6 TIPS MENINGGALKAN SIFAT SOMBONG MENURUT IMAM NAWAWI AL-BANTANI


HIJRAH.COM - Seringkali Kita merasa paling benar sendiri ketika menilai orang lain. Apalagi di era media sosial seperti sekarang ini kita dapat dengan mudah mengomentari semua hal tanpa menyadari bahwa kita sendiri punya banyak masalah. Oleh karenanya, kita harus mau berintrospeksi diri agar terhindar dari akhlak yang buruk.
6 TIPS MENINGGALKAN SIFAT SOMBONG MENURUT IMAM NAWAWI AL-BANTANI

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk memiliki akhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk. Hal ini dikarenakan, orang menilai kita pertama kali dengan perilaku kita. Terlebih lagi manusia sebagai makhluk sosial, harus menjaga hubungan harmonis di dalamnya. Hubungan harmonis itu bisa terjaga apabila setiap individu mempunyai akhlak yang baik.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحسنةَ تَمْحُهَا، وخَالقِ النَّاسَ بخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kamu kepada Allah di manapun kamu berada, dan ikutilah perbuatan yang jelek dengan perbuatan yang baik, maka ia akan menjadi tebusannya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”.

Salah satu akhlak buruk yang harus ditinggalkan adalah sifat Ujub dan Sombong.

Dalam kitab Bidâyatul Hidâyah, Imam Al Ghazali menyebut ujub sebagai penyakit kronis (ad-dâul 'idlâl). Kepada diri sendiri, pengidap penyakit ini merasa mulia dan dan besar diri, sementara kepada orang lain ada kecenderungan untuk meremehkan dan merendahkan.

Biasanya buah dari sikap ini, kata Al Ghazali, adalah obral keakuan: gemar mengatakan aku begini, aku begitu. Seperti yang Iblis la'natullah katakan ketika menolak perintah Allah untuk hormat kepada Nabi Adam, "aku lebih baik dari Adam. Kau ciptakan aku dari api sementara Kau ciptakan dia dari tanah" (QS al-A'raf:12).

Dalam majelis-majelis, pengidap penyakit ujub juga suka meninggikan diri sendiri, serta ingin selalu menonjol dan terdepan. Saat bercakap-cakap atau berdialog umumnya orang seperti ini tak mau kalah dan dibantah.

Dalam kitab yang sama Imam Al Ghazali menerangkan takabbur dan ujub dengan definisi yang mirip. Katanya, orang yang takabur (mutakabbir) gusar ketika menerima nasihat tapi kasar saat memberi nasihat. Siapa saja yang menganggap dirinya lebih baik dari hamba Allah yang lain, itulah mutakabbir. Lantas bagaimana agar bisa keluar dari jeratan ini? Imam al-Ghazali memberikan tips dengan mengembalikannya pada manajemen pikiran.

بل ينبغي لك أن تعلم أن الخير من هو خير عند الله في دار الآخرة، وذلك غيب، وهو موقوف على الخاتمة؛ فاعتقادك في نفسك أنك خير من غيرك جهل محض، بل ينبغي ألا تنظر إلى أحد إلا وترى أنه خير منك، وأن الفضل له على نفسك

"Ketahuilah bahwa kebaikan adalah kebaikan menurut Allah di akhirat kelak. Itu perkara ghaib (tidak diketahui) dan karenanya menunggu peristiwa kematian. Keyakinan bahwa dirimu lebih baik dari selainmu adalah kebodohan belaka. Sepatutnya kau tidak memandang orang lain kecuali dengan pandangan bahwa ia lebih baik ketimbang dirimu dan memiliki keutamaan di atas dirimu."

Ujub dan takabur adalah tentang dua entitas antara diri sendiri dan orang lain. Yang ditekankan adalah bagaimana yang pertama menata pikiran agar terhindar dari perasaan lebih istimewa dari yang kedua.

Bagaimana kita bisa menjauhi sifat tercela ini?

Imam Nawawi Al Bantani dalam kitabnya Nashoihul Al Ibad, mengutip petuah Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani untuk menjauhi sifat sombong. Adapun petuahnya ialah:

Pertama, ketika kita bertemu orang lain maka pastikan kita berkata bahwa orang ini lebih baik dari pada kita. Katakanlah pada diri kita, bisa jadi orang ini lebih baik di sisi Allah SWT dari pada kita dan dia lebih tinggi derajatnya.

Kedua, jika pun orang lain itu adalah anak kecil, maka katakan dalam diri kita bahwa ia lebih baik dari kita karena ia belum bermaksiat kepada Allah SWT. Sedangkan kita sudah banyak bermaksiat kepada-Nya.

Ketiga, jika yang kita temui adalah orang yang sudah tua, maka katakan bahwa orang ini sudah beribadah lebih banyak kepada Allah SWT dari pada kita.

Keempat, jika yang kita temui adalah orang yang punya ilmu, maka katakan pada diri sendiri bahwa orang ini sudah mendapat apa yang belum kita dapatkan dan telah mengetahui apa yang belum kita tahu. Secara otomatis dia mampu beramal dengan menggunakan ilmunya lebih banyak dari kita.

Kelima, jika kita bertemu dengan orang kurang ilmunya, maka katakan pada diri kita bahwa orang ini bermaksiat kepada Allah SWT karena ketidaktahuannya. Sedang kita sering bermaksiat padahal sudah tahu.

Keenam, jika kita berjumpa dengan orang Non-Muslim, maka katakanlah, “Aku tidak tahu, mungkin saja nantinya ia masuk islam, kemudian mempunyai amal baik di akhir hayatnya, dan mungkin saja aku akan menjadi kafir, kemudian aku mempunyai amal buruk di akhir hayatku.

Kita harus selalu ingat bahwa ketika jari telunjuk kita arahkan kepada saudara kita yang kita anggap salah, tidak suci, lebih berdosa, kurang beriman, dan dianggap tidak pantas masuk surga sejatinya ada empat jari lain yang mengarah ke diri kita sendiri.

Hal ini menunjukkan bahwa jangan sampai kita rajin dan sibuk melihat dan mengurusi kekurangan orang lain hingga membuat kita lupa berkaca pada diri sendiri yang juga penuh dengan kekurangan.

Sumber: Laduni.id

Demikianlah ulasan singkat tentang hukum merasa paling benar. Semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama