BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum, ada tiga macam
instrumen hukum yang digunakan untuk mengevaluasi perbuatan pemerintah, yaitu
melalui peraturan perundang-undangan, melalui keputusan, maupun perbuatan
pemerintah di bidang keperdataan. Perundang-undangan dan keputusan terjadi
dalam bidang publik, karena itu tunduk dan diatur berdasarkan hukum publik,
sedangkan yang terakhir khusus dalam bidang perdata dan karenanya tunduk dan
diatur berdasarkan hukum perdata.
Di Indonesia, perlindungan
hukum bagi rakyat akibat dikeluarkannya peraturan perundang-undangan oleh
pemerintah ditempuh melalui Mahkamah Agung, dengan cara hak uji materil.
Sedangkan perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan oleh pemerintah
ditempuh melalui dua kemungkinan, yaitu peradilan administrasi dan upaya administrasi.[1]
Jadi, penyelesaian sengketa administrasi melalui peradilan tata usaha negara
diatur demi memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat.
Freidrich Julius Stahl dalam
teorinya tentang konsep rechtsstaat, memaparkan gagasan negara hukum, yang
salah satu unsurnya berupa peradilan administrasi. Lengkapnya unsur-unsur
negara hukum itu terdiri dari perlindungan hak asasi manusia, pemisahan atau
pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu, pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, serta peradilan administrasi dalam perselisihan.[2]
Karena itu, para ahli sering mengatakan bahwa adanya peradilan tata usaha
negara di Indonesia merupakan bukti penting wujud Indonesia sebagai negara
hukum.
Dasar hukum Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) terdiri dari tiga instrumen, yaitu Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 (perubahan pertama dari UU No. 5
Tahun 1986) dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 (perubahan kedua dari UU No.
5 Tahun 1986). Sebelum dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1986, peradilan
administrasi Indonesia masih bersifat semu.[3]
PTUN pada masa itu merupakan peradilan administratif yang terdapat dalam
ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor II/MPRS/1960.
Semu dalam arti peradilan
administrasi Indonesia bersifat tidak bebas karena tidak lepas dari pengaruh
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan pembuat undang-undang. Sebagai penganut
negara hukum sesuai Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945,[4]
tentu saja keadaan itu merupakan penyimpangan dari negara hukum. Semua
kekuasaan, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, saat itu
tersentralisasikan di tangan Presiden.
Pada dekade berikutnya,
berdasarkan Pasal 24 UUD 1945, dikeluarkanlah UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 juncto Undang-undang No.
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10. UU ini menyebutkan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.[5]
Berdasarkan UU Kekuasaan
Kehakiman, dibentuklah UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan adanya UU ini, di samping semakin mengukuhkan eksistensi PTUN di
Indonesia, juga membuat semakin terjaminnya perlindungan hukum terhadap warga
masyarakat atas perbuatan penguasa. Masyarakat yang keberatan dengan keputusan
yang dikeluarkan pemerintah, bisa melayangkan gugatan ke PTUN.
Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa administrasi
melalui peradilan tata usaha negara itu terdapat dalam Pasal 53 Ayat (1) UU No.
5 Tahun 1986, berbunyi, “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi
tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi.”
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas pemakalah akan menguraikan mengenai
kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Penyelesaian sengketa Tata Usaha
Negara. Secara ringkas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah, sebagai
berikut:
1.
Apa definisi Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN)?
2.
Apa tugas dan fungsi Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN)?
3.
Bagaimana prosedur (PTUN) dalam menyelesaikan sengketa
yang terjadi di lingkungan ?
C. Tujuan
Penulisan
Melangkah dari rumusan masalah di atas, maka adapun tujuan penelitian ini
adalah:
1.
Untuk mengetahui definisi Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN)
2.
Untuk mengetahui tugas dan fungsi
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
3.
