MAKALAH - QAWAID FIQHIYYAH | "ad-dharar la yuzal bi al-dharar" (Lengkap Dengan Referensi)

BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai ushul fiqh tidak bisa terlepas dari pembahasan mengenai metode-metode yang digunakan untuk proses istinbath hukum. Hal ini dikarenakan ushul fiqh senantiasa berhubungan dengan masalah-masalah yang memerlukan penyelesaian dengan benar dan akurat. 

Apabila Alquran telah secara eksplisit menyebutkan kedudukan hukum suatu perbuatan atau masalah, maka tidak perlu adanya kajian hukum terhadap kasus tersebut. Akan tetapi apabila Alquran tidak menjelaskan secara tegas, begitupun Hadits sebagai sumber kedua juga tidak memberikan solusi yang nyata, maka sudah seharusnya kasus tersebut segera dicarikan pemecahannya.
MAKALAH| QAIDAH FIQHIYYAH | "ad-dharar la yuzal bi al-dharar"
Gambar Ilustrasi Kaidah Fiqhiyyah
Dikarenakan yang menjadi focus dari pembahasan mengenai ushul fiqh ini adalah dalil syara’ yang bersifat umum ditinjau dari ketepatannya yang umum pula, maka untuk dapat mengkaji dalil – dalil tersebut seorang mufti (ulama yang mengeluarkan hukum) harus menguasai berbagai jenis ilmu yang berhubungan dengan istinbath hukum seperti bahasa arab, nahwu, sharaf, I’lal, balaghoh, mantiq, dan lain sebagainya. 

Selain membekali diri dengan ilmu-ilmu tersebut, penting juga bagi mujtahid untuk memahami kaidah-kaidah pokok yang perlu dijadikan sebagai dasar atau landasan dalam proses penetapan hukum tersebut, baik kaidah yang berlaku secara umum (qaidah kulliy) maupun qaidah yang penerapannya sdikit lebih khusus (qaidah juz’iy), sehingga diharapkan hasil yang diambil dari proses tersebut dapat memberikan mashlahah bagi semuanya.

Berangkat dari pemikiran tersebut, maka dalam makalah ini akan sedikit dipaparkan mengenai implementasi salah satu Kaidah fiqhiyyah yang berkenaan dengan hukum dalam kondisi bertentangan antara beberapa kemudharatan yaitu:

[1] الضَّرَرَ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Artinya: “Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan”
Yang mana qaidah merupakan cabang dari qaidah:
 الضَّرَرُ يُزَالُ


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian “Ad-Dharar”

Dharar (ضُّرَر) secara etimologi adalah berasal dari bahasa Arab yaitu "al-Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:

1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas-batas tertentu.

2. Abu Bakar Al Jashas seorang Imam fikih Hanafi pada abad ke 14 H, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan”.

3. Menurut Ad-Dardiri salah seorang ulama Azhar yang mahir dalam fikih mazhab malik, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”.

4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.

5. Menurut imam As-Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.[2]

Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. 

Dari makna Dharar tersebut dapat dipahami bahwa maksud dari qaidah “ad-dharar la yuzal bi al-dharar” (kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan cara melakukan dharurat yang lain), bahwa Kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan lainnya. Baca juga makalah qawaid fiqhiyah "al-hajat tanzil manzilah ad-dharurah"

Seseorang yang sedang menghadapi suatu darurat tidak boleh menolak atau menghindarkan dirinya dari keadaan tersebut dengan cara menimbulkan kemudharatan yang lain.[3]

B. Sumber Qaidah
Islam adalah agama yang membuka ruang manfaat dan menutup ruang kemudaratan kepada manusia. Sebab itu hukum-hukum syariah cenderunng kepada mengharamkan sesuatu perkara yang boleh mendatangkan kemudaratan. 

Ia kemudian disusuli dengan penyelesaian yang boleh membawa kepada kemaslahatan. Daripada kerangka inilah timbul hukum-hukum taklifi yaitu wajib, sunat, haram, makruh dan harus.

Mudarat adalah sesuatu yang boleh mendatangkan bahaya kepada keperluan asas manusia seperti agama, diri, keturunan, akal dan harta. Antara klasifikasi mudarat ialah mudarat kecil dan besar, mudarat khusus dan umum, dan mudarat jangkamasa pendek dan panjang. 

