MAKALAH | Kaidah "Al-harim lahu hukmu ma huwa harim lahu" | qawaid fiqhiyah (lengkap Dengan Footnote)

الْحَرِيمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيمٌ لَهُ
MAKALAH QAWAID FIQHIYYAH | Kaidah "Al-harim lahu hukmu ma huwa harim lahu" | al-harim lahu
MAKALAH, Kaidah Fiqhiyah "Al-harim lahu hukmu ma huwa harim lahu" lengkap Dengan Referensi

BAB I
PENDAHULUAN
Hasil dari suatu ijtihad sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi dimana hukum tersebut dirumuskan. Hal tersebut mengakibatkan proses ijtihad yang dilaksanakan sering menghasilkan rumusan yang bervariasi ketika konteks persoalan yang timbul berbeda. 

Sebagai sebuah produk ijtihadi, hukum yang ditetapkan bukanlah sesuatu yang sakral dan menutup pintu perbedaan maupun perubahan.

Munculnya berbagai hasil ijtihad yang berbeda-beda, tidak terlepas dari proses perumusan hukum itu sendiri. Proses pelaksanaan ijtihad dengan berbagai kaidahnya sangat berperan dalam hasil serta pengaruh hukum yang diputuskan. 

Karena itu, seorang Mujtahid harus mampu memahami kaidah-kaidah ijtihad secara sempurna. Kaidah-kaidah ijtihad telah tersusun dalam sebuah cabang ilmu yang disebut Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah dimana kaidah tersebut diartikan sebagai berikut:

الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
Artinya:“Suatu perkara kulli (universal) yang bersesuaian dengan juz’iyah (bagian-bagian) yang banyak yang dari padanya diketahui hukum juziyat itu”[1]

Diantara kaidah-kaidah yang terdapat dalam qawaid ini, terdapat beberapa kaidah yang di bagi menjadi 2 kaidah. kaidah yang pertama  berjumlah 5 yang disebut Asasiyyah (dasar) dan kaidah yang kedua disebut Kulliyyah (umum). Dalam makalah ini, kami akan mencoba untuk memberikan gambaran singkat tentang salahsatu kaidah kulliyah yang berjudul.
الْحَرِيمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيمٌ لَهُ
Artinya: “Suatu batasan mempunyai hukum seperti apa yang dibatasinya”

Tempat wisata terindah di London yang diincar oleh para wisatawan saat liburan:
TEMPAT WISATA LONDON
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Kaidah
Definisi “Al-Harim”
Kata “al-harim” berasal dari bahasa arab yang artinya adalah suatu batasan yang membatasi sesuatu. Kata “al-harim” dalam kaidah di atas memiliki cakupan makna yang umum, yaitu meliputi batasan sesuatu yang wajib, batasan sesuatu yang haram maupun batasan sesuatu yang dimakruhkan, 

sebagaimana penjelasan yang diuraikan oleh Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi  dalam sebuah karangan beliau mengutip pernyataan dari Imam Al-Zarkasyi sebagai berikut:

قَالَ الزَّرْكَشِيُّ: الْحَرِيمُ يَدْخُلُ فِي الْوَاجِبِ، وَالْحَرَامُ وَالْمَكْرُوهُ
Artinya: “Berkatalah Al-Zarkasyi: Batasan (dalam kaidah ini) termasuk pada sesuatu yang wajib, haram dan makruh”.[2]

Adapun maksud dari Batasan sesuatu yang diharamkan adalah batasan yang membatasi sesuatu dan apabila seseorang melewatinya maka akan jatuh kedalam perbuatan yang diharamkan. 