Untuk mengetahui prosedur Hukum
(PTUN) dalam menyelesaikan sengketa yang terJadi di lingkungan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Pengadilan Tata Usaha Negara (biasa disingkat: PTUN) merupakan sebuah
lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang mempunyai
kedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama,
Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) memiliki fungsi untuk memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan yang termasuk dalam ranah sengketa Tata Usaha Negara yang
mana adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.[6]
Melalui Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Pengadilan TUN
diberikan wewenang (kompetensi absolut) dalam hal mengontrol tindakan
pemerintah seperti menyelesaikan, memeriksa dan memutuskan sengketa tata usaha
negara.[7]
Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk
melalui Keputusan Presiden dengan daerah hukum meliputi wilayah Kota atau
Kabupaten. Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pimpinan (Ketua
PTUN dan Wakil Ketua PTUN), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris. Saat ini
terdapat 28 Pengadilan Tata Usaha Negara yang tersebar di seluruh Indonesia.[8]
B. Sejarah
Terbentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Keberadaan peradilan administrasi negara merupakan salah satu jalur
yudisial dalam rangka pelaksanaan asas perlindungan hukum kepada masyarakat.
Proses kelahirannya telah menempuh perjalanan cukup panjang dan berliku.
Apabila ditelusuri, sejak Indonesia merdeka hingga akhir tahun 1986, Indonesia
belum mempunyai suatu lembaga Peradilan Administrasi Negara yang berdiri
sendiri.
Sejarah
terbentuknya UU PTUN tahun 1986 diulas secara rinci oleh Wicipto Setiadi dalam
buku Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan.[9]
Dalam praktik, saat itu ada tiga lembaga yang melakukan fungsi seperti
Peradilan Administrasi Negara, yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP),
Peradilan Pegawai Negeri, dan Peradilan Bea Cukai. Selain itu, perkara-perkara
administrasi negara diselesaikan oleh hakim di lingkungan peradilan umum.
Perkara yang diselesaikan berupa perbuatan penguasa yang melanggar hukum.
Apabila ditelusuri dokumen yang berkenaan dengan Peradilan Administrasi
Negara, sebenarnya upaya perwujudan Peradilan Administrasi Negara sudah sejak
lama dirintis. Tahun 1946, untuk pertama kalinya Wirjono Prodjodikoro membuat
Rancangan Undang-undang tentang Acara Perkara dalam Soal Tata Usaha
Pemerintahan. Usaha ini didukung oleh kegiatan berupa penelitian, simposium,
seminar, dan sebagainya.
Perintah mewujudkan Peradilan Administrasi Negara pertama kali dituangkan
dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Kemudian ditegaskan dalam Undang-undang
No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di
samping itu, Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya di depan Sidang
Perwakilan Rakyat tanggal 16 Agustus 1978 juga menegaskan bahwa, “…akan
diusahakan terbentuknya peradilan administrasi, yang dapat menampung dan
menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan pelanggaran yang
dilakukan oleh pejabat atau aparatur negara, maupun untuk memberikan kepastian
hukum bagi setiap pegawai negeri.”
Selanjutnya, perintah ini diperkuat lagi dalam Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk Pelita III,
yang menyatakan, “Mengusahakan terwujudnya TUN.” Dalam Ketetapan MPR No.
II/MPR/1983 tentang GBHN untuk Pelita IV, memang tidak disebutkan secara jelas
dan tegas tentang perwujudan Peradilan TUN. Namun, karena rencana pembangunan
merupakan sebuah rencana yang berkesinambungan, maka sudah selayaknya tetap
mengupayakan perwujudan Peradilan TUN.
Kemudian, sekali lagi, Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya di
depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat 16 Agustus 1983 menerangkan bahwa, “…Dalam
pada itu, juga dalam rangka mendayagunakan aparatur negara, pemerintah berharap
secepatnya menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat.”
Akhirnya, pada 20 Desember 1986, DPR secara aklamasi menerima Rancangan
Undang-undang tentang Peradilan TUN menjadi undang-undang. Undnag-undang
tersebut adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN yang
diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986 dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3344.
Melalui UU No. 5 Tahun 1986 ini, pejabat atau badan TUN bisa digugat di
Pengadilan TUN apabila keputusan-keputusan yang dikeluarkannya merugikan
masyarakat. Dengan lahirnya undang-undang ini, aparatur pemerintah tidak dapat
lagi bertindak sewenang-wenang dan setiap kebijakan yang dikeluarkannya harus
ditetapkan secara tertulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.
Meskipun diundangkan pada 29 Desember 1986, UU PTUN inti tidak dapat
seketika itu juga langsung diterapkan. Hal ini disebabkan masih menunggu
peraturan pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 145, yaitu paling
lama lima tahun sejak diundangkan. Jadi, selambat-lambatnya tahun 1991 harus
sudah keluar peraturan pemerintah tersebut. Namun belum sampai batas waktu yang
ditentukan, pada 14 Januari 1991 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7
Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.[10]
Wicipto Setiadi menguraikan perkembangan UU PTUN selama lima tahun sejak
disahkan.[11] Sebagai
tindak lanjut UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, telah
dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan, yang merupakan peraturan
pelaksanaan undang-undang tersebut, yaitu:
1.
Undang-undang No. 10 Tahun 1990
tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, dan
Ujung Pandang;
2.
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
1991 tentang Penerapan Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara;
3.
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun
1991 tentang Tata Cara Pemberhetian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan
Hormat, dan Pemberhentian Sementara serta Hak-hak Hakim Agung dan Hakim yang
Dikenakan Pemberhentian;
4.
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun
1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha
Negara;
5.
Keputusan Presiden No. 52 Tahun
1990 tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta, Medan,
Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang;
6.
Keputusan Presiden No. 16 Tahun
1992 tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Bandung, Semarang, dan
Padang;
7.
Keputusan Presiden No. 41 Tahun
1992 tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Pontianak,
Banjarmasin, dan Manado.
Pada periode 1992-1994, sedang dipersiapkan pula sejumlah Rancangan
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Presiden yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari UU No. 5 Tahun 1986. Peraturan-peraturan tersebut,
yaitu: Rancangan Undang-undang tentang Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Surabaya, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Hakim Ad Hoc, Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang Pengajuan Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Tempat
Kediaman Penggugat, serta Rancangan Keputusan Presiden tentang Pembentukan
Pengadilan Tata Usaha Negara di Ambon, Jayapura, dan Kupang.
Undang-undang
No. 5 Tahun 1986 yang diundangkan pada 29 Desember 1986, terdiri dari 7 bab dan
145 pasal.
Tahun 2004 terjadi perubahan Undang-undang tentang kekuasaan kehakiman,
dari Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun
1999, menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Perubahan undang-undang itu dilakukan dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Sehubungan dengan perubahan itu, telah diubah pula Undang-undang No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menjadi Undang-undang No. 5 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Dengan demikian, Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan perubahan.
Secara lebih
rinci, beberapa ketentuan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1986 yang mengalami
perubahan pertama, sebagai berikut: bab 1 tentang ketentuan umum; bab 2 tentang
susunan pengadilan, ketua, wakil ketua, dan hakim, panitera, tambahan bagian
mengenai pengaturan tentang jurusita, dan tentang sekretaris; bab 4 tentang hukum
acara bagian gugatan, pelaksanaan putusan pengadilan; serta bab 6 tentang ketentuan
peralihan.[12]
Perubahan pertama ini disahkan pada 29 Maret 2004 oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri dan dimuat pada Lembaran Negara RI Nomor 35 Tahun 2004.
Kemudian, tahun 2009 dilakukan perubahan kedua atas Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Sama seperti perubahan
pertama, perubahan kedua dilakukan untuk meletakkan dasar kebijakan bahwa
segala urusan mengenai Peradilan Tata Usaha Negara, baik menyangkut teknis
yudisial maupun non yudisial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Perubahan dilakukan dengan menimbang bahwa Undang-undang No. 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 9 Tahun 2004 sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan
menurut UUD 1945.[13]
Adapun hal-hal penting yang diubah dari perubahan kedua atas Undang-undang
No. 5 Tahun 1986, sebagai berikut:[14]
1.
Penguatan pengawasan hakim, baik
pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas
perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;
2.
Memperketat persyaratan
pengangkatan hakim, baik hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun hakim
pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara antara lain melalui proses seleksi
hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, partisipatif serta harus
melalui proses atau lulus pendidikan hakim;
3.
Pengaturan mengenai pengadilan khusus
dan hakim ad hoc;
4.
Pengaturan mekanisme dan tata cara
pengangkatan hakim;
5.
Kesejahteraan hakim;
6.
Transparansi putusan dan limitasi
pemberian salinan putusan;
7.
Transparansi biaya perkara serta
pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban biaya perkara;
8.
Bantuan hukum; dan
9.
Majelis Kehormatan Hakim dan
kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Secara lebih rinci, beberapa ketentuan
dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang
mengalami perubahan kedua, yaitu: bab 1 tentang ketentuan umum; bab 2 tentang
susunan pengadilan, tentang pengaturan mengenai ketua, wakil ketua, dan hakim,
tentang panitera, dan tentang sekretaris; bab 3 tentang kekuasaan pengadilan;
bab 4 tentang hukum acara bagian putusan pengadilan, pelaksanaan putusan
pengadilan; bab 5 tentang ketentuan lain; serta bab 6 tentang ketentuan
peralihan.[15]
Perubahan kedua ini disahkan pada 29 Oktober 2009 oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan dituangkan pada Lembaran Negara RI Nomor 160 Tahun 2009.
C. Tugas
Dan Fungsi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
1.
Tugas Pokok Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN)
Adapun mengenai tugas-tugas pokok PTUN meliputi beberapa aspek,
diantaranya sebagai berikut:[16]
a)
Menerima, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara pada Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta (PTUN Jakarta), dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor: 5 Tahun
1986 jo. Undang-Undang Nomor: 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 dan ketentuan dan ketenuan peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan, serta petunjuk-petunjuk dari Mahkamah Agung Republik Indonesia
(Buku Simplemen Buku I, Buku II, SEMA, PERMA, dll).
b)
Meneruskan sengketa-sengketa Tata
Usaha Negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (PT.TUN) yang berwenang.
c)
Peningkatan kualitas dan
profesionalisme Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta),
seiring peningkatan integritas moral dan karakter sesuai Kode Etik dan Tri
Prasetya Hakim Indonesia, guna tercipta dan dilahirkannya putusan-putusan yang
dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum dan keadilan, serta memenuhi harapan
para pencari keadilan (justiciabelen).
d)
Meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga Peradilan guna meningkatan dan memantapkan martabat
dan wibawa Aparatur dan Lembaga Peradilan, sebagai benteng terakhir tegaknya
hukum dan keadilan, sesuai tuntutan Undang-Undang Dasar 1945.
e)
Memantapkan pemahaman dan
pelaksanaan tentang organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta, sesuai Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor: KMA/012/SK/III/1993, tanggal 5 Maret 1993 tentang Organisasi dan tata
kerja Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara.
f)
Membina Calon Hakim dengan
memberikan bekal pengetahuan di bidang hukum dan administrasi Peradilan Tata
Usaha Negara agar menjadi Hakim yang profesional.
Sedangkan fingsi dibentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) meliputi
beberapa perkara, sebagai berikut:[17]
1.
Melakukan Pembinaan Pejabat
Struktural dan Fungsional Serta Pegawai Lainnya, Baik Menyangkut Administrasi,
Tekhnis, Yustisial Maupun Administrasi Umum.
2.
Melakukan pengawasan atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai lainnya.
3. Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara dibidang kehakiman.
D. Bentuk
Objek dan Subjek Sengketa
Beberapa bentuknya antara lain Keputusan Tata Usaha Negara dan Tindakan
Administrasi Pemerintahan. Terkait dengan tindakan administrasi pemerintahan,
berdasarkan pada Pasal 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata
Usaha Negara bahwa apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak
mengeluarkan keputusan sedangkan hal itu menjadi kewajibannya. Maka hal
tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Jika suatu badan atau
pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan,
sedangkan jangka waktu yang seharusnya telah lewat, maka badan atau pejabat TUN
yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang dimaksud.[18]
Subjek dari sengketa tata usaha negara
antara lain perseorangan/individu atau badan privat (sebagai pihak Penggugat),
dan di lain pihak pejabat dan/atau lembaga pemerintahan negara yang berwenang
sebagai pihak Tergugat.[19]
Di samping adanya Para Pihak (yang berkedudukan sebagai Subyek Hukum), terdapat
apa dikenal sebagai objek sengketa dari para pihak yaitu Keputusan Administrasi
Pemerintahan (berdasarkan pengertian Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang 30 tahun
2014) dan Tindakan Administrasi Pemerintahan (Pasal 1 Angka 8 Undang-undang No.
30 tahun 2014).
