HIJRAH.COM - Seringkali Kita merasa paling benar sendiri ketika
menilai orang lain. Apalagi di era media sosial seperti sekarang ini kita dapat
dengan mudah mengomentari semua hal tanpa menyadari bahwa kita sendiri punya
banyak masalah. Oleh karenanya, kita harus mau berintrospeksi diri agar
terhindar dari akhlak yang buruk.
Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk memiliki akhlak yang baik dan menjauhi akhlak
yang buruk. Hal ini dikarenakan, orang menilai kita pertama kali dengan
perilaku kita. Terlebih lagi manusia sebagai makhluk sosial, harus menjaga
hubungan harmonis di dalamnya. Hubungan harmonis itu bisa terjaga apabila
setiap individu mempunyai akhlak yang baik.
Nabi
Muhammad Saw bersabda:
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا
كُنْتَ وأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحسنةَ تَمْحُهَا، وخَالقِ النَّاسَ بخُلُقٍ
حَسَنٍ
“Bertakwalah
kamu kepada Allah di manapun kamu berada, dan ikutilah perbuatan yang jelek
dengan perbuatan yang baik, maka ia akan menjadi tebusannya dan pergaulilah
manusia dengan akhlak yang baik”.
Salah
satu akhlak buruk yang harus ditinggalkan adalah sifat Ujub dan Sombong.
Dalam
kitab Bidâyatul Hidâyah, Imam Al Ghazali menyebut ujub sebagai penyakit kronis
(ad-dâul 'idlâl). Kepada diri sendiri, pengidap penyakit ini merasa mulia dan
dan besar diri, sementara kepada orang lain ada kecenderungan untuk meremehkan
dan merendahkan.
Biasanya
buah dari sikap ini, kata Al Ghazali, adalah obral keakuan: gemar mengatakan
aku begini, aku begitu. Seperti yang Iblis la'natullah katakan ketika menolak
perintah Allah untuk hormat kepada Nabi Adam, "aku lebih baik dari Adam.
Kau ciptakan aku dari api sementara Kau ciptakan dia dari tanah" (QS
al-A'raf:12).
Dalam
majelis-majelis, pengidap penyakit ujub juga suka meninggikan diri sendiri,
serta ingin selalu menonjol dan terdepan. Saat bercakap-cakap atau berdialog
umumnya orang seperti ini tak mau kalah dan dibantah.
Dalam
kitab yang sama Imam Al Ghazali menerangkan takabbur dan ujub dengan definisi
yang mirip. Katanya, orang yang takabur (mutakabbir) gusar ketika menerima
nasihat tapi kasar saat memberi nasihat. Siapa saja yang menganggap dirinya
lebih baik dari hamba Allah yang lain, itulah mutakabbir. Lantas bagaimana agar
bisa keluar dari jeratan ini? Imam al-Ghazali memberikan tips dengan
mengembalikannya pada manajemen pikiran.
بل ينبغي لك أن تعلم أن الخير
من هو خير عند الله في دار الآخرة، وذلك غيب، وهو موقوف على الخاتمة؛ فاعتقادك في
نفسك أنك خير من غيرك جهل محض، بل ينبغي ألا تنظر إلى أحد إلا وترى أنه خير منك،
وأن الفضل له على نفسك
"Ketahuilah
bahwa kebaikan adalah kebaikan menurut Allah di akhirat kelak. Itu perkara
ghaib (tidak diketahui) dan karenanya menunggu peristiwa kematian. Keyakinan
bahwa dirimu lebih baik dari selainmu adalah kebodohan belaka. Sepatutnya kau
tidak memandang orang lain kecuali dengan pandangan bahwa ia lebih baik
ketimbang dirimu dan memiliki keutamaan di atas dirimu."
Ujub
dan takabur adalah tentang dua entitas antara diri sendiri dan orang lain. Yang
ditekankan adalah bagaimana yang pertama menata pikiran agar terhindar dari
perasaan lebih istimewa dari yang kedua.
Bagaimana
kita bisa menjauhi sifat tercela ini?
Imam
Nawawi Al Bantani dalam kitabnya Nashoihul Al Ibad, mengutip petuah Syekh Abdul
Qodir Al-Jaelani untuk menjauhi sifat sombong. Adapun petuahnya ialah:
Pertama, ketika kita bertemu orang lain maka pastikan kita
berkata bahwa orang ini lebih baik dari pada kita. Katakanlah pada diri kita,
bisa jadi orang ini lebih baik di sisi Allah SWT dari pada kita dan dia lebih
tinggi derajatnya.
Kedua, jika pun orang lain itu adalah anak kecil, maka
katakan dalam diri kita bahwa ia lebih baik dari kita karena ia belum
bermaksiat kepada Allah SWT. Sedangkan kita sudah banyak bermaksiat kepada-Nya.
Ketiga, jika yang kita temui adalah orang yang sudah tua,
maka katakan bahwa orang ini sudah beribadah lebih banyak kepada Allah SWT dari
pada kita.
Keempat, jika yang kita temui adalah orang yang punya ilmu,
maka katakan pada diri sendiri bahwa orang ini sudah mendapat apa yang belum
kita dapatkan dan telah mengetahui apa yang belum kita tahu. Secara otomatis
dia mampu beramal dengan menggunakan ilmunya lebih banyak dari kita.
Kelima, jika kita bertemu dengan orang kurang ilmunya, maka
katakan pada diri kita bahwa orang ini bermaksiat kepada Allah SWT karena
ketidaktahuannya. Sedang kita sering bermaksiat padahal sudah tahu.
Keenam, jika kita berjumpa dengan orang Non-Muslim, maka
katakanlah, “Aku tidak tahu, mungkin saja nantinya ia masuk islam, kemudian
mempunyai amal baik di akhir hayatnya, dan mungkin saja aku akan menjadi kafir,
kemudian aku mempunyai amal buruk di akhir hayatku.
Kita
harus selalu ingat bahwa ketika jari telunjuk kita arahkan kepada saudara kita
yang kita anggap salah, tidak suci, lebih berdosa, kurang beriman, dan dianggap
tidak pantas masuk surga sejatinya ada empat jari lain yang mengarah ke diri
kita sendiri.
Hal
ini menunjukkan bahwa jangan sampai kita rajin dan sibuk melihat dan mengurusi
kekurangan orang lain hingga membuat kita lupa berkaca pada diri sendiri yang
juga penuh dengan kekurangan.
Demikianlah
ulasan singkat tentang hukum merasa paling benar. Semoga bermanfaat.
Wallahu
A’lam.
Tags:
KHAZANAH