Sedangkan batasan wajib maksudnya adalah batasan yang menyempurnakan sesuatu perbuatan yang wajib, sehingga batasan tersebut harus dilewati untuk mencapai kesempurnaan hukum wajib tersebut, senada dengan penjelasan Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi  berikut:

وَكُلُّ مُحَرَّمٌ لَهُ حَرِيمٌ يُحِيطُ بِهِ، وَالْحَرِيمُ: هُوَ الْمُحِيطُ بِالْحَرَامِ، كَالْفَخِذَيْنِ فَإِنَّهُمَا حَرِيمٌ لِلْعَوْرَةِ الْكُبْرَى.
وَحَرِيمُ الْوَاجِبِ: مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ

Artinya: “Tiap-tiap perbutan yang diharamkan mempunyai batasan yang membatasinya, batasan tersebut adalah batasan untuk hukum haram, seperti dua paha menjadi batas haramnya kemaluan seorang wanita yang sudah dewasa, Sedangkan batasan wajib adalah sesuatu yang tidak sempurnalah perbuatan wajib tanpanya”.[3]

Definisi Hukum
Hukum berasal dari bahasa arab yang berbentuk mufrad (tunggal). Kata jamaknya diambil alih dalam bahasa indonesia menjadi “hukum”. Hukum juga dinamakan recht yang berasal dari kata rechtum, di ambil dari bahasa latin yang berarti pimpinan atau tuntunan atau pemerintahan.

Di dalam ilmu ushul fiqih terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan hukum, yaitu hukum (الحكم), hakim (الحاكم), mahkum fihi (محكوم فيه), dan mahkum ‘alaih (محكوم عليه). Secara bahasa hukum (الحكم) berarti man’u (المنع) yang berarti “mencegah”, hukum juga berarti qadla’ (القضاء) yang berarti “putusan”.[4]

Adapun secara istilah, pengertian hukum menurut ulama’ ushul yaitu:
الحكم هو خطاب الشارع المتعلق بافعال المكلفين , طلبا او تخييرا او وضعا
Artinya: “Hukum adalah khitab syari’ (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan seoarang mukallaf, berupa tuntutan, pilihan ataupun ketetapan.[5]

Dapat disimpulkan bahwa Hukum menurut bahasa, artinya : Menetapkan sesuatu atas sesuatu ” اثبات شئ على شئ” sedang menurut istilah, ialah : “Khithab (titah) Allah, atau sabda Nabi Muhammad s.a.w.yang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf, baik titah itu mengandung tuntutan suruhan , larangan atau membolehkan sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebab, syarat atau memperbolehkan sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang (mâni’) bagi sesuatu hukum”.[6]

Tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti ketertiban, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. 

Dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat diselesaikan melalui proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, selain itu hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri. 

Dalam Islam, hukum tentunya berasal dari Allah melalui Rasulullah dengan dua dasar sumber hukum umat Islam yaitu Al-Quran dan Hadis dengan tujuan untuk mengatur kehidupan manusia dan perjalanan aktivitas manusia dengan melaksankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah swt.

Makna Qa’idah
Berdasarkan dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa maksud dari kaidah “al-harim lahu hukm ma huwa harim lahu” adalah batasan sesuatu mempunyai ketentuan hukum seperti apa yang dibatasinya, maka bila yang dibatasinya adalah sesuatu yang wajib, 

maka batasan tersebut pun dihukumkan wajib, bila yang dibatasi humumnya haram maka batas tersebut pun dihukumi haram, bila yang dibatasi hukumnya makruh maka batasannya pun dihukumi makruh.

Berlibur ke tempat Wisata London dengan suasana yang memukau dan menghipnotis pandangan semua pengunjungnya
TOUR WISATA LONDON
B. Sumber Qaidah
Hukum-hukum fiqh dibangun atas dasar ijtihad para ulama terhadap ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi. Dalam pengertian ini, maka hukum-hukum fiqh tersebut merupakan dugaan kuat terhadap maksud Allah dan Rasul yang terkandung dalam al-Qur’an atau hadis Nabi. Penggunaan dalil dan metode ijtihad menjadikan hasil ijtihad seorang mujtahid dapat saja berbeda satu sama lainnya, bahkan dengan kesimpulan bertolak belakang. 

Satu ijtihad boleh jadi tidak dapat menjangkau maksud Allah dan Rasul dengan baik, sementara ijtihad yang dihasilkan oleh mujtahid lain mendekati maksud Allah, begitu juga ijtihad mujtahid lain boleh jadi telah dapat menyelami maksud Allah dan Rasul.

