MAKALAH Kaidah "al-umur bi maqashidiha" Qawaid Fiqhiyah Lengkap Dengan Referensi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang Qā’idah fiqh yang pertama, yaitu الامور بمقاصدها (al-umūr bi Maqāshidihā).
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang Qā’idah fiqh yang pertama, yaitu الامور بمقاصدها (al-umūr bi Maqāshidihā).
Qā’idah ini membahas tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan dua permasalahan pokok yaitu:
Bagaimanakah pemahaan dari Qā’idah ( الامور بمقاصدها ) ?
Bagaimanakah implementasi dari Qā’idah ( الامور بمقاصدها ) pada Fiqh ?
C. Tujuan Penulisan
Melangkah dari rumusan masalah di atas, maka adapun tujuan penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui pemahaan dari Qā’idah ( الامور بمقاصدها )
Untuk mengetahui implementasi dari Qā’idah ( الامور بمقاصدها ) pada Fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian “Al-umūr” Dan “Maqāshid”
“Al-umūr”
Qā’idah “al-umūr bi maqāshidiha” terbentuk dari dua unsur kata yakni lafadz “al-umūr” dan “maqāshid” yang keduanya terbentuk dari lafadz “al-amru” dan “maqshid”. Secara etimologi lafadz “al-umūr” merupakan bentuk jamak dari lafadz “al-amru” yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam Qā’idah ini lafadz “al-umūr” diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota.
Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan. Sebagaimana keterangan dari Syaikh Muhammad Al-Zarqa dalam sebuah karangannya berikut:
الْأُمُور جمع أَمر، وَهُوَ: لفظ عَام للأفعال والأقوال كلهَا، وَمِنْه قَوْله تَعَالَى: {إِلَيْهِ يرجع الْأَمر كُله} ، {قل إِن الْأَمر كُله لله} ، {وَمَا أَمر فِرْعَوْن برشيد} ، أَي مَا هُوَ عَلَيْهِ من قَول أَو فعل
Artinya: “Lafadz “al-umūr” adalah jamak dari kata “amr” yaitu sebuah lafat yang mengumumi bagi seluruh perbuatan dan perkataan, sebagian contohnya firman Allah SWT: “Hanya kepada-NYA kembali segala urusan”, “katakanlah bahwa segala urusan milik Allah”, “tiadalah urusan Fir’aun itu terpetunjuk”. Maksudnya segala sesutau yang ada pada diri Fir’aun baik itu perkataan maupun perbuatan”[1]
“Al-Maqāshid”
Sedangkan “maqāshid” secara bahasa adalah jamak dari “maqshad”, dan “maqsad” adalah mashdar mimi dari fi’il “qashada”, dapat dikatakan: “qashada- yaqshidu-qashdan-wamaksadan”, “qashdu” dan “maqshad” mempunyai arti yang sama, beberapa arti “qashdu” adalah “al-i’timad” (berpegang teguh), “al-amma” (condong, mendatangi sesuatu dan menuju).
Adapun lafadz “maqāshid” yang dimaksud dalam Qā’idah ini adalah niat, sebagaimana yang tertera dalam kitab Al-Fawāid Al-Janiyyah, karya Abi Al-Qadhi Muhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani.[2] Kata niat dengan tasydid pada huruf “ya” adalah bentuk mashdar dari kata kerja “nawa-yanwi”.
Inilah yang masyhur di kalangan ahli bahasa. Ada pula yang membaca niat dengan ringan, tanpa tasydid menjadi (niyah). Sementara Ibnu Abidin menyatakan niat secara bahasa berarti, kemantapan hati terhadap sesuatu, sedangkan menurut istilah berarti mengorientasikan ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah dalam mewujudkan tindakan. Sebagaimana penjelasan Ibn Najim berikut:
وفي الشرع كما في التلويح قصد الطاعة والتقرب إلى الله تعالى في إيجاد الفعل
Artinya: “Niat menurt istilah syara’ sebagaimana dalam kitab Talwih adalah mengorientasikan ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah dalam mewujudkan tindakan”.[3]
Niat itu diperlukan karena Untuk membedakan amalan yang bernilai ibadah dengan yang hanya bersifat adat (kebiasaan). Seperti halnya makan, minum, tidur dan lain-lain. hal itu merupakan suatu keniscayaan bagi kita sebagai manusia, disadari atau tidak kita butuh keberadaanya karena hal yang seperti itu termasuk kategori kebutuhan primer.