E. Hukum
Acara Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dapat mengajukan gugatan tertulis
kepada pengadilan berwenang agar KTUN itu dinyatakan batal atau tidak sah.
Gugatan dapat dilayangkan dengan alasan KTUN bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.[20]
Batas waktu pengajuan gugatan paling lama 90 hari sejak diterima atau diumumkan
KTUN oleh Badan atau Pejabat TUN.[21]
Kemudian, dalam jangka waktu 30 hari setelah gugatan dicatat, hakim
menentukan hari, jam, dan tempat persidangan, serta memanggil kedua belah pihak
untuk hadir pada waktu dan tempat yang ditentukan.[22]
Jangka waktu pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari,
kecuali sengketa diperiksa dengan acara cepat.[23]
Gugatan oleh penggugat tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya
KTUN yang digugat. Namun, penggugat dapat mengajukan permohonan agar
pelaksanaan KTUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan
sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan
itu dapat dikabulkan ataupun tidak oleh pengadilan. Permohonan dikabulkan hanya
apabila terdapat keadaan sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan
penggugat sangat dirugikan jika KTUN yang digugat itu tetap dilaksanakan, dan permohonan
tidak dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan
dilaksanakannya keputusan tersebut.[24]
Ketua Pengadilan berwenang memutuskan gugatan yang diajukan itu
dinyatakan tidak diterima, dengan pertimbangan: pokok gugatan tidak termasuk
dalam wewenang pengadilan, syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi oleh penggugat
sekalipun sudah diperingatkan, gugatan tidak berdasarkan pada alasan-alasan
yang layak, apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
KTUN yang digugat, gugatan diajukan sebelum waktunya atau lewat waktu.[25]
Tentu saja Ketua Pengadilan juga berhak menyatakan gugatan diterima atau belum
lengkap dan diminta untuk dilengkapi.
Pemeriksaan gugatan di tingkat pertama terdiri dari pemeriksaan dengan
acara biasa dan pemeriksaan dengan acara cepat. Pada pemeriksaan dengan acara
biasa, pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat
yang memuat jawabannya. Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatan
hanya sampai dengan replik, begitu pula tergugat dapat mengubah alasan yang
mendasari jawabannya hanya sampai duplik.[26]
Guna kepentingan pemeriksaan, hakim dapat memeriksa surat yang dipegang
oleh Pejabat TUN atau pejabat lain yang menyimpan surat. Hakim juga dapat
memerintahkan seorang saksi untuk didengar keterangannya dalam persidangan. Saksi
yang hadir di persidangan wajib mengucapkan sumpah atau janji sebelum didengar
keterangannya di persidangan.[27]
Setelah
pemeriksaan sengketa sudah selesai, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapat terakhir berupa kesimpulan masing-masing. Setelah itu,
sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyararah guna
putusan sengketa tersebut. Putusan pengadilan dapat berupa gugatan ditolak,
diterima, tidak diterima, atau gugur.[28]
Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan apabila terdapat kepentingan
penggugat yang cukup mendesak. Dalam hal ini, penggugat dapat memohon kepada
pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat. Kemudian, 14 hari setelah
diterimanya permohonan, Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan tentang
dikabulkan atau tidaknya permohonan itu. Penetapan tentang permohonan
pemeriksaan dengan acara cepat ini tidak dapat dilakukan upaya hukum.[29]
Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal. Apabila
permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 7 hari menentukan
hari, tempat, dan waktu sidang. Tenggang waktu jawaban dan pembuktian kedua
pihak tidak boleh melebihi empat belas hari.[30]
Alat
bukti yang diakui dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah berupa surat atau
tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan
pengetahuan hakim. Surat terdiri dari tiga jenis: akta otentik, akta di bawah
tangan, dan surat-surat lainnya yang bukan akta. Pengetahuan hakim adalah hal
yang diyakini kebenarannya oleh hakim itu, termasuk menilai suatu alat bukti
maupun saksi yang dihadapkan di persidangan.[31]
Hakim yang menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya
dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.[32]
Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan
kepada para pihak selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari. Apabila dalam jangka
waktu 60 hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan
tergugat tidak mencabut KTUN yang dimaksud, KTUN itu tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi. Dan apabila tergugat dinyatakan oleh pengadilan harus menerbitkan
KTUN baru dan tidak dilaksanakan setelah 90 hari kerja, maka penggugat dapat
mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar memerintahkan tergugat untuk
melaksanakan putusan pengadilan tersebut.[33]
Apabila tergugat tidak bersedia sama sekali melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pejabat TUN tersebut
dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif. Tindakan pejabat TUN itu diumumkan pada media massa cetak
setempat oleh panitera. Selain itu, ketua pengadilan pun harus mengajukan hal
ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk
memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan.[34]
Dalam hal ini, mungkin saja tergugat masih tidak melaksanakan putusan
pengadilan. Hal itu bisa disebabkan karena perubahan keadaan yang terjadi
setelah putusan pengadilan dijatuhkan atau memperoleh kekuatan hukum tetap.