Kemudaratan dihilangkan atau dihindarkan ataupun dalam istilah bahasa arab ia disebut “ الضرورة يزال “ merupakan kaedah yang keempat menurut silibus ilmu Qawaid Fiqhiyyah. Aplikasi kaedah ini adalah salah satu dari pada prinsip Islam yang unggul demi menjaga kemaslahatan umat seluruhnya.

Dari Qaidah tersebut dapat difahami bahwa kemudharatan harus dihilangkan baik dari diri sendiri maupun pada orang lain, oleh karena itu seorang muslim ketika menghindari dari sebuah kemudharatan, jangan sampai memudharatkan orang lain, sehingga dari qaidah di atas terbentuklah qaidah cabangnya yang salah satunya yaitu “al-dhararu la yuzal bi al-dharar”. 

Terbentuknya qaidah yang berperan dalam menimbang hukum ini pun tentunya tidak luput dari dasar Al-Quran atau Hadis, dimana yang menjadi dasar qaidah “al-dhararu la yuzal bi al-dharar” ini antara lain yaitu:

[4] لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Artinya: “Tiada kemudharatan dan tiada memudharatkan”

Dalam hadis tersebut jelas menyatakan bahwa dalam islam tidak boleh memudharatkan diri sendiri ataupun memudharatkan orang lain, sehingga walaupun seorang muslim sedang dalam keadaan mudharat, akan tetapi tidak boleh dalam menghilangkan kemudharatannya tersebut sampai memudharatkan orang lain.[5]

Tentang wajibnya menghilangkan kemudharatan pula, Allah berfirman dalam surah Al-An’am ayat 119,

Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.”[6]

Ibn Katsir dalam menafsirkan ayat ini menjelaskan bahwa Pada ayat sebelumnya merupakan izin dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman untuk memakan sembelihan-sembelihan yang disebutkan nama Allah pada saat menyembelihnya. 

Kesimpulan dari makna ayat ini menun­jukkan bahwa tidak diperbolehkan memakan hasil sembelihan yang di saat menyembelihnya tidak disebutkan nama Allah, seperti yang diperbolehkan oleh orang-orang kafir Quraisy di masa Jahiliah.

Mereka biasa memakan bangkai dan semua sembelihan yang dikorbankan untuk berhala-berhala dan lain-lainnya.
Kemudian Allah menganjurkan (kepada hamba-hamba-Nya yang beriman) agar memakan sembelihan yang disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَمَا لَكُمْ أَلا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Mengapa kalian tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian”.

Maksudnya ialah Allah Swt. telah menerangkan kepada kalian semua yang diharamkan atas kalian (memakannya), dan Dia telah menjelaskannya sejelas-jelasnya. 

Sebagian ulama membaca fassala dengan memakai tasydid, ada pula yang membacanya fasala tanpa memakai tasydid. Tetapi kedua bacaan tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu menjelaskan dan menerangkan.[7]

إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya”.

Yakni kecuali bila dalam keadaan darurat, karena sesungguhnya saat itu diperbolehkan bagi kaitan memakan apa yang kalian jumpai. Selanjutnya Allah Swt. menyebutkan tentang kebodohan orang-orang musyrik dalam pandangan mereka yang rusak, karena mereka menghalalkan bangkai dan sembelihan yang disebutkan nama selain Allah ketika menyembelihnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
“Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas”.[8]

Artinya, Dia Maha Mengetahui tentang pelanggaran, kedustaan, dan buat-buatan mereka. 

Dalam ayat lain Allah SWT jiga berfirman:
Artinya: “ janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.

Dan surah Al-Qashas ayat 77:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.[9]

Maksudnya, gunakanlah harta yang berlimpah dan nikmat yang bergelimang sebagai karunia Allah kepadamu ini untuk bekal ketaatan kepada Tuhanmu dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengerjakan berbagai amal pendekatan diri kepada-Nya, yang dengannya kamu akan memperoleh pahala di dunia dan akhirat.

وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”

Yakni yang dihalalkan oleh Allah berupa makanan, minuman, pakaian, rumah dan perkawinan. Karena sesungguhnya engkau mempunyai kewajiban terhadap Tuhanmu, dan engkau mempunyai kewajiban terhadap dirimu sendiri, dan engkau mempunyai kewajiban terhadap keluargamu, dan engkau mempunyai kewajiban terhadap orang-orang yang bertamu kepadamu, maka tunaikanlah kewajiban itu kepada haknya masing-masing.[10]

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”.

Artinya, berbuat baiklah kepada sesama makhluk Allah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.
وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ
“dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi”.

Yaitu janganlah cita-cita yang sedang kamu jalani itu untuk membuat kerusakan di muka bumi dan berbuat jahat terhadap makhluk Allah.[11]

C. Penerapan Qaidah Pada Fiqh
Pada asalnya, setiap individu berhak melakukan sebuah perkara ataupun aktivitas yang memberi manfaat kepada diri dan umum. Perkara itu semestinya terhindar dari pada melakukan kerusakan dan kezaliman terhadap masyarakat umumnya. 

Namun begitu, syariat bertindak menegah seseorang sekiranya individu itu melakukan kemudaratan ke atas orang lain, walaupun dirinya mengalami kemudaratan. Inilah maksud dari qaidah:

[12] الضَّرَرَ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Artinya: “Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan”

Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum umum dalam perhubungan bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam menjalankan hak kepemilikannya dibatasi dengan keharusan tidak mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak tetangganya.

Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan haknya yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang lain (tetangganya) jika memang ia lebih dahulu ada sebelum Sitetangga. 

Misalnya, jika seseorang menempati atau membangun rumah disamping pabrik roti yang telah berdiri sebelum ia menempati atau membangun rumah tersebut, maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek negatif yang diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya dengan keinginan dan pilihannya sendiri.

Kemudaratan ke atas dirinya itu dinamakan kemudaratan khusus dan kerusakan yang dilakukan ke atas orang lain diistilahkan sebagai kemudaratan umum. Banyak kasus-kasus dalam hukum fiqh yang kesimpulan penetapan hukum boleh atau tidaknya kasus perbuatan tersebut berdasarkan qaidah di atas, diantaranya:

1. Seorang dokter tidak boleh melakukan derma darah dari seorang pasien yang sedang sakit kepada pasien yang lain, jika darah orang itu dipindahkan kepada orang lain akan menyebabkan lebih buruk kesakitan dari orang yang diberinya.

2. Demikian juga , seseorang yang kelaparan tidak boleh mengambil makanan orang yang kelaparan juga. Karena hal yang demikian termasuk menghilangkan mudharat kelaparan yang ada pada diri sendiri dengan cara memudharatkan orang lain.[13]

3. Tidak boleh memaksa said untuk menikahkan hamba sahayanya, baik hamba laki-laki ataupun hamba perempuan yang tidak halal bagi said, karena sekalipun hamba sahaya tersebut memiliki kemudharatan dengan keadaan lajangnya, tapi tidak boleh dihilangkan kemudharatan tersebut dengan cara memaksa said untuk menikahkannya, 

sebab hal demikian juga akan memudharatkan said dengan terbaginya sebagian waktu dan aktifitas hamba tersebut untuk menafqahi istrinya atau melayani suaminya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Al-Suyuthi sebagai berikut:

[14] وَعَدَمُ إجْبَارِ السَّيِّدِ عَلَى نِكَاحِ الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ الَّتِي لَا تَحِلُّ لَهُ
Artinya: “Tidak boleh memakasa said untuk menikahkan hamba laki-lakinya atau hamba perempuan yang tidak halal baginya”

4. Begitu pula ketika tidak mendapatkan makanan, Tidak boleh bagi orang yang kelaparan memotong daging dari bagian tubuh orang lain, baik orang tersebut anaknya, hamba sahayanya ataupun dirinya sendiri, karena pada perbuatan yang demikian itu termasuk melakukan kemudharatan baru, maka tidak boleh dilakukan walaupun untuk tujuan menghilangkan kemudharatan sebab lapar pada dirinya, sebagai mana keterangan dari Imam Al-Suyuthi berikut:

[15] وَلَا قَطْعَ فِلْذَةٍ مِنْ فَخِذِهِ، وَلَا قَتْلَ وَلَدِهِ، أَوْ عَبْدِهِ، وَلَا قَطْعَ فِلْذَةٍ مِنْ نَفْسِهِ
Artinya: “ Tidak boleh pula memotong daging pahanya sendiri, atau membunuh anaknya atau hamba sahayanya, dan memotong daging dari tubuhnya sendiri”

5. Apabila terjatuh sebuah guci/ tempayan ditanah orang lain, dan tidak mungkin dapat memindahkannya kecuali dengan cara dipecahkan, maka sesuai dengan qaidah “al-dharar la yuzal bi al-dharar” guci tersebut wajib diganti rugi, karena sekalipun memecahkan guci tersebut untuk menghilangkan kemudharatan pada sipemilik tanah, tetapi juga memudharatkan pemilik guci karena sudah dirugikan, oleh karena itu berdasarkan qaidah tesebut wajib mengganti rugi.[16]

6. Kasus diatas juga serupa dengan kejadian terjatuhnya koin emas kedalam botol tinta, kemudian tidak mungkin koin tersebut dapat dikeluarkan kecuali dengan cara memecahkan botol tinta tersebut, atas kasus ini pun sang pemilik koin wajib mengganti rugi atas pecahnya botol tinta.[17]

7. Demikian pula kasus seekor binatang peliharaan tanpa sengaja telah memasukkan kepalanya kedalam kuali yang sempi sehingga tidak dapat melepaskannya kembali kecuali dengan cara memecahkan kuali tersebut, 

pada kasus ini bila pemilik binatang tersebut ada ditempat kejadian, maka hal demikian merupakan kecerobohannya dan wajib bagi pemilik binatang tersebut untuk membayar ganti rugi atas pecahnya kuali bila binatang itu bukan binatang yang bisa makan, 

namun apabila binatang tersebut merupakan binatang yang boleh dimakan maka ada pendapat yang menyatakan wajib disembelih binatang tersebut demi menyelamatkan guci, karena kejadian itu terjadi sebab kecerobohan dari si pemilik binatang. 

Akan tetapi bila saat kejadian pemilik binatang tidak berada di tempat kejadian, dan kejadian tersebut disebabkan kecerobohan dari si pemilik guci, maka guci tersebutlah yang harus dipecahkan dan tidak ada ganti rugi, dan bila bukan karena kecerobohannya maka diberlakukan ganti rugi, demikianlah penjelasan dari Imam Al-Suyuthi berikut:

وَلَوْ أَدْخَلَتْ بَهِيمَةٌ رَأْسَهَا فِي قِدْرٍ، وَلَمْ يَخْرُجْ إلَّا بِكَسْرِهَا، فَإِنْ كَانَ صَاحِبُهَا مَعَهَا، فَهُوَ مُفَرِّطٌ بِتَرْكِ الْحِفْظِ، فَإِنْ كَانَتْ غَيْر مَأْكُولَةٍ كُسِرَتْ الْقِدْرُ، وَعَلَيْهِ أَرْشُ النَّقْصِ، أَوْ مَأْكُولَةً، فَفِي ذَبْحِهَا وَجْهَانِ. وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهَا، فَإِنْ فَرَّطَ صَاحِبُ الْقِدْرِ كُسِرَتْ، وَلَا أَرْشَ، وَإِلَّا  فَلَهُ الْأَرْشُ

Artinya: “Jikalau hewan peliharaan memasukkan kepalanya kedalam botol tinta, dan tidak dapat dikeluarkan kembali kecuali dengan memecahkannya, maka jika pemilik binatang tersebut ada di tempat kejadian maka hal itu merupakan kecerobohannya sebab tidak dijaganya dengan baik, jika binatang tersebut bukan binatang yang boleh dimakan maka dipecahkanlah botol tersebut dan wajib kepada si pemilik binatang untuk menggantinya, 

Namun bila binatang tersebut merupakan binatang yang boleh dimakan maka ada pendapat yang mengatakan binatang tersebut yang harus disembelih, bila kejadian tersebut karena kecerobohan si pemilik botol maka tidak ada ganti rugi, dan bila karena kecerobohannya maka wajiblah mengganti rugi”. [18]