Akan tetapi jika dalam aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk mempertegar tubuh sehingga lebih konsentrasi dalam berinteraksi dengan Tuhan maka disamping kita bisa memenuhi kebutuhan juga akan bernilai ibadah di sisi Allah. Jika seseorang menceburkan diri ke dalam sungai apabila tidak berniat maka berarti ia mandi biasa, tetapi jika ia berniat untuk berwudhu maka ia dihukumkan berwudhu.
Akan tetapi bagi amalan-amalan yang secara eksplisit sudah berbeda dengan amalan yang tidak bernilai ibadah maka tidak diperlukan adanya niat seperti halnya iman, dzikir dan membaca al-Qur’an. Dan juga termasuk amalan yang tidak membutuhkan niat adalah meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Sebagaimana keterangan Imam Al-Suyuthi berikut:
عَدَم اشْتِرَاط النِّيَّة فِي عِبَادَة لَا تَكُون عَادَة أَوْ لَا تَلْتَبِس بِغَيْرِهَا، كَالْإِيمَانِ بِاَللَّهِ تَعَالَى، وَالْمَعْرِفَة وَالْخَوْف وَالرَّجَاء، وَالنِّيَّة، وَقِرَاءَة الْقُرْآن، وَالْأَذْكَار
Niat juga berfungsi untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah yang lainnya. Dengan niat itu kita bisa menciptakan beraneka ragam ibadah dengan tingkatan yang berbeda namun dengan tata cara yang sama seperti halnya wudhu’, mandi besar, shalat dan puasa.[5]
Sebagai syarat diterimanya perbuatan ibadah. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, adalah dengan adanya niat yang ikhlas. Kedua adalah perbuatan atau pekerjaan tersebut harus sesuai dengan yang disyariatkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Ketiga, adalah meng-istishhab-kan niat sampai akhir pekerjaan ibadah. Mengenai niat Allah berfirman pada surah al-Nisa ayat 125;
Artinya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya”. (QS. Al-Nisa [4]: 125)[6]
B. Sumber Qā’idah
Hukum-hukum Fiqh dibangun atas dasar ijtihad para ulama terhadap ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi. Dalam pengertian ini, maka hukum-hukum Fiqh tersebut merupakan dugaan kuat terhadap maksud Allah dan Rasul yang terkandung dalam al-Qur’an atau hadis Nabi.
Penggunaan dalil dan metode ijtihad menjadikan hasil ijtihad seorang mujtahid dapat saja berbeda satu sama lainnya, bahkan dengan kesimpulan bertolak belakang. Satu ijtihad boleh jadi tidak dapat menjangkau maksud Allah dan Rasul dengan baik, sementara ijtihad yang dihasilkan oleh mujtahid lain mendekati maksud Allah, begitu juga ijtihad mujtahid lain boleh jadi telah dapat menyelami maksud Allah dan Rasul.
Tetapi, tidak dapat dipastikan dengan jelas ijtihad mana yang mendekati kebenaran dengan maksud Allah dan Rasul. Yang jelas, ijtihad yang dilakukan mujtahid dihargai oleh Allah dan Rasul, sehingga Nabi menyatakan bahwa ijtihad yang keliru akan mendapatkan satu pahala, yaitu pahala ijtihad, sementara ijtihad yang benar akan mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaran yang dicapai dalam berijtihad.
Mengenai Qā’idah “Al-umūr bi maqāshidiha” ada banyak dalil yang mendasarinya yang diantaranya:
Dalam Al-Quran
Surat Al-Bayyinah ayat 5
Artinya; “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian Itulah agama yang lurus”. (QS. Al-Bayyinah: 5)[7]
Surat Al-Imran ayat 145
Artinya; “Sesuaatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS. Al-Imran: 145)[8]
Q.S Al-Baqarah ayat:225 Allah juga berfirman:
Artinya; “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (QS. Al-Baqarah: 225)[9]
Surat al –ahzab ayat 5
Artinya; “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab: 5)[10]
Dalam Hadis
إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya: “Hanyasanya segala perbuatan itu tergantung niatnya”[11]
لَا عَمَلَ لِمَنْ لَا نِيَّةَ لَهُ
Artinya: “Tidak dianggap amalan seseoraang yang tiada berniat”[12]
نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ
Artinya: “Niat seorang mukmin lebih baik dari amalannya”[13]
إنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إلَّا أُجِرْتَ فِيهَا حَتَّى مَا تَجْعَلَ فِي امْرَأَتِكَ،
Artinya: “Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan harta yang engkau niatkan karena Allah kecuali diberikan pahala atas nafakah tersebut hingga apa saja yang kamu perbuat pada istrimu”[14]
رُبَّ قَتِيلٍ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِنِيَّتِهِ
Artinya: “ Tiadalah orang yang berperang antara dua golongan, padahal Allah lebih mengetahui dengan niatnya”.[15]
مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنُهُ حَتَّى يُصْبِحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى
Artinya: “Barang siapa yang mendatangi tempat tidurnya dan berniat akan bangun untuk mendirikan shalat di waktu malam, kemudian mengantuklah kedua matanya hingga tertidur sampai subuh, maka Allah tuliskan baginya pahala apa yang telah ia niatkan”.[16]
Ayat-ayat al-Qur’an di atas sebagai dasar dibentuknya qaidah telah diperkuat oleh hadis-hadis Rasulullah SAW. yaitu bahwa tujuan, atau niat dari amal perbuatan harus dikerjakan dengan ikhlas karena Allah. Dengan demikian, maka setiap urusan tergantung pada tujuan atau niat orang yang melaksanakannya. Kalau niat karena Allah atau untuk ibadah, maka akan memperoleh pahala dan keridhaan Allah.
Sebaliknya jika niatnya untuk mengerjakan suatu perbuatan hanya karena terpaksa, atau karena ria, maka ia tidak mendapat pahala. Demikian pula, jika seseorang mengerjakan suatu perbuatan tanpa niat terutama dalam masalah ibadah, maka ibadahnya tidak sah.
Diantara sumber-sumber qaidah di atas, yang langsung menunjuk kepada peranan niat dalam semua perkara adalah hadis ( إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ). Hadis itu satu pokok penting dalam ajaran Islam. Imam Syafi’i dan Ahmad berkata : “Hadis tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata al-Baihaqi. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat, ucapan dan tindakan.
C. Penerapan Qā’idah Pada Fiqh
Dalam penerapan Qā’idah ini memiliki beberapa ketentuan, yang hal demikian telah dipaparkan oleh para ulama diantaranya:
تجْرِي بَين مباحين تخْتَلف صفتهما بِالْقَصْدِ، كَمَا لَو دَار الْأَمر بَين البيع المُرَاد حكمه وَبَين بيع الْمُوَاضَعَة وَنَحْوه كَمَا تقدم.
