mayat terapung di laut |
SERAMBINEWS.COM,
BANDA ACEH –
“Saya tak ada pilihan. Sebab saya tak ada pelampung. Saya betumpang hidup
dengan dia, sampai nelayan ambil.”
Tiba-tiba
suara Erni Juita yang berdialek melayu itu terhenti. Matanya mulai berkaca.
Seketika sebulir air mata jatuh dari pipinya. Ia menunduk sambil mengusap muka.
Bisu. Hanya terdengar tangis kecil dalam dekapan tangannya.
Perempuan
asal Bireuen ini seakan merasa bersalah karena menggunakan mayat sebagai
pelampung ketika kapal kayu yang ditumpanginya karam.Ia menceritakan kejadian
itu kepada Serambinews.com,
seusai disambut oleh Wakil Gubernur Aceh Muzaki Manaf di Ruang VVIP Bandara
Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM), Blangbintang, Aceh Besar, Selasa
(22/9/2015). Perempuan berusia 26 tahun
ini adalah satu dari 12 warga Aceh yang selamat dalam tragedi kapal tenggelam
di Sabar Bernam, Malaysia, 3 September 2015 saat hendak pulang ke Aceh.
Korban
meninggal hingga hari ini mencapai 63 orang dan 28 di antaranya warga Aceh.
Sementara enam orang lagi korban meninggal belum teridentifikasi.
Erni
mengisahkan, malam itu ia bersama suaminya, M Rizal, menumpang kapal kayu.
Kapal milik tekong asal Sumatera Utara (Sumut) tersebut khusus membawa pekerja
gelap asal Indonesia.
Di
dalam kapal, Erni duduk sesama perempuan begitu juga dengan suaminya duduk
sesama kaum pria. Untuk bisa menumpang kapal itu, masing-masing penumpang harus
membayar 600 ringgit.
Malam
itu, kapal kayu yang tidak dilengkapi peralatan keselamatan itu disesaki lebih
70 penumpang dari berbagai daerah. Jumlah tersebut melebihi kapasitasnya.
Saking padatnya, bahkan ada penumpang yang duduk di atas atap rumah kapal.pukul 12.00 malam waktu Malaysia, kapal perlahan bergerak meninggalkan dermaga.
Awalnya, kapal melaju dengan tenang. Namun setelah dua jam mengarungi lautan,
cuaca mulai tidak bersahabat. Gerimis dan gelombang besar menjadi penghalang
mereka untuk sampai ke perbatasan antara Malaysia dan Indonesia.
Sang
nahkoda tidak menghiraukan peringatan alam tersebut. Dengan kecepatan penuh,
kapal yang bermuatan “gemuk” itu tetap melaju menerobos gelapnya malam Selat
Malaka. Beberapa kali kapal sempat oleng usai menabrak ombak besar.
“Ketika
oleng saya jatuh dan semua orang yang duduk di sebelah saya juga jatuh dan
menimpa saya,” katanya mengenang.
Saat
itu, keadaan kapal mulai tidak stabil, air mulai masuk ke dalam badan kapal
hingga akhirnya tenggelam.
Dalam
suasana gelap gulita, semua orang meraih apa saja yang bisa dijadikan
peganggan. Saat itu, Erni tidak tahu lagi di mana suaminya. Semua orang dalam
keadaan panik ingin menyelamatkan diri. Suara takbir dan minta tolong
bersaut-sautan dalam kegelapan.
Beberapa
penumpang kapal ada yang tidak bisa berenang dan akhirnya tenggelam. Satu
persatu mayat mulai mengapung di tengah lautan lepas. Bahkan, Erni tidak terfikir
bisa bertahan dalam ayunan ombak malam itu. Yang bisa dilakukan adalah berenang
dan mencari barang apa saja untuk pelampung.
“Saat
itu ada satu orang laki-laki bagi bag (tas) pada saye. Tapi beberapa menit
bagnya tenggelam, kemudian saye pegang bag ke dua, tapi juga tenggelam,” cerita
Erni dengan bahasa melayu.
Di
tengah dinginnya air laut, Erni berusaha mengapai benda yang lewat di depannya.
Ternyata, yang lewat adalah mayat wanita yang tidak dikenalinya. Pada mayat
tersebut, malam itu Erni mengantungkan hidupnya dengan memeluk mayat sampai
pagi tiba.
Esoknya, mayat yang dipegang Erni semalam mulai mengembung. Dengan berat hati
Erni meninggalkan mayat tersebut dan beralih ke mayat lain yang lewat di
depannya. Erni langsung memeluk mayat perempuan ke dua yang ternyata
dikenalinya.
“Mayat
kedua saya ingat, dia orang kita (Aceh),” katanya terbata.
Erni
terdiam beberapa saat samba membasuh muka dengan kedua tangannya. Dengan berat
Erni berkata, “Saya tak ada pilihan. Sebab saya tak ada pelampung. Saya betumpang
hidup dengan dia, sampai nelayan ambil,” ujarnya.
Saat
itu, tangisnya pecah. Linangan air matanya membasahi kulit pipinya yang hitam
manis. Erni mengatakan, tidak tahu nama mayat tersebut, tapi ia mengenalnya
karena keduanya tinggal berdekatan rumah saat di penampungan.
“Saya
minta maaf dengan mayat,” ucapnya sambil tersedu.
Saat
itu Erni menghadapi dua pilihan, antara hidup dan mati. Erni memeluk erat mayat
itu agar tetap bisa mengapung.
Ibu
satu anak ini mengaku tidak melihat apapun di tengah laut. Dalam keadaan
kesulitan, Erni berdoa, “Kalau memang di sini ajal saye, saye ikhlas. Kalau
hari ini bukan ajal saye, Allah tunjuklah jalan dan berilah penolong.”
Saat
itu, Erni sudah menyerahkan hidup dan matinya pada kehendak Ilahi. Ia sudah
pasrah jika ajalnya berakhir di laut bebas. Tapi faktanya, Allah mengabulkan
doa Erni. Beberapa saat berselang, satu kapal nelayan melintas.
Erni
kemudian ditolong oleh awak kapal pencari ikan tersebut dan diberi pertolongan
ala kadar setelah terendam semalaman dalam air laut.
TEPAT
pukul 11.00 waktu Malaysia, berkat pertolongan nelayan tadi, polisi laut
Malaysia tiba di lokasi kejadian. Saat polisi melakukan evakuasi, Erna mendapat
kabar bahwa suaminya telah meninggal. Ia hanya sempat melihat sebentar jasad
suaminya di atas kapal sebelum pingsan. Hingga saat ini, ia tidak pernah
berjumpa lagi dengan suaminya setelah enam tahun pernikahannya.
Sebelum
berangkat pulang, Erni mengaku pernah mengalami rasa gelisah. Bahkan suaminya
sempat termenung-menung. Selain itu, Erni juga hampir tertinggal kapal ketika
ke kamar mandi. Namun, suaminya cepat menemukannya dan langsung naik ke atas
kapal. Akibat kejadian ini, Erni merasa trauma dan berjanji tidak akan pergi
lagi.
“Tidak,”
katanya spontan.
Padahal,
saat pergi ke Malaysia sekitar awal akhir 2013, Erni menggunakan paspor dan
terbang melalui Bandara SIM, Blang bintang, Aceh Besar. Di Malaysia, ia bersama
suaminya bekerja di sebuah restoran.
Sementara
anaknya yang kini berusia empat tahun, tinggal bersama keluarga Erni di Desa
Geudong, Kecamatan Kota Juang, Bireuen.
Kendati
demikian, Erni mengucapkan terimakasih kepada Pemerintah Aceh dan dan Kedutaan
Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur yang memohon pengampunan kepada
pihak otoritas Malaysia. Sehingga Erna dan warga Aceh lainnya bisa pulang dan
berkumpul lagi bersama keluarga untuk menyambut lebaran Idul Adha.
Karo
Humas Aceh, Ali Alfata mengatakan, semua korban selamat asal Indonesia
berjumlah 20 orang, 12 di antaranya berasal dari Aceh.
Dari
12 orang yang dipulangkan, satu orang lagi atas nama Mohd Hanafiah, masih
tinggal di Kuala Lumpur karena menjadi saksi di Mahkamah Malaysia bersama satu
orang warga Sumatera Utara (Sumut) terhadap tekong kapal asal Sumut. Bersambung...
Tags:
Kisah