D. Qaidah-Qaidah Yang Berkaitan
Setiap kaidah Fiqhiyyah mempunyai keterkaitan dengan beberapa kaidah-qaidah yang lain, baik keterkaitan dengan qaidah asalnya yang lebih umum, keterkaitan dengan qaidah furu’nya yang lebih khusus, ataupun dengan sesama qaidah juz’iy yang khusus.
MAKALAH| QAIDAH FIQHIYYAH | "ad-dharar la yuzal bi al-dharar"
Adapun qaidah “al-dharar la yuzal bi al-dharar” merupakan cabang dari sebuah qaidah yang lebih umum dari padanya yaitu:
[19] الضَّرَرُ يُزَالُ
Artinya: “Kemudharatan harus dihilangkan”

Qaidah ini lebih umum dari pada qaidah “al-dharar la yuzal bi al-dharar” karena dalam qaidah ini hanya kurang kata-kata “bi al-dharar”, bahkan kedua qaidah ini bisa dikatakan sama persis karena bila dibuangkan kata-kata “bi al-dharar” dari qaidah “al-dharar la yuzal bi al-dharar” maka jadilah “al-dharar la yuzal”.[20]

Adapun qaidah-kaidah cabang yang lain yang berkaitan dengan qaidah “al-dharar la yuzal bi al-dharar” diantaranya adalah:
[21] ١ - الضرورات تبيح المخظورات 
Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu dapat membolehkan keharaman”
MAKALAH| QAIDAH FIQHIYYAH | "ad-dharar la yuzal bi al-dharar"
Namun disyaratkan berlakunya qaidah ini selama tidak lebih besar kerusakan melakukan perbuatan haram tersebut dibandingkan dengan kerusakan dari kemudharatan itu, maka tingkan kemudharatannya harus lebih besar dari pada keharaman perbuatan yang dilanggar.

Dasar nas kaedah di atas adalah dari firman Allah S.W.T :

Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.” (Surah Al-An’am 6:119) [22]

Dan firman Allah SWT sebagai berikut:
فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا اثم عليه
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya, serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya”.(QS. Al-Baqarah : 173)

Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan memakainya. 

Misalnya seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan sebatas keperluannya.

Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara kehormatan atau harta benda.

Dengan demikian Dharar itu terkait dengan dharuriyah, bukan hajiyah dan tahsiniyah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiyah dan tahsiniyah. Karena itu terdapat kaidah:

لا حرام مع الضرورات ولا كراهة مع الحاجة
Artinya: “Tiada keharaman baagi Dharar dan tidak ada kemakruhan bagi kebutuhan”(Abdul Hamid Hakim, 1956:81). [23]

Contoh lain misalnya keharusan memakan makanan yang haram, sekadar melepaskan keadaannya ketika darurat dan tidak berlebih-lebihan.

Atau ketika diancam nyawanya untuk mengucapkan kalimah kufur, asalkan hatinya tetap dalam keimanan. Seperti yang terjadi dalam peristiwa Ammar bin Yasir yang memilih rukhsah yaitu mengucapkan kalimah kufur dalam keadaan darurat.

[24] ٢ - ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها 
Artinya: “Apa yang dibolehkan kerana dharurah maka diukur menurut kadar kemudaratannya”.

Keharusan perkara haram itu bertempoh, terbatas dan tidak selama-lamanya. Apabila seseorang tersebut telah keluar dari keadaan darurat, maka kebolehannya terhapus dan ia kembali haram. 

Contohnya boleh pasien wanita mendapatkan rawatan dari pada doktor lelaki sekiranya tiada ada doktor wanita ditempat itu. Namun doktor lelaki tersebut hanya dibolehkan melihat dan menyentuh tempat yang sakit sahaja sekiranya perlu.

٣ - ما اجاز لعذر بطل لزواله 
Artinya: “Apa yang diizinkan kerana adanya uzur, maka keizinan itu hilang manakala uzurnya hilang”. (wahbah az-Zuhaili, 1982:245) [25]

Contoh aplikasi prinsip kaedah ini ialah orang yang dibolehkan berbuka puasa di bulan Ramadhan kerana musafir atau sakit. Dalam keadaan ini seseorang dibolehkan menggunakan rukhsah syara’ seperti mengqasar solat, meninggalkan solat jumaat dan jama’ah kerana musafir atau sakit. 