Perubahan keadaan dimaksud biasanya berkaitan dengan sengketa di bidang kepegawaian.
Apabila hal itu terjadi, tergugat harus memberitahukannya kepada ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebagai gantinya, ketua pengadilan mengeluarkan
penetapan agar tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau
kompensasi lain.[35]
Meskipun begitu, Philipus M. Hadjon menambahkan, pelaksanaan putusan
pengadilan (eksekusi) terhadap pejabat tata usaha negara bukan berarti tidak
ada hambatan. Hambatan yang muncul bisa dari sisi psikologi, bisa pula
asas-asas hukum administrasi yang menjadi penghambatnya. Asas-asas tersebut,
yaitu asas bahwa terhadap benda publik tidak dapat diletakkan sita jaminan;
asas kewenangan, yaitu pejabat atasan tidak bisa menerbitkan KTUN yang menjadi
wewenang pejabat tertentu di bawahnya; asas kebebasan pejabat pemerintahan
tidak bisa dirampas (tidak mungkin dikenai tahanan rumah karena tidak
melaksanakan putusan PTUN), serta asas bahwa pemerintah selalu harus dianggap
mampu membayar.[36]
Pengaturan berbagai mekanisme dan sanksi
dalam UU Nomor 51 Tahun 2009 bukannya tanpa celah. Tentang uang paksa misalnya.
UU PTUN perubahan kedua itu belum menjabarkannya secara jelas dan mengamanatkan
pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Lalu soal pengumuman
di media cetak, masalah yang muncul adalah siapakah yang harus membayar biaya
pemasangan iklan di media itu?[37]
F. Upaya
Hukum Pengadilan Tata Usaha Neara (PTUN)
Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau
kuasanya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut
dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan pengadilan itu diberitahukan kepadanya
secara sah. Selambatnya 30 hari setelah permohonan banding, panitera
memberitahukan kepada kedua belah pihak agar mereka melihat berkas perkara di
kantor PTUN. Tenggang waktunya 30 hari sejak mereka menerima pemberitahukan
dari panitera tersebut.[38]
Salinan putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan harus
dikirimkan kepada panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
selambat-lambatnya 60 hari setelah pernyataan permohonan pemeriksaan banding.
Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding
serta surat keterangan dan bukti kepada panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara dengan perantaraan panitera pengadilan tingkat pertama.[39]
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tidak mengatur batas waktu pemeriksaan
perkara di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Setelah majelis hakim pada
Pengadilan Tinggi memutuskan perkara itu, dalam jangka waktu 30 hari, panitera
Pengadilan Tinggi TUN harus mengirimkan salinan putusannya kepada PTUN yang
memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama. Pemeriksaan tingkat banding bersifat
devolutif, artinya seluruh pemeriksaan perkara pada pengadilan tingkat pertama,
dipindahkan dan diulang oleh Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.[40]
Pengadilan Tinggi seperti duduk di tempat hakim tingkat pertama.
PTUN juga mengatur upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali. Kedua upaya
hukum ini diajukan kepada Mahkamah Agung. Upaya hukum Peninjauan Kembali dapat
dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Acara pemeriksaan upaya hukum kasasi diatur dalam Pasal 55 Ayat (1)
Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sedangkan acara
pemeriksaan upaya hukum peninjauan kembali diatur pada Pasal 77 Ayat (1)
undang-undang yang sama.[41]
Pasal 55 Ayat (1) Undang-undang tentang Mahkamah Agung menentukan bahwa
pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan TUN dilakukan menurut ketentuan undang-undang ini. Dan undang-undang
itu sebenarnya hanya mengatur mengenai peradilan umum. Sedangkan upaya hukum
Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 67-75 Undang-undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.[42]
Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali saja dan
diajukan secara tertulis. Jangka waktunya selama 180 hari. Permohonan ini tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan yang terhadapnya
dimohonkan pemeriksaan peninjauan kembali.[43]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dasar hukum Peradilan Tata
Usaha Negara diatur dalam tiga instrumen hukum, yaitu Undang-undang No. 5 Tahun
1986, Undang-undang No. 9 Tahun 2004 dan Undang-undang No. 51 Tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sebelum disahkan Undang-undang No. 5 Tahun
1986, Peradilan Administrasi Negara pertama kali dituangkan dalam Ketetapan MPRS
No. II/MPRS/1960. Kemudian ditegaskan dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970
tentang Kekuasaan Kehakiman. Akhirnya, pada 20 Desember 1986, DPR secara
aklamasi menerima Rancangan Undang-undang tentang Peradilan TUN menjadi
undang-undang. Undang-undang tersebut adalah UU No. 5 Tahun 1986.
Perubahan Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang tentang Mahkamah Agung menyebabkan perlu
dilakukan penyesuaian terhadap Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN yang
mengatur lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Perubahan Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 2004 itu dilakukan dalam
usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari
pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Hukum acara PTUN diatur
dalam Bab IV UU PTUN. Ia mengatur mulai dari gugatan. Pemeriksaan gugatan di
tingkat pertama terdiri dari pemeriksaan dengan acara biasa dan pemeriksaan
dengan acara cepat. Ada pula pengaturan tentang pemeriksaan saksi dan alat
bukti, penyerahan kesimpulan, putusan pengadilan, serta pelaksanaan putusan
pengadilan.
PTUN mengenal upaya hukum
banding, kasasi dan peninjauan kembali. Upaya hukum banding ditangani oleh
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pemeriksaannya bersifat devolutif, artinya
seluruh pemeriksaan perkara dipindahkan dan diulang oleh pengadilan tinggi yang
bersangkutan.
Sedangkan kasasi dan peninjauan kembali diajukan
kepada Mahkamah Agung. Acara pemeriksaan
upaya hukum kasasi diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung, sedangkan acara pemeriksaan upaya hukum peninjauan
kembali diatur pada Pasal 77 Ayat (1) undang-undang yang sama.
B. Saran
1.
Hendaknya PTUN lebih memaksimalkan
dalam Melakukan Pembinaan Pejabat Struktural dan Fungsional Serta Pegawai Hukum
Lainnya, Baik Menyangkut Administrasi, Tekhnis, Yustisial Maupun Administrasi
Umum, agar tidak banyak jerjadinya kasus-kasus pelanggaran dan agar semua dapat
berjalan dengan sebagaimana mestinya.
2.
Hendaknya dari pihak para Pejabat
dan Pegawai memilki kesadaran diri yang tinggi sehingga dapat bertugas
semaksimal mungkin walau tanpa adanya pengawasan atas pelaksanaan tugas dan
tingkah laku Hakim dan pegawai lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
DR.
Ridwan HR, Hukum Administraasi Negara, Ed.Revisi,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016)
Farah
Fitriani, “Hambatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
Mengakibatkan Hilangnya Wibawa PTUN,” Farahfitriani.wordpress.com, (30
Oktober 2011), diakses 26 Juli
2019, https://farahfitriani.wordpress.com/ 2011/10/30/ hambatan – pelaksanaan – putusan -peradilan-tata-usaha-negara-yang-mengakibatkan-hilangnya-wibawa-ptun/.
Https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Tata_Usaha_Negara, diakses pada tanggal 26 Juli 2019, pukul 10.30 WIB.
HukumOnline,
“Wantimpres dan Mahkamah Agung Bahas Eksekusi Putusan PTUN,” Hukum Online (17 Februari 2010), diakses 26
Juli 2019, http://www.hukumonline.com/ berita/ baca/ lt4b7bf0bfdffac/wantimpres-dan-mahkamah-agung-bahas-eksekusi-putusan-ptun.
Indroharto,
Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku
II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2005).
Memperbandingkan
pasal demi pasal antara Undang-undang No. 5 Tahun 1986 dengan Undang-undang No.
9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Philipus
M. Hadjon, R. Sri Soemantri Martosoewignjo, dkk. Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2015),
Safri
Nugraha, Anna Erliyana, dkk, Hukum Administrasi Negara,
Ed.Revisi, (Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2007),
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
Undang-undang
No. 51 Tahun 2009. Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 160. Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 5079. Pasal 1 Angka 10.
Undang-undang
No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Victor
Yaved Neno. Implikasi Pembatasan Wewenang Kompetensi Absolut Peradilan Tata
Usaha Negara. Cet. 1. (Jakarta: PT Citra
Widya Bakti,2006).
Wicipto
Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995).
[1] DR. Ridwan HR, Hukum
Administraasi Negara,
Ed.Revisi,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016), h. 279
[2] DR. Ridwan HR, Hukum
Administraasi Negara,
Ed.Revisi..., h.3
[3] Farah Fitriani,
“Hambatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang Mengakibatkan
Hilangnya Wibawa PTUN,” Farahfitriani.wordpress.com, (30 Oktober 2011), diakses 26 Juli 2019, https://farahfitriani.wordpress.com/ 2011/10/30/ hambatan – pelaksanaan – putusan -peradilan-tata-usaha-negara-yang-mengakibatkan-hilangnya-wibawa-ptun/.
[4] Undang-undang Dasar
1945, Pasal 1 ayat (3)
[5] Safri Nugraha, Anna
Erliyana, dkk, Hukum Administrasi Negara, Ed.Revisi, (Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2007), h. 405
[6] Undang-undang No. 51
Tahun 2009. Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 160. Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 5079. Pasal 1 Angka 10.
[7] Victor Yaved Neno.
Implikasi Pembatasan Wewenang Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara.
Cet. 1. (Jakarta: PT Citra Widya Bakti,2006). h.1
[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Tata_Usaha_Negara, diakses
pada tanggal 26 Juli 2019, pukul 10.30 WIB.
[9] Wicipto Setiadi, Hukum
Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1995), h. 7-10
[10] Wicipto Setiadi, Hukum
Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1995), h. 7-10
[12] Memperbandingkan pasal
demi pasal antara Undang-undang No. 5 Tahun 1986 dengan Undang-undang No. 9
Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[14] Penjelasan Undang-undang
No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
[15] Memperbandingkan pasal
demi pasal antara Undang-undang No. 5 Tahun 1986 dengan Undang-undang No. 51
Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
[16] https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Tata_Usaha_Negara, diakses
pada tanggal 26 Juli 2019, pukul 10.30 WIB.
[17] https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Tata_Usaha_Negara, diakses
pada tanggal 26 Juli 2019, pukul 10.30 WIB.
[20] Undang-undang No. 9
Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal. 53
[21] Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal. 55
[22] Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal. 59 ayat (3)
[23] Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal. 64 ayat (2)
[25] Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal. 62 ayat (1)
[26] Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal. 75
[29] Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal. 98
[30] Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal. 99
[31] Indroharto, Usaha
Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II
Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2005), h. 203
[32] Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal. 107
[34] Undang-undang No. 51
Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal. 116 ayat (4-6)
[35] Philipus M. Hadjon, R.
Sri Soemantri Martosoewignjo, dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2015), h. 364
[36] Philipus M. Hadjon, R.
Sri Soemantri Martosoewignjo, dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia..., h. 366
[37] HukumOnline, “Wantimpres
dan Mahkamah Agung Bahas Eksekusi Putusan PTUN,” Hukum Online (17 Februari
2010), diakses 26
Juli
2019, http://www.hukumonline.com/ berita/ baca/ lt4b7bf0bfdffac/wantimpres-dan-mahkamah-agung-bahas-eksekusi-putusan-ptun.
[40] Indroharto, Usaha
Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II
Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara..., h.
223
[41] Undang-undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal. (131-132)
[42] Indroharto, Usaha Memahami
Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II Beracara di
Pengadilan Tata Usaha Negara..., h.
235
[43] Indroharto, Usaha
Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II
Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara..., h.
236
Tags:
SKRIPSI DAN MAKALAH