HIJRAH.COM-Lebaran
atau hari raya merupakan hari yang menggembirakan bagi umat Islam, baik Idul
Fitri maupun Idul Adlha. Pada momen tersebut, umat Islam diperintahkan
melaksanakan shalat Ied.
Selain
daripada itu, ada banyak amalan-amalan lainnya yang hukumnya sunnah untuk
dilakukan. Diantaranya yang berkaitan dengan makanan.
Imam
Asy-Syairazi (w. 476 H) didalam Al-Muhadzdzab Fi Fiqhil Imam al-Syafi’i
berkata:
والسنة ان يأكل في يوم الفطر
قبل الصلاة ويمسك يوم النحر حتى يفرغ من الصلاة لما روى بريدة رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ ” كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يخرج يوم
الفطر حتى يطعم ويوم النحر لا يأكل حتي يرجع فيأكل من نسيكته ” والسنة أن يأكل
التمر ويكون وترا لِمَا رَوَى أَنَسٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” كَانَ لَا يَخْرُجُ يوم الفطر حتى يأكل تمرات
ويأكلهن وترا
“Sunnah
makan pada lebaran Fitri sebelum melaksanakan shalat dan sunnah menahan diri
(tidak makan) pada lebaran Nahr (idul Adlha) hingga selesai dari shalat, karena
ada riwayat Buraidah ra. “Nabi SAW tidak keluar pada Idul Fitri hingga makan
sesuatu, sedangkan pada Idul Adlha tidak makan sesuatu pun hingga kembali, maka
beliau makan dari hewan kurbannnya”. Sunnah
pula memakan kurma (tamr) sejumlah bilangan ganjil, karena ada riwayat Anas ra.
bahwa Rasulullah SAW tidak keluar pada Idul Fitri hingga beliau makan beberapa
ganjil kurma”.
Hadits
Buraidah diatasd diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah,
Ad-Daruquthni dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Hadits Shahih”. Sedangkan hadits
Anas diriwayatkan oleh Al-Bukhari:
Bila
tidak memungkinkan untuk makan sesuatu sebelum melaksanakan shalat Idul Adlha
saat masih berada dirumah, maka boleh makan dimana pun selama belum pelaksanaan
shalat. Sebagaimana penjelasan Imam Asy-Syafi’i didalam kitab Al-Umm:
وَنَحْنُ نَأْمُرُ مَنْ أَتَى
الْمُصَلَّى أَنْ يَطْعَمَ وَيَشْرَبَ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إلَى الْمُصَلَّى،
وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ أَمَرْنَاهُ بِذَلِكَ فِي طَرِيقِهِ، أَوْ الْمُصَلَّى إنْ
أَمْكَنَهُ، وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَيُكْرَهُ لَهُ
أَنْ لَا يَفْعَلَ، وَلَا نَأْمُرُهُ بِهَذَا يَوْمَ الْأَضْحَى، وَإِنْ طَعِمَ
يَوْمَ الْأَضْحَى فَلَا بَأْسَ عَلَيْهِ.
“Kami
memerintahkan orang yang datang ke mushalla (tempat shalat ied) untuk makan dan
minum sebelum pergi dipagi hari menuju mushalla, jika tidak bisa, kami
perintahkan makan diperjalanannya, atau di mushalla jika memungkinkan, jika
tidak bisa juga, maka tidak ada tanggungan apapun (tidak apa-apa) tetapi
dimakruhkan baginya. Kami tidak memerintahkan yang demikian ini pada momen Idul
Adlha, namun jika makan pada Idul Adlha maka juga tidak apa-apa”.
Perbedaan
antara Idul Fitri dan Idul Adlha berkaitan dengan makan tersebut karena di
momen Idul Fitri ada kesunnahan bershadaqah sebelum shalat sehingga disunnahkan
makan untuk bersama-sama orang-orang miskin, sedangkan shadaqah pada Idul Adlha
itu dilakukan setelah shalat (bagian dari berkorban) maka disunnahkan
menyesuaikan dengan mereka.
Selain
itu, karena sebelum Idul Fitri diwaktu tersebut diharamkan makan maka di momen
Fitri disunnahkan makan untuk membedakan dengan hari-hari sebelumnya (bulan
puasa), sementara pada Idul Adlha, sebelumnya tidak diharamkan makan maka
diakhirkan makan sesuatu sebagai pembeda.
Demikian
itu yang dijelaskan oleh pengarang kitab Al-Hawi dan Al-Bayan, sebagaimana
dikutip didalam Takmilah Al-Majmu’ oleh Syaikh Muhammad Najib Al-Muthi’i.