Namun bila dharurat sudah hilang, maka seseorang itu tetap diwajibkan berpuasa secara sempurna dan melaksanakan hukum secara umum.

[26]٤ - اذا تعارض مفسدتان روعى أعظمها ضررا بارتكاب أخفهما
Artinya: “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih mudaratnya dengan memilih yang lebih ringan mudaratnya”.
MAKALAH| QAIDAH FIQHIYYAH | "ad-dharar la yuzal bi al-dharar"
Contoh lain misalnya dibolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang telah meninggal dunia jika berkemungkinan bayi yang dikandungnya masih hidup dan dapat diselamatkan. Demikian juga dibenarkan solat dalam keadaan telanjang jika tidak ada penutup kain sama sekali karena dari pada harus mencuri yang dharuratnya lebih tinggi.

Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya ini harus dihilangkan karena dharurat umum lebih berbahaya dari pada dhaurat pribadi. 

Contohnya barang siapa yang membangun tenda besar ditengah jalan umum atau membangun jembatan yang mempersulit arus lalu lintas, maka ia dapat diperintahkan untuk menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.[27]

Ada juga contoh lainnya mengenai kaidah ini antara lain:
1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
2. Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.

3. Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
4. Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan kemudaratan.[28]

٥ - الاضطرار لا يبطل حق الغير
Artinya: “Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain” (Wahbah az-Zuhaili 1982:259[29]

Misalnya seseorang dalam keadaan lapar, dan dia akan mati jika ia tidak makan, dan jalan satu-satunya mendapat makanan adalah mencuri, maka ia tidak boleh melakukannya, karena pengguguran terhadap keterpaksaan ini mengganggu hak orang lain, maka jalan keluar orang tersebut adalah boleh makan makanan yang haram seperti babi, bangkai dan sebagainya. [30]

[31] ٦ - درءالمفاسد اولى من جلب المصالح فاذاتعارض ممفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا
Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya” (as-Suyuthi, TT:62)

Kaidah tersebut diilhami oleh hadits nabi SAW:

اذاامرتكم بامرفأ توا مااستطعتم واذانهيتكم عن شئ فاجتنبوه
Artinya: “Apabila aku telah memerinahkanmu dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampumu, tetapi jika aku telah melarang padamu tentang sesuatu maka jauhilah”.(HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)"

Misalnya seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak mampu melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau berbaring. Menolak madharat didahulukan karena kerusakan akan berakibat pada hilangnya manfaat. 

Misalnya minum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan menghambur-hamburkan uang sedang manfaatnya untuk menguatkan badan , walaupun demikian maka yang dimenangkan adalah menolak kerusakannya.

E. Pengecualian Dari Qaidah
Dalam menerapkan qaidah “al-dharar la yuzal bi al-dharar” disyaratkan kemudharatan tersebut harus seimbang, sehingga bila kemudharatan terjadi pada kasus yang kemudharatannya lebih tinggi bila tidak dilakukan, maka dalam kasus tersebut dibolehkan sekalipun dengan cara memudharatkan yang lain.

Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi memberikan penjelasan tentang hal demikian dalam sebuah karangannya sebagai berikut: [32]

قَالَ ابْنُ السُّبْكِيّ: يُسْتَثْنَى مِنْ ذَلِكَ: مَا لَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا أَعْظَمَ ضَرَرًا.

وَعِبَارَةُ ابْنُ الْكَتَّانِيِّ: لَا بُدّ مِنْ النَّظَرِ لِأَخَفِّهِمَا وَأَغْلَظِهِمَا: وَلِهَذَا شُرِعَ الْقِصَاصُ، وَالْحُدُودُ، وَقِتَالُ الْبُغَاةِ، وَقَاطِعِ الطَّرِيقِ، وَدَفْعُ الصَّائِلِ، وَالشُّفْعَةُ وَالْفَسْخُ بِعَيْبِ الْمَبِيعِ وَالنِّكَاحِ، وَالْإِعْسَارِ، وَالْإِجْبَارُ عَلَى قَضَاءِ الدُّيُونِ، وَالنَّفَقَةِ الْوَاجِبَةِ، وَمَسْأَلَةُ الظَّفَرِ، وَأَخْذُ الْمُضْطَرِّ طَعَامَ غَيْرِهِ، وَقِتَالُهُ عَلَيْهِ، وَقَطْعُ شَجَرَةِ الْغَيْرِ إذَا حَصَلَتْ فِي هَوَاءِ دَارِهِ ; وَشَقُّ بَطْنِ الْمَيِّتِ إذَا بَلَعَ مَالًا، أَوْ كَانَ فِي بَطِنِهَا وَلَوْ تُرْجَى حَيَاتُهُ: وَرَمْيُ الْكُفَّارِ إذَا تَتَرَّسُوا بِنِسَاءٍ وَصِبْيَانٍ، أَوْ بِأَسْرَى الْمُسْلِمِينَ.

