Terjemahan Kitab Khamsatun Mutun - Matan Jauharah Tauhid - Makna Pesantren | Nama-Nama Allah Dan Sifat Sifat Yang Jaiz Dan Mustahil Bagi Allah | Nazham Ke 37 s/d 47 (Kitabkuning90)

SIFAT-SIFAT MUSTAHIL DAN JAIZ BAGI ALLAH
Terjemahan Kitab Khamsatun Mutun - Matan Jauharah Tauhid - Makna Pesantren | Nama-Nama Allah Dan Sifat Sifat Yang Jaiz Dan Mustahil Bagi Allah
Kitab Matan Jauharah Tauhid
وَعِنْدَنَا أَسْمَـاؤُهُ الْعَظِيْمَـهْ كَذَا صِفَاتُ ذَاتِـهِ قَدِيْمَـةْ
"Dan di sisi kita (Ahlussunnah wal jama’ah)([1]), (Bermula) nama-nama-Nya (Allah) yang agung (ia nama-nama) (tsābit) seperti demikian (nama) (itu) sifat-sifat Zat-Nya (Allah) (itu) Qadīm (ia nama dan sifat)”.

وَاخْتِيْرَ أَنَّ أَسْمَـاهُ تَوْقِيْفِيَـةْ كَذَا الصِّفَاتُ فَاحْفَظْ السَّمْعِيَّةْ
“Dan dipilihkan (akan): Bahwa sungguh nama-nama Nya (Allah) (itu) ketetapan (syara‘)([2]), (tsābit) seperti demikian (nama-nama Allah) itu sifat-sifat, maka hafal (oleh mu) (akan) yang dibangsakan kepada dalil sam’ī([3])".

([1]) Yang dimaksud “kita” tersebut adalah Ahli kebenaran yaitu Ahli sunnah wa al-jama’ah, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.59)
([2]) Makna “tauqīfiyyah” adalah ketetapan dari syara’, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.60) 
([3]) Yang dimaksud “Al-sam’iyyah” adalah pembahasan nama dan sifat Allah yang didasari dalil sam’ī, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.61)

Zharaf apabila didahulukan berfaedah hashar, berarti hanya ulama Ahlussunnah yang berpendapat bahwa nama dan sifat Allah adalah qadîm. Maksud qadîm pada nama adalah qadîm pada penamaan-Nya.

وَكُلُّ نَصِّ أَوْهَـمَ التَّشْبِيْهَا أَوِّلْهُ اَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيْـهَا
"Dan (Bermula)([1]) Tiap-tiap nash yang terwaham (ia nash) (akan) keserupaan (itu) niscaya palingkanlah (oleh mu) (akannya Nash) atau serahkanlah (oleh mu) (kepada Allah) dan maksudkanlah([2]) (oleh mu) (akan) mensucikan (Allah)".

([1])Kullu” dibaca marfū’ I’rābnya sebagai mubtadā dan khabarnya adalah jumlah  fi’ilawwilhu”, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.61)
([2])Rum” bermakna “Uqshud” dari kata “qashad” artinya qasadkanlah/ maksudkanlah, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.61)

Yang dimaksudkan dengan nash dalam bait di atas adalah Al-Qur’ân dan Hadis.
التأويل: حمل النص على خلاف ظا هره مع بيان المعنى المراد 
"Mengartikan nash sebalik yang tersurat beserta menjelaskan makna yang dimaksudkan".
Contoh:   يخافون ريّهم من فوقهم... "Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas...". (Q.S. an-Nahl, 16:50).
Kata-kata فوق menurut pendapat ini dita'wilkan menjadi makna kekuasaan.
التفويض: صرف اللفظ عن ظاهره ففوض المراد الموهم اليه تعالى. 
"Memalingkan arti nash sebalik yang tersurat, dan arti yang masih samar-samar diserahkan pada Allah".
Contoh: Kata-kata فوق pada ayat tersebut dipalingkan kepada selain makna tersurat yaitu di atas, dan artinya yang masih samar-samar diserahkan kepada Allah. Ulama salaf adalah ulama yang hidup sebelum tahun 500 H dan ulama khalaf adalah ulama yang hidup setelah tahun 500 H.

وَنَزِّهِ الْقُـرْآنَ اَىْ كَلاَمَـهْ  عَنِ الْحُدُوْثِ وَاحذَرِ انْتِقَامَـهْ
"Dan sucikanlah (oleh mu) (akan) Al-Qur'an, artinya (akan) Kalam-Nya (Allah) dari sifat baharu, dan takutlah (oleh mu) (akan) siksa-Nya (Allah)”.

وَكُلُّ نَصٍّ لِلْحُـدُوْثِ دَلاَّ    اِحْمِلْ عَلَى الْلَفْظِ الَّذِىْ قَدْ دَلَّ
“Dan (Bermula) tiap-tiap Nash yang menunjuki (ia Nash) di atas([1]) baharu, (itu) niscaya tanggungkanlah (oleh mu) diatas lafadh (Al-Quran) allazi yang sungguh menunjuki (ia lafadh allazi)([2])".

([1])Li” pada kata “lil huduts” adalah huruf jar bermakna “’alā”= di atas, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.64)
([2]) Alif pada kata “dalla” adalah alif ithlāq, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.64)

وَيَسْتَحِيْلُ ضِدُّ ذِى الصِّفَاتِ    فِى حَقِّـهِ كَالْكَوْنِ فِى الْجِـهَاتِ
"Dan Mustahil(lah) lawan ini sifat-sifat (yang wājib) pada hak-Nya (Allah), seperti keberadaan pada arah-arah tertentu".
Maksud kata ضدّ adalah makna lughawî yang mencakup mawjûd dan ma‘dûm, bukan makna i¡tilahî yang khusus kepada yang mawjûd.

وَجَائِزٌ فِى حَقِّـهِ مَا أَمْكَنَا    إِيْجَادًا إِعْدَامًا كَرِزْقِهِ الْغِـنَا
"Dan (Bermula)([1]) ma/segala sesuatu yang mungkin (ia ma) (nisbah)([2]) dijadikan dan ditiadakan (itu) sifat yang Jāiz/harus pada hak-Nya (Allah), seperti memberi rizki-Nya (Allah) (akan) orang kaya".

([1])Jāiz” di-I’rāb sebagai khabar muqaddam, dan “mā amkana” sebagai mubtadā yang diakhirkan, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.65)
([2])Ijādan I’dāman” di-I’rāb sebagai tamyīz, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.65).

Lafaz رزق jika dibaca dengan (fatah ra) bermakna memberi rizki dan jika dibaca dengan (kasrah ra) bermakna rizki yang diberikan.

فَخَالِقٌ لِعَبْدِهِ وَمَا عَمِـلْ    مُوَفِّقٌ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَصِـلْ
"Maka (bermula dia Allah)([1]) (itu) yang maha pencipta bagi hamba-Nya (Allah) dan perbuatannya([2]) (hamba), dan([3]) maha memberi taufiq bagi man/siapa saja yang dikehendaki (ia Allah) (akan) bahwa sampai (ia hamba)”.

وَخَاذِلٌ لِمَنْ أَرَادَ بُعْـدَهْ    وَمُنْـجِزٌ لِمَنْ أَرَادَ  وَعْـدَهْ
“Dan (bermula Dia Allah) (itu) yang maha memberi kehinaan bagi man/siapa saja yang dikehendaki Ia Allah (akan) jauhnya (man) dan (bermula Dia Allah) (itu) yang maha memberi bagi man/siapa saja yang dikehendaki (Ia Allah) (akan) beri janjinya (man)".


([1])KhāliqI’rābnya sebagai khabar bagi mubtadā yang sudah dibuang, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.66)
([2])Mamashdariyyah beserta fi’il didepannya dipalinhkan menjadi mashdar, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.66)
([3])Muwaffiq” di’athafkan dengan taqdīr huruf  ‘athaf kepada “khāliq”, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.67).

التوفيق: خلق قدرة الطاعة في العبد 
"Menciptakan kesanggupan berbuat ta‘at terhadap hamba".
الخذلان: خلق القدرة المعصية فى العبد
"Menciptakan kesanggupan berbuat maksiat terhadap hamba".

فَوْزُ السَّعِيْدِ عَنْدَهُ فِيْ اْلأَزَلِ    كَذَا الشَّـقِيُّ ثُمَّ لَمْ يَنْتَقِـلِ
“(Bermula) kemenangan orang yang bahagia di sisi-Nya (Allah) (itu tsābit) pada azalī, (tsābit) seperti demikian (orang yang bahagia) (itu) orang yang celaka, kemudian tidak berpaling([1]) (ia demikian keadaan)".


([1])Yantaqil” bermakna “Yuĥawwil”=berpaling, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.68).

وَعِنْدَنَا لِلْعَبْدِ كَسْبٌ كُلِّفَ   بِهِ وَلَكِنْ لَمْ يُؤَثِّـرْ فَاعْـرِفَا
"Dan di sisi kita (Ahlussunnah wal jama’ah), (tsābit) bagi hamba (itu) usaha yang dibebankan (akannya hamba) dengannya (usaha) dan tetapi([1]) tidak berefek (ia usaha), maka ketahuilah oleh mu”.

فلَيْسَ مَجْبُوْرًا وَلاَ اخْتِـيَارَا   وَلَيْسَ كُلاَّ يَفْعَـلُ اخْتِـيَارَا
“Maka tiadalah (ia hamba) (itu) yang dipaksakan dan tiada (ia hamba) (itu) berusaha sendiri, Dan tidaklah (hamba) (akan) tiap-tiap perbuatan([2]) (itu) berbuat (ia hamba) (hal keadaannya hamba itu) berikhtiar”.

فَإِنْ يُثِبْنَا فَبِمَحْضِ الْفَضْلِ    وَإِنْ يُعَذِّبْ فَبِمَحْضِ الْعَـدْلِ
“Maka jika memberi pahala (Ia Allah) (akan) kita, niscaya maka (bermula pahala tersebut)([3]) (itu tsābit) dengan sebab semata-semata karunia dan jika mengazab (Ia Allah), niscaya maka (bermula siksaan tersebut) (itu tsābit) dengan sebab semata-mata keadilan".

([1])Waw” adalah huruf ‘athaf dan “lakin” ssebagai huruf  ibtidā, (Alkawākib al-durriyyah syarh mutammimah al-jurūmiyyah, jld.II, hal.231)
([2])Kullanmaf’ūl muqaddam bagi “yaf’alu”,(Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.71)

([3])Bi maĥdhi” adalah jar majrūr menjadi khabar bagi mubtadā yang sudah dibuang, dasarnya: “fa huwa bi maĥdhi”,(Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.71).

Maksud pengarang pada kata-kata فليس مجبورا ولا اختـيار untuk membantah paham Jabariyyah yang menganggab sepak terjang kita didunia ini bagaikan debu yang berterbangan yang sama sekali tidak ada pilihan dari kita.

Maksud pengarang pada kata-kata وليس كلا يفعـل اختـيارا untuk membantah paham Mu‘tazilah yang mengatakan, bahwa sesunnguhnya perbuatan si hamba tidak ada hubungannya dengan Allah, hamba sendiri yang menciptakan segala perbuatan yang hendak dilakukannya

الفضل العدل: الاعطاء عن اختيار كامل لا عن ايجاب 
"Pemberian yang terjadi semata-mata karena ikhtiar bukan karena kewajiban".
العدل المحض: وضع الشيء في محلّه من غير اعتراض على الفاعل
"Meletakkan sesuatu pada tempatnya tanpa pertentangan terhadap orang yang melakukannya".

وَقَوْلُهُمْ إِنَّ الصَّلاَحَ وَاجِبُ    عَلَيْـهِ زُوْرٌ مَا عَلَيْهِ وَاجِبُ
"Dan (Bermula) Pendapat mereka (Mu‘tazilah) (akan): bahwa sungguh berbuat baik (itu) waji di atas-Nya (Allah) (itu) kesalahan, tiada di atas-Nya (Allah) (itu) wājib (ia berbuat baik)”.

أَلَمْ يَرَوْا إِيْلاَمَـهُ اْلأَطْفَـالَ    وَ شِبْهِـهَا فَحَـاذِرِ الْمِحَـالَ
“Adakah tidak melihat oleh mereka (kaum mu’tazilah) (akan) memberi sakit-Nya (Allah) (akan) anak-anak, dan seumpamanya (anak-anak), maka takutlah (oleh mu) (akan) siksa([1])".

([1])Miĥāl” bermakna “’iqāb”=siksaan, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.74).

Hikmah diberikan penyakit terhadap anak-anak adalah untuk diberikan pahala bagi kedua orang tuanya, karena penyakit merupakan musibah yang dideritai oleh anak-anak menyebabkan musibah kepada orang tua juga. Maka bila orang tua bersabar terhadap penyakit yang diderita pada anaknya, pasti ia akan diberikan pahala yang banyak. Imam Haramain berkata:
شدائد الدنيا مما يلزم العبد الشكر لأنها نعم حقيقة
"Kepedihan di dunia adalah salah satu dari sekian banyak hal yang harus disyukuri, karena pada hakikatnya itu merupakan nikmat".

وَجَائِزٌ عَلَيْهِ خَـلْقٌ الشَّـرِ     وَالْخَيْرِ كَاْلإِسْلاَمِ وَجَهْلِ الْكُفْرِ
"Dan (Bermula)([1]) menciptakan keburukan dan kebaikan (itu) harus (ia cipta) di atas-Nya (Allah), seperti islam dan bodoh kekafiran".

وَوَاجِبٌ إِيْمَانُـنَا بِالْقَـدْرِ      وَبِالْقَـضَا كَمَا أَتَى فِى الْخَبْرِ
"Dan (Bermula) mengimani kita dengan Qadar dan dengan Qadha’ (itu) wājib (ia iman), sebagai mana ma/keterangan yang datang (ia ma/sesuatu) dalam Hadis".

([1])Jaiz” di-I’rāb sebagai khabar muqaddam, dan “khalqu” adalah mubtadā  yang diakhirkan, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.74).

Diantara sekian banyak hadith yang memerintahkan untuk beriman pada qa«a dan qadar adalah:
عن على كرم الله وجهه أنه قال قال رسول الله لا يؤمن عبد حتى يؤمن بأربعة: يشهد ان لا اله إلا الله وأنى رسول الله بعثنى بالحق ويؤمن بالبعث بعد الموت ويؤمن بالقدر خيره وشره حلوه ومره.
"Hadith dari ‘Ali k.w. beliau berkata, Nabi besabda, seorang hamba tidak sah Iman, sehingga ia percaya pada empat macam ini: Besaksi tiada Tuhan selain Allah, dan bahwasanya Aku ini utusan Allah yang diutuskan dengan sebenar-benarnya, percaya pada kebangkitan setelah mati, dan Qadar (kebaikan dan kejelekan, ke senangan dan kesusahan)".
Dalam hadith lain Nabi bersabda:
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسوله وتؤمن بالقدر خيره وشره حلوه ومره 
" Iman adalah, Engkau percaya kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab suci, Rasul-rasul-Nya dan Qadar (kebaikan dan kejelekan, ke senangan dan kesusahan)".
القدر: ايجاد الله الاشياء على قدر مخصوص و وجه معيّن اراد ه تعالى 
"Allah menciptakan terhadap segala sesuatu kepada suatu bentuk dan sifat sesuai dengan iradat".
القضاء: ارادة الله الاشياء فى الازالى على ما هى عليه
"Kehendak Allah atas sesuatu pada azalî untuk bersifat sesuatu dengannya".

وَ مِنْهُ أَنْ يُنْظَـرَ بِاْلأَبْصَارِ   لَكِنْ بِلاَ كَيْفٍ وَلاَ انْحِصَارِ
"Dan (tsābit) sebagian dari padanya ( yang jāiz/harus) (itu) bahwa dilihatkan (akan-Nya Allah) dengan penglihatan mata, tetapi dengan tanpa keadaan dan tanpa batasan”,

لِلْمُؤْمِنِيْنِ إِذْ بِجَائِـزٍ عُلِّقَتْ   هَذَا وَلِلْمُخْتَـارِ دُنْيَا ثَبَتَتْ
“(dilihatkan) bagi orang-orang mukmin karena dikaitkan (akannya melihat Allah) dengan sesuatu yang harus/ jāiz. (Fahamilah oleh mu)([1]) (akan) ini. Dan bagi orang-orang yang dipilihkan, sebut (ia melihat Allah) pada dunia ".

([1])hadzā” di-I’rāb sebagai maf’ūl bagi fi’il yang sudah dibuang, yaitu: “Ifham”=fahamilah oleh mu, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.79).

Menurut ilmu mantiq, pada nadham ini dibuang muqaddimah sughra dan natijah, taqdirnya:
رؤية الله علّقت على امر ممكن وكل ما علّق على الممكن لا يكون إلا ممكنا فرؤية الله لا تكون إلا ممكنا

وَمِنْهُ إِرْسَالُ جَمِـيْعِ الرُّسْلِ     فَلاَ وُجُوْبَ بَلْ بِمَحْضِ الْفَضْلِ
"Dan (tsābit) sebagiannya (yang jāiz) (itu) mengutus sekalian Rasul, maka tiada jenis wājib, tetapi (bermula ia mengutus Rasul itu tsābit)([1]) dengan semata-mata karunia”.

لَكِنْ بِذَا إِيْـمَانُنَا قَدْ وَجَبَا   فَدَعْ هَوَى قَوْمٍ بِهِمْ قَدْ لَعِبَا
“(akan) tetapi dengan ini (masalah mengutus Rasul) (Bermula) iman kita (itu) sungguh wājib (ia iman), maka tinggalkanlah (oleh mu) (akan) keinginan kaum yang dengan mereka Rasul sungguh bermain-main([2]) (ia kaum)".

([1])Bi maĥdhi” adalah jumlah jar majrūr yang di-I’rāb sebagai khabar bagi mubtadā yang sudah dibuang yaitu: “fa huwa bi maĥdhi”, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.80)
([2]) Alif pada kata “wajaba” dan “la’iba” adalah alif ithlāq, (Tuĥfah al-murīd ‘alā Jauharah al-tauhīd, hal.80).

Mohon perbaikannya sobat bila ada kekeliruan, kritik dan sarannya kami tunggu di kolom komentar. Selanjutnya>>
Terimakasih..., semoga bermanfaat.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama