HIJRAH.COM - Dalam kitab fiqh,
salat jamaah mempunya porsi pembahasan yang cukup panjang. Banyak hal mendetail
yang dibahas dan diatur di dalamnya. Salah satunya yaitu mengenai aturan
barisan salat (shaf) ketika makmumnya terdiri dari golongan laki-laki dan
perempuan.
Secara umum, aturan
shaf (barisan salat) yang utama adalah jamaah perempuan berada di
belakang jamaah laki-laki. Sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi dalam kitabnya
yang berjudul Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzahb:
إِذَا
صَلَّتِ النِّسَاءُ مَعَ الرِّجَالِ جَمَاعَةً وَاحِدَةً وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا
حَائِلٌ فَأَفْضَلُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا لِحَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) “خَيْرُ صُفُوْفِ
الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا
وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا” رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Ketika para perempuan salat jamaah bersama laki-laki
tanpa adanya pemisah, maka yang lebih utama bagi perempuan adalah yang paling
belakang. Berdasarkan hadis riwayat abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: Yang
paling utama bagi bagi barisan laki-laki adalah yang paling awal dan yang
paling buruk adalah yang terakhir. Yang paling utama bagi bagi barisan
perempuan adalah yang paling akhir dan yang paling buruk adalah yang aling awal.”[1]
Namun realitanya, banyak sekali ditemukan tempat
jamaah perempuan yang sejajar dengan jamaah laki-laki beralasan sudah aman dari
fitnah dengan adanya satir (penutup) yang berupa kelambu atau semacamnya.
Mendukung alasan tersebut, maka Syekh Wahabh Az-Zuhaily pernah menjelaskan:
يَقِفُ
خَلْفَ الْإِمَامِ الرِّجَالُ ثُمَّ بَعْدَهُمُ الصِّبْيَانُ ثُمَّ بَعْدَهُمُ
النِّسَاءُ فَالنِّسَاءُ يَكُنَّ فِيْ آخِرِ الصُّفُوْفِ اِتِّقَاءً لِلْفِتْنَةِ
وَإِذَا ضَاقَ المُصَلَّى عَلَيْهِنَّ اُتُّخِذَ لَهُنَّ مُصَلَّى أَخَرَ
تَوَسُّعَةً لِلْأَوَّلِ وَمُوَازِياً لِصُفُوْفِ الرِّجَالِ فَإِنَّهُ يَجُوْزُ
لِلْحَاجَةِ تَنْزِيْلاً لَهَا مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ كَمَا نَصَّ عَلَى ذَلِكَ
الْفُقَهَاءُ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ وَيَكُوْنُ ذَلِكَ
بِضَوَابِطِهِ الَّتِيْ تَمْنَعُ تَقَدُّمَ النِّسَاءِ عَلَى الرِّجَالِ وَعَدَمَ
رُؤْيَةِ بَعْضِهِمِ الْبَعْضَ الآخَرَ أَثْنَاءَ الصَّلَاةِ فَلَابُدَّ مِنْ
وُجُوْدِ الْفَوَاصِلِ الثَّابِتَةِ بَيْنَ مُصَلَّى الرِّجَالِ وَمُصَلَّى
النِّسَاءِ
“Yang berdiri di belakang imam adalah laki-laki, anak
kecil, kemudian perempuan. Keberadaan perembuan berada di akhir barisan untuk
menghindari fitnah. Namun ketika tempat salat sempit, maka boleh bagi golongan
perempuan mengisi tempat lain dan menyesuaikan pada barisan laki-laki. Hal
tersebut diperbolehkan dalam rangka hajat (kebutuhan) yang diposisikan seperti
saat darurat, sebagaimana penjelasan para pakar fiqh. Namun tetap ada beberapa batasan, di antaranya tidak
diperbolehkan barisan perempuan lebih maju daripada laki-laki dan mereka tidak
bisa saling memandang. Sehingga diharuskan adanya pemisah antara tempat salat
laki-laki dan tempat salat perempuan.”[2]
Penjelasan di atas berlaku ketika keadaan menuntut
untuk menjajarkan antara shaf perempuan dan laki-laki karena sebuah kebutuhan
tertentu. Namun apabila tidak ada kebutuhan, maka perempuan tetap dianjurkan
berada di belakang. Apabila masih ada di samping dan sejajar dengan shaf
laki-laki, maka sebagian ulama ada yang mengatakan dapat menggugurkan keutamaan
(fadhilah) jamaah, dan ada juga yang mengatakan hanya mengugurkan keutamaan
barisan (shaf).[3]
WaAllahu a’lam...!!
[1] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzahb, vol. IV hal. 192, CD.
Maktabah Syamilah.
[2] Fatawa Muashirah, hal. 121, cet. Darul Fikr.
[3] Hasyiyah
At-Tarmasi, vol. III hal. 62. Cet. Darul Minhaj.
Tags:
HUKUM