وَلَوْ كَانَ لَهُ عُشْرُ دَارٍ لَا يَصْلُحُ لِلسُّكْنَى، وَالْبَاقِي لِآخَرَ، وَطَلَبَ صَاحِبُ الْأَكْثَرِ الْقِسْمَةَ أُجِيبَ فِي الْأَصَحِّ، وَإِنْ كَانَ فِيهِ ضَرَرُ شَرِيكِهِ

Artinya: “Berkatalah Ibn As-Subky: dikecualikan dari kaedah tersebut apabila salah satu dari dua kemudharatan tersebut lebih besar bahaya atau kerusakannya.

Ungkapan dari Ibn Al-Kattany menyatakan bahwa dalam kasus demikian harus meninjau kepada mana kemudharatan yang lebih ringan dan mana yang lebih berat. Karena inilah sehingga tetap diterapkan hukuman qishash, hudud, hukum mati bagi ahli bughah (pemberontak), hukuman bagi perampok, 

dibolehkan membela diri saat terancam, dibolehkan syuf’ah, membatalkan jual beli karena aib, membatalkan nikah, paksaan dalam membayar hutang, paksaan dalam memberi nafaqah, dibolehkan orang yang kelaparan untuk mengambil harta orang lain dan membunuhnya (pada satu pendapat), dibolehkan memotong pepohonan milik orang lain yang tumbuh hingga sampai ke atas rumah orang lain, 

dibolehkan membelah perut mayit karena telah menelan harta ahli waris, ataupun sebab ada kemungkinan anak bayi dalam perut mayit yang memungkinkan hidup, dan dibolehkan mengusir orang-orang kafir bila mereka tidak menghargai para wanita dan anak-anak, ataupun sebab telah menawan orang-orang Islam.

Dan bila seseorang memiliki bagian 10% dari rumah, yang tidah layak untuk ditempati, sedangkan bagian yang lain milik orang-orang lain, maka dibolehkan menuntut bagian lebih dari rumah tersebut sekalipun memudharatkan teman kongsinya yang lainnya”.

“Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudarat ” artinya, apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil.

Namun, apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan. Contoh lain misalnya dibolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang telah meninggal dunia jika berkemungkinan bayi yang dikandungnya masih hidup dan dapat diselamatkan.

Demikian juga dibenarkan solat dalam keadaan telanjang jika tidak ada penutup kain sama sekali karena dari pada harus mencuri yang dharuratnya lebih tinggi.[33]

Demikian pula pada kasus apabila seorang istri meminta khulu’ dalam masa haidnya, maka hal demikian diperbolehkan dan tidak haram, karena menyegerakan tembusnya khulu’ bagi sang istri tersebut didahulukan dari pada mempertimbangkan kefasidan dalam menunggu lama masa haidnya.[34]

Dalam kasus ini terdapat dua kemudharatan yang bertentangan, yaitu kemudharatan sang istri yang tidak tahan lagi dengan suaminya sehingga ingin cepat diceraikan, dan kemudharatan lama harus menjalani masa iddah karena diceraikan dalam masa haid,

ketika itu syara’ membolehkan khulu’nya dalam arti kata mendahulukan salah satu kemudharatannya sekalipun harus menjalani kemudharatan dalam lama beriddah, karena kemudharatan tidak tahan lagi dengan sang suami lebih berat yang dibuktikannya dengan berani membayar sang suami untuk cepat menceraikannya.
MAKALAH| QAIDAH FIQHIYYAH | "ad-dharar la yuzal bi al-dharar"
BAB III
KESIMPULAN
Pada asalnya, setiap individu berhak melakukan sebuah perkara ataupun aktivitas yang memberi manfaat kepada diri dan umum. Perkara itu semestinya terhindar dari pada melakukan kerusakan dan kezaliman terhadap masyarakat umumnya.