وتجري بَين مُبَاح ومحظور، كَمَا فِي فرع اللّقطَة الْمُتَقَدّم فَإِن التقاطها بنية حفظهَا لمَالِكهَا مُبَاح، وبنية أَخذهَا لنَفسِهِ مَحْظُور
Artinya: “Berlaku Qā’idah tersebut diantara dua perkara yang mubah yang dapat dibedakan sifatnya dengan qasad, sebagaimana jikalau beredar urusan antara akad jual beli yang yang dimaksudkan hukumnya dan jualan yang hanya menaruh barang saja, dan seumpamanya. Dan berlaku juga Qā’idah tersebut antara perkara yang mubah dan yang haram, sebagaimana pada masalah barang tercecer yang terdahulu, maka sesungguhnya niat untuk menjaga demi pemiliknya adalah mubah, dan dengan niat mengambilnya untuk diri sendiri adalah diharamkan”.[17]
Dari uraian diatas dapat difahami bahwa barlakunya Qā’idah “al-umūr bi maqāshidiha” hanya pada dua hal yang diperselisihkan dan dapat dibedakan ketentuan dari dua perkara tersebut dengan niat, pada perkara inilah barlakunya segala urusan tergantung niatnya.
Contoh kasus lain dari Qā’idah ini diantaranya:
Apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.
Kita berniat membayar hutang puasa ramadhan, tetapi belum selesai kita melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang hari, tiba-tiba kemudian kita berubah niat untuk tidak jadi membayar hutang puasa dan ingin hanya melaksanakan puasa sunnah senin kamis, maka hal itu tidak diperbolehkan dan puasa tersebut batal untuk dilaksanakan.
seseorang yang mengajar tentang komputer. Pertama, ia mengajari orang lain yang tidak mengerti tentang bagaimana mengoperasikan komputer, dalam hal ini ia mengajari orang tersebut dengan niat karena Allah dan berniat untuk membagi ilmunya kepada orang lain.
Maka dengan niatnya tersebut ia mendapatkan pahala. Sedangkan yang kedua, ia mengajari orang tersebut, hanya karena ingin mendapat imbalan saja dan ia sama sekali tidak memikirkan apakah orang yang diajarinya itu sudah mengerti atau tidak, sebab ia hanya memikirkan imbalan yang akan ia peroleh dari hasil mengajari orang tersebut saja. Maka dalam hal ini ia tidak berniat karena Allah dan karena itulah ia tidak mendapatkan pahala.
kita memanggil seseorang dan kita memanggil orang tersebut dengan sebutan yang bukan nama orang itu sendiri, dan kita memanggilnya dengan sebutan yang tidak baik, seperti memperolok orang tersebut dengan kata-kata yang tidak baik, maka dari ucapan tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung maksud orang yang mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja ataukah hanya sekedar bercanda.
Orang shalat berjamaah dengan niat makmum pada Umar, kemudian ternyata yang menjadi makmum adalah Zaid, maka tidak sah makmumnya. Orang shalat jenazah dengan niat menyembayangkan mayit laki-laki, kemudian ternayata mayitnya perempuan, shalatnya tidak sah. Demikian pula kalau dalam niatnya disebutkan jumlah mayit, dan ternyata jumlahnya tidak cocok, maka shalatnya harus diulang.
Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan khamr, atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya haram.
Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi sejumlah uang lalu mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya, maka hal itu tidak mengganti jika dompet itu hilang tanpa sengaja. Akan tetapi jika ia mengambilnya dengan tujuan/niat untuk memilikinya, maka ia dihukumkan sama dengan ghashib (orang yang merampas harta orang). Jika dompet itu hilang, maka ia harus menggantinya secara mutlak.
Apabila seseorang menabung di Bank Konvensional dengan tujuan/niat untuk mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya, maka ia dibolehkan karena dharurat. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di Bank konvensional itu dengan tujuan/niat memperoleh bunga dari bank itu, maka hukumnya haram. Dan lain sebagainya.
Hilangkan semua penat mu dengan panorama keindahan pantai iboih di pulau weh sabang tempat Wisata Aceh
D. Qā’idah-Qā’idah Yang Berkaitan
Adapun Qā’idah lain yang berhubungan dengan Qā’idah ini adalah beberapa Qā’idah-Qā’idah cabangnya, sebagai berikut:
a) العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني
Artinya: “Peninjauan yang diambil dari suatu aqad adalah tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya”.
Apabila dalam suatu akad terjadi suatu perbedaan antara niat atau maksud si pembuat dengan lafadz yang diucapkannya, maka harus dianggap sebagai suatu akad yaitu dari niat atau maksudnya, selama yang demikian itu masih dapat diketahui.
Contoh : apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.
b) [18] مالايشترط التعرض له جملة وتفصيلااذاعينه وأخطأ لم يضر
Artinya: “Sesuatu amal yang dalam pelaksanaannya tidak disyaratkan untuk dijelaskan/dipastikan niatnya, baik secara garis besar ataupun secara terperinci, kemudian ditentukan dan ternyata salah, maka kesalahan ini tidak membahayakan (sahnya amal)”.
Melalui kaidah fiqh ini dapat ditegaskan orang yang menyatakan niat bahwa tempat pelaksanaan sholatnya dimasjid atau musalla atau menyebutkan hari tertentu imam tertentu dalam sholat berjamaah, lalu terbukti kemudian apa yang dinyatakan dalam niat itu keliru, maka sholat yang bersangkutan tetap sah secara hukum. Hal ini mengingat sholat yang dilakukan orang tersebut secara sempurna. Sementara kekeliruan niat terjadi hanya pada sejumlah persoalan yang tidak mempunyai kaitannya dengan sholat.
Contoh: orang yang dalam niat shalatnya menegaskan tentang tempatnya shalat, yaitu masjid atau di rumah, harinya shalat rabu atau kamis, imamnya dalam satu shalat jama'ah Umar atau Ahmad, kemudian apa yang ditentukan itu keliru maka shalatnya tetap sah, karena shalat telah terlaksana dengan sempurna, sedangkan kekeliruan hanya pada hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan shalat.
c) كــل ماكان له أصل فلاينتقل عن أصله بمجرد النية
Artinya: “Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena semata-mata niat”.
Contoh : kita berniat membayar hutang puasa ramadhan, tetapi belum selesai kita melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang hari, tiba-tiba kemudian kita berubah niat untuk tidak jadi membayar hutang puasa dan ingin hanya melaksanakan puasa sunnah senin kamis, maka hal itu tidak diperbolehkan dan puasa tersebut batal untuk dilaksanakan.
d) مقاصد اللفظ على نية اللافظ
Artinya: “Maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang yang mengucapkan”.
Kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di hadapan qadi. Dalam keadaan demikian maka maksud lafaz adalah menurut niat qadi".
Berdasarkan kaidah ini, maksud kata-kata seperti talak, hibah, naźar, shalat, sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah sedekah itu maksudnya zakat, atau sedekah sunnah. Apakah shalat itu maksudnya shalat fardhu atau shalat sunnah.
Contoh : kita memanggil seseorang dan kita memanggil orang tersebut dengan sebutan yang bukan nama orang itu sendiri, dan kita memanggilnya dengan sebutan yang tidak baik, seperti memperolok orang tersebut dengan kata-kata yang tidak baik, maka dari ucapan tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung maksud orang yang mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja ataukah hanya sekedar bercanda.
e) الأيمان مبنية على الألفاظ والمقاصد
Artinya: “Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud”.
Khusus untuk sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu "wallahi" atau "demi Allah saya bersumpah" bahwa saya......dan seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya.
Dalam hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus mulia untuk mencapai keridhaan Allah SWT.
f) النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعمم الخاص
Artinya: “Niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'âm, tidak menjadikan 'âm lafaz yang kḣas”.
Penerapan kaidah fikih ini dapat diamati dalam keadaan kasus orang yang bersumpah. Apabila seseorang bersumpah tdak akan mau berbicara dengan manusia tetapi, yang dimaksudkannya hanya orang tertentu. Contoh: yaitu Umar, maka sumpahnya hanya berlaku terhadap Umar.
Hal serupa juga berlaku pula pada orang yang menerima minuman dari orang lain. Lalu orang yang menerima minuman bersumpah tidak akan memanfaatkan minuman itu, tetapi diniatkan untuk semua pemberiannya, maka ia tidak dinilai melanggar sumpah apabila ia menerima makanan atau pakaian pemberiannya dan kemudian memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
g) [19]وَمَا يُشْتَرَط فِيهِ التَّعْيِين، فَالْخَطَأ فِيهِ مُبْطِل
Artinya: “Sesuatu yang (dalam niat) harus dipastikan, maka kesalahan dalam pemastiannya akan membatalkan perbuatan.”
Contoh : orang menjalankan shalat duhur dengan niat shalat Ashar, puasa arafah dengan niat puasa asyura, membayar kafarat pembunuhan dengan niat kafarat Dhihar, kesemuanya tidak sah.
h) [20] ومايجب التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلااذاعينه وأخطأ ضر
Artinya: “ Seseuatu yang (dalam niatnya) harus disebutkan secara garis besar, tidak harus terperinci, kemudian disebutkan secara terperinci dan nyatanya salah, maka membahayakan perbuatan”.
Contoh : Orang shalat berjamaah dengan niat makmum pada Umar, kemudian ternyata yang menjadi makmum adalah Zaid, maka tidak sah makmumnya.
Orang shalat jenazah dengan niat menyembayangkan mayit laki-laki, kemudian ternayata mayitnya perempuan, shalatnya tidak sah. Demikian pula kalau dalam niatnya disebutkan jumlah mayit, dan ternyata jumlahnya tidak cocok, maka shalatnya harus diulang.
E. Pengecualian Dari Qā’idah
Syaikh Muhammad Al-Zarqa menerangkan bahwa mengenai Qā’idah “Al-umūr bi maqāshidiha” terdapat pengecualian dalam beberapa kasus yang hal demikian ditentukan dengan sebuah ketentuan sebagai berikut:[21]
إِن هَذِه الْقَاعِدَة لَا تجْرِي بَين أَمريْن مباحين لَا تخْتَلف بِالْقَصْدِ صفتهما، كَمَا لَو وَقع الْخلاف فِي كَون البيع صدر هزلا أَو مواضعة مثلا، لِأَن اخْتِلَاف الْقَصْد بَين الْهزْل والمواضعة لَا يَتَرَتَّب عَلَيْهِ ثَمَرَة، إِذْ كل مِنْهُمَا لَا يُفِيد تَمْلِيكًا وَلَا تملكاً
Artinya: “Sesungguhnya Qā’idah ini tidak berlaku antara dua perkara yang mubah yang tidak dapat dibedakan sifatnya dengan qasad, sebagaimana jikalau terjadi perselisihan pada keadaan aqad jual beli yang terjadi antara bercanda atau cuma meletak-letak barang saja, karena perbedaan qasad antara bercanda dan menaruh barang saja tidak membuahkan hasil, karena tiap-tiapnya tidak berfaedah untuk memilikkan barang untuk oang lain atau memiliki untuk diri sendiri”.
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa, Qā’idah “al-umūr bi maqāshidiha” tidak lagi berlaku pada kasus antara dua perkara mubah yang tidak dapat dibedakan dengan niat, maksudnya ketentuan hukum dari kedua perkara tersebut tidak dipengaruhi dengan niat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qā’idah “al-umūr Bi Maqāshidiha” merupakan salah satu Qā’idah Fiqhiyyah yang boleh digunakan oleh ahli fuqaha’ pada hai ini dalam menyelesaikan masalah ummah yang tidak terdapat di dalam Nash Al-Quran dan Al-hadis, sama dengan menggunakan Qā’idah ijtihad, qiyas dan sebagainya,
ulama pada hari ini juga perlu bijak menggunakan pemikiran mereka dalam mengeluarkan hukum, dimana hukum yang dikeluarkan mestilah bersumberkan al-Quran, al-Hadis, Qiyas dan ijmak Ulama kerana setiap masalah yang berlaku berbeda mengikut peredaran zaman, dan agar hukum yang dikeluarkan bersesuaian dan bertepatan dengan keadaan zaman tersebut.
Dari uraian diatas dapat difahami bahwa barlakunya Qā’idah “al-umūr bi maqāshidiha” hanya pada dua hal yang diperselisihkan dan dapat dibedakan ketentuan dari dua perkara tersebut dengan niat, pada perkara inilah barlakunya segala urusan tergantung niatnya.
Dan dari sisi pengecualiannya Qā’idah “al-umūr bi maqāshidiha” tidak lagi berlaku pada kasus antara dua perkara mubah yang tidak dapat dibedakan dengan niat, maksudnya ketentuan hukum dari kedua perkara tersebut tidak dipengaruhi dengan niat. Adapun Qā’idah lain yang berhubungan dengan Qā’idah ini adalah beberapa Qā’idah-Qā’idah cabangnya, sebagai berikut:
العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني
مالايشترط التعرض له جملة وتفصيلااذاعينه وأخطأ لم يضر
الأيمان مبنية على الألفاظ والمقاصد
وَمَا يُشْتَرَط فِيهِ التَّعْيِين، فَالْخَطَأ فِيهِ مُبْطِل
ومايجب التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلااذاعينه وأخطأ ضر
النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعمم الخاص
لايلزم نية العبادة فى كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعله
B. Saran
Hendaknya para alim ulama pada hari ini, perlu bijak menggunakan pemikiran mereka dalam mengeluarkan hukum, dimana hukum yang dikeluarkan mestilah bersumberkan Al-Quran, Al-Hadis, Qiyas dan Ijmak Ulama, juga dalam mengistinbatnya tidak lepas dari garis-garis qā’idah yang telah berlaku dan baku, kerana setiap masalah yang berlaku berbeda-beda mengikut peredaran zaman, dan agar hukum yang dikeluarkan bersesuaian dan bertepatan dengan keadaan zaman tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
- Abi Al-Qadhi Muhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawāid Al-Janiyyah, jld.I (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th)
- Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir fi al-furu’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th)
- Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Ed. Revisi, (Jakarta: Bintang Indonesia, 2005)
- Sa’ud bin Abdil ‘Ali al-Barudi al-‘Atibi, al-Mausu’ah al-Jinayah al-Islamiyah, cet II, (Riyadh: 1427H), h.351
- Syaikh Ahmad ibn Syaikh Muhammad Al-Zarqa, Syarh Qawā’id Al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)
- Syaikh Ibn Najim Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir li Ibn Najim, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)
- Syaikh Ahmad ibn Syaikh Muhammad Al-Zarqa, Syarh Qawā’id Al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)
- Abi Al-Qadhi Muhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawāid Al-Janiyyah, jld.II (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th)
FOOTNOTE
[1] Syaikh Ahmad ibn Syaikh Muhammad Al-Zarqa, Syarh Qawā’id al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.47.
[2] Abi Al-Qadhi Muhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawāid Al-Janiyyah, jld.I (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th) h.103
[3] Syaikh Ibn Najim Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir li Ibn Najim, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.24.
[4] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir fi al-furu’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.9.
[5] Syaikh Ibn Najim Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir li Ibn Najim, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.25.
[6] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Ed. Revisi, (Jakarta: Bintang Indonesia, 2005), h.98.
[7] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h.598.
[8] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h.68.
[9] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h.36.
[10] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h.418.
[11] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir fi al-furu’..., h.8
[12] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir fi al-furu’..., h.8
[13] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir fi al-furu’..., h.8
[14] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir fi al-furu’..., h.8
[15] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir fi al-furu’..., h.8
[16] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir fi al-furu’..., h.8
[17] Syaikh Ahmad ibn Syaikh Muhammad Al-Zarqa, Syarh Qawā’id al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.53.
[18] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir fi al-furu’..., h.15.
[19] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir fi al-furu’..., h.15
[20] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir fi al-furu’..., h.15.
[21] Syaikh Ahmad ibn Syaikh Muhammad Al-Zarqa, Syarh Qawā’id al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.53.
Tags:
SKRIPSI DAN MAKALAH