Tetapi, tidak dapat dipastikan dengan jelas ijtihad mana yang mendekati kebenaran dengan maksud Allah dan Rasul. Yang jelas, ijtihad yang dilakukan mujtahid dihargai oleh Allah dan Rasul, sehingga Nabi menyatakan bahwa ijtihad yang keliru akan mendapatkan satu pahala, yaitu pahala ijtihad, sementara ijtihad yang benar akan mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaran yang dicapai dalam berijtihad. 

Sebagaimana sabda Nabi SAW:
إذا إجتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإن أخطأ فله أجر
Artinya: “Apabila seorang Hakim berijtihad dan benar, maka ia memperoleh dua pahala, sedangkan apabila ijtihadnya tidak tepat, maka memperoleh satu pahala ”.[7]

Menganai kaidah “al-harim lahu hukm ma huwa harim lahu”  di tetapkan oleh Ulama dengan berdasarkan Hadis Nabi SAW sebagai berikut:
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ، فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى، يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ

Artinya: “Dari Abu ABdillah Nu’man bin Basyir r.a,”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka, barang siapa yang takut terhadap syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. 

Dan barang siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya”.[8]

Penjelasan dari hadis diatas sebagai berikut : Sekilas memang banyak orang yang memahami hadits pertama dengan pandangan bahwa yang halal itu jelas dan yang haram  itu jelas, lalu di tengah keduanya adalah hal yang syubhat. Siapa yang jatuh ke dalam syubhat, maka dia akan jatuh ke dalam yang haram.[9]

Dengan pengertian seperti ini, sebenarnya agak rancu. Sebab berarti kita mengatakan bahwa yang syubhat itu sudah pasti hukumnya haram. Maka seharusnya bunyi haditsnya begini, "Yang halal itu adalah yang jelas halalnya, sedangkan yang haram ada dua, pertama yang haramnya jelas dan kedua yang haramnya tidak jelas (syubhat)".

Sementara banyak ulama yang tidak demikian memahami hadits ini. Misalnya kitab yang ditulis oleh Syeikh Shalih bin Abdul Aziz. Beliau dalam syarah hadits ini menuliskan bahwa yang dimaksud dengan masalah mutasyabihat adalah hukum sesuatu yang kurang dimengerti oleh orang awam. 

Dan kebanyakan umat Islam memang awam dalam hukum-hukum syariah. Karena itu dalam teks hadits ini secara tegas disebutkan, "Kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." Maksudnya orang yang tidak belajar ilmu syariah tidak akan mengetahuinya. 

Sebab yang mereka baca hanya teks yang lahiriyah saja, tanpa mengerti bagaimana cara membedah dan mengambil kesimpulan hukumnya.
Sesuatu yang dinash halal oleh Allah. Tak diragukan lagi bahwa ia adalah halal. Seperti daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah, buah-buahan, biji-bijian, kurma, anggur, dan lain-lain. 

Banyak disebutkan dalam hadist bahwa makanan-makanan tersebut halal untuk dimakan. Sedikit kami ingatkan bahwa kita mesti berhati-hati dalam memilih dan memilah produk yang halal. Terlebih dalam hal makanan, minuman, dan pakaian. 

Sebab, di antara faktor terkabulknya doa adalah makanan atau minuman yang masuk ke dalam perut kita harus halal. Begitu pun pakaian yang kita kenakan, harus berasal dari sumber dan jenis yang halal.[10]

Sesuatu yang dinash haram oleh Allah. Maka tidak diragukan lagi bahwa ia jelas haram. Seperti bangkai, daging babi, dan daging hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Ini semua telah dinash oleh Allah sebagai makanan yang haram. Contoh lain ialah pacaran dan berikhtilat dengan wanita non-mahram. Ini juga telah dinash haram oleh syariat.