Namun begitu, syariat bertindak menegah seseorang sekiranya individu itu melakukan kemudaratan ke atas orang lain, walaupun dirinya mengalami kemudaratan. Inilah maksud dari qaidah:
الضَّرَرَ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Artinya: “Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan”

Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum umum dalam perhubungan bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam menjalankan hak kepemilikannya dibatasi dengan keharusan tidak mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak tetangganya.

Dalam menerapkan qaidah “al-dharar la yuzal bi al-dharar” disyaratkan kemudharatan tersebut harus seimbang, sehingga bila kemudharatan terjadi pada kasus yang kemudharatannya lebih tinggi bila tidak dilakukan, maka dalam kasus tersebut dibolehkan sekalipun dengan cara memudharatkan yang lain.

Adapun qaidah lain yang berkaitan dengan qaidah ini antara lain:
v الضرورات تبيح المخظورات
v ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها
v ما اجاز لعذر بطل لزواله
v اذا تعارض مفسدتان روعى أعظمها ضررا بارتكاب أخفهما
v الاضطرار لا يبطل حق الغير
v درءالمفاسد اولى من جلب المصالح فاذاتعارض ممفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا

DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.63.
Pondok pasantren islam nirul iman, Dhorurat dalam Perspektif Islam, http:// ppnuruliman.com/ artikel/fikih/228- dhorurat- dalam- perspektif- islam.html, diakses 9 juli 2019.
Abi Al-Qadhi M uhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyyah, jld.I (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th) h.207
QS. Al-An’am ayat 119
QS. Al-Qashash ayat 77
Abdul hamid hakim, as-sullam, juz II, (Jakarta: maktabah as-sa’diyah putra)

FOOTNOTE:
[1] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.63.
[2] pondok pasantren islam nirul iman, Dhorurat dalam Perspektif Islam, http:// ppnuruliman.com/ artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-perspektif-islam.html, diakses 9 juli 2019.
[3] Abi Al-Qadhi M uhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyyah, jld.I (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th) h.207

[4] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.61
[5] Abi Al-Qadhi M uhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyyah, jld.I (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th) h.247.
[6] QS. Al-An’am ayat 119
[7] http:/ /www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-al-anam-ayat-118-119.html, diakses pada 7 juli 2019.

[8] http:/ /www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-al-anam-ayat-118-119.html, diakses pada 7 juli 2019.
[9] QS. Al-Qashash ayat 77
[10] http:/ /www.ibnukatsironline.com/2015/07/tafsir-surat-al-qashash-ayat-76-77.html...,
[11] http:/ /www.ibnukatsironline.com/2015/07/tafsir-surat-al-qashash-ayat-76-77.html...,
[12] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.63.
[13] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.63

[14] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.63.
[15] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.63.
[16] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.63.
[17] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.63
[18] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.63

[19] Abi Al-Qadhi M uhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyyah..., h.257.
[20] Abi Al-Qadhi M uhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyyah..., h.257
[21] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.62.
[22] QS. Al-An’am ayat 119
[23] https:/ /almutaqaddimin.blogspot.com/2012/10/adhdhararu-yuzalukesulitan-itu-harus.html
[24] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.62.

[25] https:/ /almutaqaddimin.blogspot.com/2012/10/adhdhararu-yuzalukesulitan-itu-harus.html, diakses pada 7 juli 2019.
[26] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.64.
[27] Abdul hamid hakim, as-sullam, juz II, (Jakarta: maktabah as-sa’diyah putra), h. 59
[28] Abdul hamid hakim, as-sullam, juz II..., h. 59
[29] https:/ /almutaqaddimin.blogspot.com/2012/10/adhdhararu-yuzalukesulitan-itu-harus.html...,
[30] https:/ /almutaqaddimin.blogspot.com/2012/10/adhdhararu-yuzalukesulitan-itu-harus.html...,

[31] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.64.
[32] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.64
[33] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.64
[34] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.64

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama