID FIQHIYAH "Al-dharar la yuzal bid dharar"
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qā’idah “Al-Masyaqqah tajlib al-Taisīr” (Kesukaran itu dapat menarik kemudahan) artinya kesukaran menyebabkan adanya suatu kemudaha,. hukum yang dipraktiknya menyulitkan mukallaf dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesukaran, maka syariat memudahkannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesukaran.
Sebagai mana yang telah dimaklumi dari pembahasan sebelumnya, masyaqqah yang dimaksud dalam qā’idah “al-masyaqqah tajlib al-Taisīr” adalah kesukaran yang dapat dipisahkan dari beban suatu perbuatan yang disyari’atkan, maka tidak berlaku qā’idah ini pada kesukaran yang merupakan bagian dari beban syari’at dan juga sebagai bagian dari syariat itu sendiri,
Disamping itu, pemberlakuan qā’idah juga disyaratkan jangan sampai menentang dengan dalil Nash yang ada, bila menentang maka mendahulukan dalil Nash lebih diutamakan dari pada mempertimbangkan kesukaran tersebut. Dari qā’idah asasi tersebut di atas (Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisīr) kemudian di munculkan qā’idah-qā’idah cabangnya dan bisa disebut dhābit karena hanya berlaku pada bab-bab tertentu, diantaranya:
إذا ضاق الأمر إتسع و إذا إتسع ضاق
كل ما تجاوز عن حده إنعكس إلى ضده
الرخص لا تناط بالمعصى
يغتفرفي الدوام ما لا يغتفر في الإبتداء
يغتفر في التوابع ما لا يغتفرفي غيرها
Makalah Kaidah "al-hajat tanzil manzilah al-dharurah"
DAFTAR PUSTAKA
- Djazuli, Qā’idah-qā’idah Fikih, Qā’idah-qā’idah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007)
- Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir (Kamus Lengkap Arab-Indonesia), (Surabaya: Kashiko, 2000)
- Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fī al-furu’, (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)
- Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Ed. Revisi, (Jakarta: Bintang Indonesia, 2005),
- Muchlis Usman, Qā’idah-qā’idah istinbath hukum islam, cet.IV, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2002),
- Syaikh Ahmad ibn Syaikh Muhammad Al-Zarqa, Syarh Qawa'id al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)
- Syaikh Ahmad ibn Syaikh Muhammad Al-Zarqa, Syarh Qawa'id al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)
- Syaikh Ahmad ibn Syaikh Muhammad Al-Zarqa, Syarh Qawa'id al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)
- Syaikh Ibn Najim Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad, Al-Asybah wa Al-Nazha’ir li Ibn Najim, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)
Makalah Qawaid Fiqhiyah "al-harim lahu hukmu ma huwa harim lah"
FOOTNOTE:
[1] Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir (Kamus Lengkap Arab-Indonesia), (Surabaya: Kashiko, 2000). h. 302.
[2]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Ed. Revisi, (Jakarta: Bintang Indonesia, 2005), h.268.
[3] Syaikh Ahmad ibn Syaikh Muhammad Al-Zarqa, Syarh Qawā’id al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.157
[4] Syaikh Ibn Najim Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir lī Ibn Nājim, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.70-71.
[5] Syaikh Ibn Najim Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir lī Ibn Nājim..., h.70-71.
[6] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007). h. 55.
[7] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h.28.
[8] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h.341.
[9] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h.83.
[10] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h.49.
[11] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazhā’ir fi al-furū’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.56.
[12] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazhā’ir fi al-furū’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.56.
[13] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007). h. 59-60.
[14] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam..., h. 59-60.
Makalah Kaidah "al-hudud tasquthu bi al-syubhat"
[15] Syaikh Ahmad ibn Syaikh Muhammad Al-Zarqa, Syarh Qawā’id al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.157
[16] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’..., h.80
[17] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’..., h.78.
[18] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’..., h.77.
[19] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’..., h.77.
[20] Muchlis Usman, Kaidah-kaidah istinbath hukum islam, cet.IV, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2002), h.124.
[21] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007) h.61-66.
[22] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’..., h.83
[23] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’..., h.83
[24] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’..., h.83
[25] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’..., h.83
[26] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’..., h.83
[27] Syaikh Ahmad ibn Syaikh Muhammad Al-Zarqa, Syarh Qawā'id al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.157
[28] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’..., h.72
Tags:
SKRIPSI DAN MAKALAH