Mengetahui batas halal dan haram ini sangat penting sekali bagi manusia umumnya dan umat islam khususnya. Mengapa? Jawabannya ialah karena inilah salah satu perbedaan antara manusia dengan binatang, antar manusia yang kafir dan yang mukmin. 

Orang-orang kafir itu tidak mengetahui batas halal dan haram dalam segala hal. Oleh karena itu dinilai sama dengan binatang. Dasarnyaa firman allah dalam surat Muhammad (47) ayat: 12.

Artinya : “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka Makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka”.[11]
Dalam ayat tersebut terkandung berita gembira orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Mereka dijamin akan masuk ke dalam surga. Sebaliknya, Allah mengancap orang-orang kafir untuk dalam neraka, karena cara hidup mereka seperti binatang. 

Mereka tidak mengenal batas antara halal dan haram dalam hal makanan dan minuman atau dalam usaha memenuhi nafsu kebutuhan perutnya. Tak ubahnya seperti pada binatang, yang penting bagi mereka sedap dan bergizi, sesuai dengan selera, dan menggemukkan seperti binatang. Pada dasarnya semua ciptaan allah di bumi ini adalah untuk manusia. 

Akan tetapi sebagian dari karunia allah di bumi ini ada yang bermanfaat bagi manusia dan ada pula yang membahayakan manusia itu. Makanan dan minuman yang membahayakan akan manusia itu diharamkan allah, sedang yang berguna bagi pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan manusia tetap dihalalkan.

Tercapai impian berwisata ke luar negeri, jangan ketinggalan kunjungi tepat wisata Inggris ini
TOUR WISATA LONDON
C. Penerapan Qa’idah Pada Fiqh
Ada banyak sekali furu’ masalah yang berkaitan dengan kaidah ini, diantaranya:
Wajib membasuh bagian dari kepala yang membatasi bagian wajah, ketika membasuh wajah, karena sebagaimana hukum membasuh muka adalah wajib maka wajib pula membasuh batasan muka walau sudah termasuk merupakan bagian kepala.[12]

Wajib juga melebihkan basuhan tangan sampai melewati siku saat berwudhu’, agar yakin batasan tangan pun sudah terkena, karena sebagaimana basuh tangan adalah wajib maka batasan tangan yaitu siku juga diwajibkan.[13]

Wajib menutup bagian wajah yang membatasi aurat bagi wanita ketika shalat, karena sebagai mana kepala dihukumkan aurat yang wajib ditutup, begitu juga bagian muka yang membatasi nya, maka juga wajib di tutup.[14]

Wajib menutup lutut dan pusat yang merupakan batasan bagi aurat laki-laki dalam shalat, karena sebagaimana aurat antara pusat dan lutut itu wajib ditutup, begijuga bagian pusat dan lutut itu sendidri yang membatasinya, maka wajib juga ditutup.[15]

Haram bersenggama dengan bagian antara pusat dan lutut istri  (sekitar paha) disaat masa haidh, karena saat itu bagian paha merupakan batasan haram jima’, maka sebagaimana diharamkan jimak pada faraj, begitu juga dihukumi haram pada batasan sekelilingnya, dan lain sebagainya.[16]

D. Qa’idah-Qa’idah Yang Berkaitan
Sebuah kaidah yang sangat berkaitan dengan kaidah ini, bahkan dapat juga dikategorikan sebagai kaidah cabang dari kaidah ini adalah:

وَحَرِيمُ الْمَسْجِدِ، فَحُكْمُهُ حُكْمُ الْمَسْجِدِ
Artinya: “Batasan mesjid, hukumnya sama seperti hukum mesjid”[17]

مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فهو واجب
Artinya: “Tiap-tiap perbutan yang tidak sempurna amalan wajib tanpanya maka dia juga dihukumi wajib”.[18]

Sebagai contoh masalahnya:
Wajib membasuh bagian dari kepala yang membatasi bagian wajah, ketika membasuh wajah, karena sebagaimana hukum membasuh muka adalah wajib maka wajib pula membasuh batasan muka walau sudah termasuk merupakan bagian kepala.

Wajib juga melebihkan basuhan tangan sampai melewati siku saat berwudhu’, agar yakin batasan tangan pun sudah terkena, karena sebagaimana basuh tangan adalah wajib maka batasan tangan yaitu siku juga diwajibkan.

Kemudian memandang kepada pemahaman kaidah ini, kiranya inti dari kaidah ini adalah “ihtiyath” (berhati-hati) atas keragu-raguan yang terjadi antara halal dan haram, perintah dan larangan, yang secara tidak langsung kaidah ini bisa dikatakan cabang dari kaidah asasiyyah yang membahas tentang hukum keraguan yaitu:
الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
Artinya: “Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan hanya keraguan”.[19]

Begitu juga status batasan sesuatu yang keadaannya berada diantara hukum halal dan haram, maka dari penetapan qaidah tersebut secara tidak langsung menuntut untuk berpegang pada hukum yang yakin selama balum ada kejelasan secara pasti. 

Berkenaan dengan hal ini, terkait juga dengan sebuah kaidah yang membahas bila bercampurnya halal dan haram pada sesuatu yang tak bisa dipisah makajuga untuk berhati-hati terhadap hukum, ditetapkan hukumnya menjadi haram, demikian bunyi kaidah tersebut:
إذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَامُ
Artinya: “Bila berhimpun halal dan haram menjadi satu, maka diberatkan kepaada hukum haram”.[20]

إذا اجتمع مباح ومحظور، غلب جانب المحظور احتياطاً وذلك لأنه لا يمكن تجنب الحرام إلا باجتناب الكامل للحلال والحرام، ويدل على ذلك قوله تعالى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾ [المائدة:90] فحرم الله الخمر والميسر مع أن فيهما منافع للناس، لكن لما غلب جانب الشر منع.

Penjelas dari kaidah ini, jika berkumpul dalam sesuatu antara hal yang mubah dan hal yang haram / berbahaya, maka di utamakan sisi yang haram untuk menjaga diri dari haram tersebut, dan tidak munkin menjauhi / menjaga diri dari sisi yang haram tersebut kecuali jika menjauhi secara total sesuatu yang  yang bercampur antara yang halal dengan yang haram tersebut, adapun dalil yang menunjukkan kaidah ini adalah firman allah SWT:  

"Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[6], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan" (QS.Al Maidah : 90). 

Dalam ayat ini Allah mengharamkan khamer (minuman keras) dan judi (serta mengundi nasib) padahal didalamnya terdapat manfaat dan faedah buat manusia, namun jika banyak mudharat dan kejelekannya maka menjadi haram dan dilarang.

ولعل هذه الأدلة ليست في مسألة الأصل؛ لأن هذه الأدلة لما اجتمع فيه سببان: سبب تحريم، وسبب إباحة. كلب صيد وكلب أجنبي، سهم وغرق. ومسائل الأصل -كما تقررت سابقا- يراد بها: المسائل التي ليس فيها دليل. لا دليل إباحة، ولا دليل تحريم؛ ولذلك فإن الأظهر أن الأصل في اللحوم هو الحل، وليس التحريم.

Munkin saja dalil-dalil ini bukan inti dari permasalahan hukum asalnya, karena dalil-dalil ini jika berkumpul antara daging yang halal dan yang haram didalamnya ada dua sebab yaitu : sebab keharamanya dan sebab kehalalanya, antara daging dari anjing pemburu (terlatih) dan anjing biasa, antara hewan yang mati karena anak panah atau karena tengelam. 

Namun permasalahan inti  asalnya  – sebagiamana penjelasan di atas- adalah : perkara dan sesuatu yang tidak ada/tidak didapati dalilnya, baik dalil yang menghalalkannya atapun dalil yang mengharamkannya, oleh karena itu yang nampak jelas dan rajih : bahwasanya hukum asal daging hewan adalah halal bukan haram.

Termasuk kaidah yang sangat berkaitan erat dengan masalah ini adalah kaidah Istihalah dan membersihkan benda yang terkena najis:
النَّجَاسَةُ إِذَا زَالَتْ بِأَيِّ مُزِيْلٍ طَهُرَ الْمَحَلُّ

Artinya:“Benda najis apabila dibersihkan dengan pembersih apa pun maka menjadi suci.”
Jadi, apabila ada percampuran antara harta yang halal dan haram maka, keluarkan terlebih dahulu harta yang haramnya (agar diketahui sebab keharamannya) dan selebihnya adalah halal.

كما قلنا في المياه: الأصل فيها الطهارة، ولو اجتمع سبب طهارة، وسبب نجاسة في الماء، حرم. ولا يدل ذلك على: أن الأصل في المياه هو النجاسة .

Sebagaimana kami katakan tentang air : hukum asal air adalah suci, seandainya berkumpul antara sebab kesuciannya dan sebab kenajisannya maka air itu menjadi najis (tidak  boleh di gunakan untuk bersuci) maka dari hal tersebut tidak menunjukkan bahwasanya : " hukum asal air adalah najis "

ويدل على: أن الأصل في اللحوم هو الجواز والحل، قوله سبحانه: { قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً ..... الآية } (سورة الأنعام آية : 145) ، فإنه دل على: أن الأصل هو الحل والجواز، وأن التحريم مستثنى.

Adapun dalil : hukum asal daging adalah boleh dan halal, adalah firman-Nya : 145.  Katakanlah: "Tiadaklah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - 

Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang". (Al-An'am: 145)

Maka dari ayat ini menunjukkan bahwasanya : hukum asal daging hewan adalah halal dan boleh dimakan, dan pengharamannya adalah dengan pengecualaian (istisna') dari yang  halal.

ويدل على ذلك: قوله جل وعلا: { وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ }  فدل أن الأصل هو الحل والجواز في اللحوم المأكولة، وأن التحريم مستثنى

Dan dalil yang lainya adalah firman Allah SWT: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. ( QS. Al- An'am : 119 )

Maka ayat ini menunjukkan bahwasanya hukum asal daging adalah halal dan boleh memakanya, sedangkan pengharamnya dengan pengecualain (istisna')  dari yang halal.

ويدل عليه أيضا: قوله جل وعلا: { إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ } (سورة البقرة آية : 173) فحصر المحرمات بأداة الاستثناء "إنما" الآية، فدل ذلك على أن الأصل في اللحوم هو الإباحة .

Dalil lain yang menunjukkan hukum asal  daging adalah halal firmanya :
  إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ

Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[7]. 

(Al Baqarah : 173 ) dalam ayat ini pengharamannya di batasi dengan kata  "إنما" maka yang demikian itu menunjukkan bahwasanya hukum asal daging adalah halal.

ويدل عليه أيضا ما ورد في السنن، من حديث عائشة أن النبي - صلى الله عليه وسلم - " سئل عن اللحوم التي تؤتى إليهم، ولا يُدرى هل ذكر اسم الله عليها أو لا؟ فقال: اذكروا اسم الله عليها أنتم وكلوا " ولو كان الأصل في اللحوم التحريم؛ لقيل: لا تأكلوا حتى تعلموا قيام سبب الإباحة. إلى غير ذلك من النصوص الدالة على أن الأصل في اللحوم هو الحل والجواز، حتى يأتي دليل يغيره .

Dan menunjukan demikian juga (asal daging halal) hadist yang ada di sunan, dari hadistnya Aisyah ra: bahwasanya rasulullah pernah di Tanya tentang daging yang diberikan kepada mereka, sedang mereka tidak tahu apakah dalam penyembelihannya menyebut asma Allah apa tidak? maka beliau menjawab: “maka bacakan basmalah atasnya kemudian makanlah daging itu".[21]

Kalau seandainya hukum asal daging adalah haram, sungguh akan dikatakan: "janganlah kamu makan sampai kamu tahu dalil (bukti) halalnya daging tersebut. Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang menyatakan bahwasanya hukum asal daging adalah halal dan boleh, sampai ada dalil yang menyatakan lain (haram/subhat)”

Tour ke london memang pilihan yang tepat untuk berwisata bersama orang tersayang
TOUR WISATA LONDON INGGRIS

E. Pengecualian Dari Qa’idah
Berdasarkan definisi Qai’dah diatas maka ulama terbagi dua dalam memaknai qawa’id fiqhiyyah berkenaan dengan perbedaan mereka dalam memandang keberlakuannya, apakah bersifat kulii (menyeluruh/universal) atau aghlabi (kebanyakan). 

Bagi ulama yang memandang bahwa  qawa’id fiqhiyyah bersifat aghlabi, mereka beralasan bahwa realitanya memang seluruh qawa’id fiqhiyyah memiliki pengecualian, sehingga penyebutan kulli terhadap qawa’id fiqhiyyah kurang tepat. 

Sedang bagi ulama yang memandang qawa’id fiqhiyyah sebagai bersifat kulli, mereka beralasan bahwa pada kenyataan pengecualian yang terdapat pada qawa’id fiqhiyyah tidaklah banyak. Di samping itu, mereka juga beralasan bahwa pengecualian (al-istisna’) tidak memiliki hukum sehingga tidak mengurangi sifat kulli pada qawa’id fiqhiyyah.

Jadi pada dasarnya kedua kelompok ulama di atas sepakat tentang adanya istisna’ (pengecualian) dalam penerapan qawa’id fiqhiyyah, hanya saja mereka berbbeda pendapat berkenaan dengan pengaruh istisna’ tersebut terhadap keuniversalan qawa’id fiqhiyyah. 

Dengan demikian qawa’id fiqhiyyah merupakan kaidah-kaidah yang bersifat umum, meliputi sejumlah masalah fiqh, dan melaluinya dapat diketahui sejumlah masalah yang berada dalam cakupannya, terkecuali beberapa perkara yang telah dikecualikan oleh para Ulama.

Adapun kaidah ini tidak diperdapatkan pengecualian pada segala cabang masalahnya melainkan hanya ada pada satu kasus yaitu tentang haramnya menyetubuhi istri dari jalur belakang atau dubur, maka dalam hal ini yang diharamkan oleh syara’ adalah dubur istri yang mempunyai pembatas yaitu pantatnya, namun syara’ tidak mengharamkan kepada sang suami jika bersenggama dengan pantatnya saja, 

padahal  bagian pantat ketika itu menjadi “al-harim” (pembatas) bagi dubur yang diharamkan, seharusnya sesuai kaidah di atas pantat juga diharamkan, karena pembatas hukum haram dihukumi haram juga seperti apa yang dibatasinya,[22] 

demkian penjelasan dari beberapa kitab Qawa’id Al-Fiqhiyyah yang diantaranya sebagai berikut:

كُلُّ مُحَرَّمِ فَحَرِيمُهُ حَرَامٌ إلَّا صُورَةً وَاحِدَةً، لَمْ أَرَ مَنْ تَفَطَّنَ لِاسْتِثْنَائِهَا، وَهِيَ دُبُرُ الزَّوْجَة، فَإِنَّهُ حَرَامٌ، وَصَرَّحُوا بِجَوَازِ التَّلَذُّذ بِحَرِيمِهِ، وَهُوَ مَا بَيْن الْأَلْيَتَيْن

Artinya: “Tiap-tiap hal yang diharamkan maka batasannya juga dihukumi haram kecuali satu surah yang tidak pernah aku lihat ada orang cendekiawan yang mengecualikannya, yaitu tentang dubur istri yang hukumnya haram disetubuhi, namun dalam hal ini para ulama secara gamblang menyatakan boleh bersenggama dengan batasan dubur tersebut yaitu dua pantatnya”.[23]
Makalah kaidah "al-hajat tanzil manzilah al-dharurah" disini

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa maksud dari kaidah “al-harim lahu hukm ma huwa harim lahu” adalah batasan sesuatu mempunyai ketentuan hukum seperti apa yang dibatasinya, maka bila yang dibatasinya adalah sesuatu yang wajib, maka batasan tersebut pun dihukumkan wajib, bila yang dibatasi humumnya haram maka batas tersebut pun dihukumi haram, bila yang dibatasi hukumnya makruh maka batasannya pun dihukumi makruh.

Adapun kaidah ini tidak diperdapatkan pengecualian pada segala cabang masalahnya melainkan hanya ada pada satu kasus yaitu tentang haramnya menyetubuhi istri dari jalur belakang atau dubur, maka dalam hal ini yang diharamkan oleh syara’ adalah dubur istri yang mempunyai pembatas yaitu pantatnya, namun syara’ tidak mengharamkan kepada sang suami jika bersenggama dengan pantatnya saja, padahal  bagian pantat ketika itu menjadi “al-harim” (pembatas) bagi dubur yang diharamkan, seharusnya sesuai kaidah di atas pantat juga diharamkan, karena pembatas hukum haram dihukumi haram juga seperti apa yang dibatasinya.

Adapun kaidah yang berkaitan dengan kaidah ini antara lain:
وَحَرِيمُ الْمَسْجِدِ، فَحُكْمُهُ حُكْمُ الْمَسْجِدِ
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فهو واجب
الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
إذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَامُ
Makalah kaidah "al-dharar la yuzal bi al-dharar" disini

DAFTAR PUSTAKA
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang. 1976)
Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th)
Ibrahim Lubis, Pengertian Hukum (Medan: Majannaii, 2012)
Syaikh Al-Islam Zakariya Al-Anshari, Ghayah Al-Wushul, (Jeddah: Al-Haramain, tth)
Moh Rivai, Ushul Fiqih, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993)

Muhammad Adib Bisri, Terjemah Al-Faraid Al-Bahiyyah Risalah Qawa’id Fiqh, (Kudus: : Menara Kudus, 1997)
Syaikh Muhammad bin Shahih, Syarah Hadits Arba’in, (Jakarta : Pustaka Ibnu Katsir, 2010).
An nawawi bin syarafudin, hadits arba’in, (Riyadh: darul fikr, 1997)
HR. Bukhari Kitabul Buyu' bab: tidak memperdulikan was-was dan semisalnya dari subhat hadist no : 2057, kitabut tauhid bab: berdoa dengan nama Allah dan mohon perlindungan denganya, hadist no:7398
Abi Al-Qadhi Muhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyyah, jld.II (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th)

FOOTNOTE:
[1] Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang. 1976)  h.11
[2] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.91.
[3] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.91.
[4] Ibrahim Lubis, Pengertian Hukum (Medan: Majannaii, 2012) h.34.
[5] Syaikh Al-Islam Zakariya Al-Anshari, Ghayah Al-Wushul, (Jeddah: Al-Haramain, tth) h.6

[6] Moh Rivai, Ushul Fiqih, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), h.12.
[7] Muhammad Adib Bisri, Terjemah Al-Faraid Al-Bahiyyah Risalah Qawa’id Fiqh, (Kudus: : Menara Kudus, 1997)  h.42
[8] Abi Al-Qadhi Muhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyyah, jld.II (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th) h.420.
[9] Syaikh Muhammad bin Shahih, Syarah Hadits Arba’in, (Jakarta : Pustaka Ibnu Katsir, 2010). h 168-169.
[10] An nawawi bin syarafudin, hadits arba’in, (Riyadh: darul fikr, 1997) h.9
[11] QS. Muhammad [47]: 12.

[12] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.91.
[13] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.91.
[14] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.91.
[15] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.91.
[16] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.91.
[17] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.91.
[18] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.91.
[19] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.37.

[20] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.77.
[21] HR. Bukhari Kitabul Buyu' bab: tidak memperdulikan was-was dan semisalnya dari subhat hadist no : 2057, kitabut tauhid bab: berdoa dengan nama Allah dan mohon perlindungan denganya, hadist no:7398
[22] Abi Al-Qadhi Muhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyyah, jld.II (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th) h.423
[23] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.91.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama