Makna Kalimat Syahadat beserta dalil-dalilnya
Masih terngiang-ngiang di telinga kita
apa yang dikatakan guru agama kita di bangku sekolah dasar ku di min samuti makmur ketika
menerangkan mengenai makna kalimat tauhid ‘laa ilaha illallah’. Guru kita akan mengajarkan bahwa kalimat ‘laa ilaha illallah’
itu bermakna ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Namun apakah tafsiran kalimat
yang mulia ini sudah benar? Sudahkah penafsiran ini sesuai dengan yang
diinginkan al-Qur’an dan Al Hadits? Pertanyaan seperti ini seharusnya
kita ajukan agar kita memiliki aqidah yang benar yang selaras dengan
al-Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik umat ini
(baca: salafush sholih).
Sebelumnya kami akan menjelaskan terlebih dahulu keutamaan kalimat ‘laa ilaha illallah’ agar kita mengetahui kedudukannya dalam agama yang hanif ini.
KEUTAMAAN KALIMAT ‘LAA ILAHA ILLALLAH’
Ibnu Rajab dalam Kalimatul Ikhlas mengatakan, “Kalimat Tauhid (yaitu Laa Ilaha Illallah, pen) memiliki keutamaan yang sangat agung yang tidak mungkin bisa dihitung.” Lalu beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keutamaan kalimat yang mulia ini. Di antara yang beliau sebutkan:
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ merupakan harga surga
Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar muazin mengucapkan ‘Asyhadu alla ilaha illallah’. Lalu beliau mengatakan pada muazin tadi,
{ خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ }“Engkau terbebas dari neraka.” (HR. Muslim no. 873)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
{ مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ }
“Barang siapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud.. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah kebaikan yang paling utamaAbu Dzar berkata,
قُلْتُ ياَ رَسُوْلَ اللهِ كَلِّمْنِي بِعَمَلٍ يُقَرِّبُنِي مِنَ الجَنَّةِ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ، قَالَ إِذاَ عَمَلْتَ سَيِّئَةً فَاعْمَلْ حَسَنَةً فَإِنَّهَا عَشْرَ أَمْثَالِهَا، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مِنَ الْحَسَنَاتِ ، قَالَ هِيَ أَحْسَنُ الحَسَنَاتِ وَهِيَ تَمْحُوْ الذُّنُوْبَ وَالْخَطَايَا
“Katakanlah padaku wahai Rasulullah,
ajarilah aku amalan yang dapat mendekatkanku pada surga dan menjauhkanku
dari neraka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
engkau melakukan kejelekan (dosa), maka lakukanlah kebaikan karena
dengan melakukan kebaikan itu engkau akan mendapatkan sepuluh yang
semisal.” Lalu Abu Dzar berkata lagi, “Wahai Rasulullah, apakah ‘laa ilaha illallah’ merupakan kebaikan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalimat
itu (laa ilaha illallah, pen) merupakan kebaikan yang paling utama.
Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai dosa dan kesalahan.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 55)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah dzikir yang paling utamaHal ini sebagaimana terdapat pada hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits marfu’),
{ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ }
“Dzikir yang paling utama adalah bacaan ‘laa ilaha illallah’.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 62)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’
adalah amal yang paling utama, paling banyak ganjarannya, menyamai
pahala memerdekakan budak dan merupakan pelindung dari gangguan setan
Sebagaimana terdapat dalam shohihain (Bukhari-Muslim) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
{ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ،
لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ .
فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ ،
وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ ،
وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى
يُمْسِىَ ، وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ ، إِلاَّ
أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ }
“Barangsiapa mengucapkan ‘laa ilaha
illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa
‘ala kulli syay-in qodiir’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah
dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya
kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu]
dalam sehari sebanyak 100 kali, maka baginya sama dengan sepuluh budak
(yang dimerdekakan, pen), dicatat baginya 100 kebaikan, dihapus darinya
100 kejelekan, dan dia akan terlindung dari setan pada siang hingga sore
harinya, serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang
membacanya lebih banyak dari itu.” (HR. Bukhari no. 3293 dan HR. Muslim no. 7018)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah Kunci 8 Pintu Surga, orang yang mengucapkannya bisa masuk lewat pintu mana saja yang dia sukai
Dari ‘Ubadah bin Shomit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,مَنْ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَابْنُ أَمَتِهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ شَاءَ
“Barang siapa mengucapkan ’saya
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar
kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah
hamba-Nya dan utusan-Nya, dan (bersaksi) bahwa ‘Isa adalah hamba Allah
dan anak dari hamba-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam
serta Ruh dari-Nya, dan (bersaksi pula) bahwa surga adalah benar adanya
dan neraka pun benar adanya, maka Allah pasti akan memasukkannya ke
dalam surga dari delapan pintu surga yang mana saja yang dia kehendaki.” (HR. Muslim no. 149)
(Lihat Kalimatul Ikhlas, 52-66. Sebagian dalil yang ada sengaja ditakhrij sendiri semampu kami)
(Lihat Kalimatul Ikhlas, 52-66. Sebagian dalil yang ada sengaja ditakhrij sendiri semampu kami)
Inilah sebagian di antara keutamaan kalimat syahadat laa ilaha illallah
dan masih banyak keutamaan yang lain. Namun, penjelasan ini bukanlah
inti dari pembahasan kami kali ini. Di sini kami akan menyajikan
pembahasan mengenai tafsiran laa ilaha illallah yang keliru
yang telah menyebar luas di tengah-tengah kaum muslimin dan juga
pemahaman kaum muslimin yang salah tentang kalimat ini.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, “Mengapa sih terlalu membesar-besarkan masalah ini?” Lha wong hanya berkaitan dengan penafsiran saja kok dipermasalahkan!” Apa tidak ada pembahasan yang lain?
Ingat!! Masalah ini bukanlah masalah yang remeh karena berkaitan dengan penafsiran kalimat yang paling mulia yang merupakan kunci untuk masuk Islam dan perkataan terakhir yang seharusnya diucapkan oleh setiap muslim sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir! Masalah ini berkaitan dengan penafsiran kalimat agung ‘laa ilaha illallah’.
Selanjutnya kami akan menjelaskan
terlebih dahulu pemahaman yang keliru mengenai tafsiran kalimat ini yang
telah tersebar di tengah-tengah masyarakat. Yaitu kalimat yang mulia
ini ditafsirkan dengan “Tiada Tuhan selain Allah.” Semoga Allah
memudahkannya.
TAFSIRAN KALIMAT ‘LAA ILAHA ILLALLAH’ = ‘TIADA TUHAN SELAIN ALLAH’
Selama ini diketahui bahwa tafsiran kalimat ‘laa ilaha illallah’
yang telah diajarkan sejak bangku SD sampai perguruan tinggi adalah
‘Tiada Tuhan selain Allah’. Yang perlu kita tanyakan, apakah tafsiran ‘laa ilaha illallah’ seperti ini sudah sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits ?
Jika kita perhatikan, Ilah dalam kalimat
yang mulia ini diartikan dengan kata Tuhan. Apakah tafsiran seperti ini
sudah tepat? Mari kita tinjau.
MAKNA ILAH ADALAH TUHAN?
Jika kalimat ‘laa ilaha illallah’
diartikan dengan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, maka ilah pada kalimat
tersebut berarti Tuhan. Namun jika kita perhatikan kata Tuhan dalam
penggunaan keseharian bisa memiliki dua makna.
Makna pertama , kata Tuhan berarti
pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan (yang
merupakan sifat-sifat rububiyyah Allah).
Makna kedua , kata Tuhan berarti sesembahan (Sucikan Iman Anda, hal. 17).Selanjutnya perhatikanlah firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): ‘Raa’ina’, tetapi katakanlah:
‘Unzhurna’, dan ‘dengarlah’.” (QS. Al Baqarah [2] : 104).
Dalam ayat ini, Allah melarang para sahabat untuk menyebut ra’ina yang artinya perhatikanlah kami, tetapi hendaknya menggunakan unzhurna.. Mengapa demikian? Karena kata ra’ina juga sering digunakan oleh orang-orang Yahudi untuk memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam rangka mengejek, ra’ina
dalam penggunaan orang-orang Yahudi bermakna tolol/bodoh. Karena kata
tersebut mengandung dua makna (bisa bermakna baik dan bisa bermakna
buruk), maka Allah melarang yang demikian. (Lihat Tafsir Surat Al Baqarah, Al ‘Utsaimin)
Begitu juga dengan kalimat ‘laa ilaha illallah’.
Karena kalimat ini merupakan kunci surga, dzikir dan amalan yang utama,
serta paling banyak ganjarannya ketika diucapkan; maka seorang muslim
selayaknya tidak mengartikan kalimat yang mulia ini dengan kata yang
memiliki penafsiran ganda yang di dalamnya kemungkinan bermakna salah .
Dari mana kita bisa menyatakan kata Tuhan pada kalimat ini bermakna
keliru dan salah? Silakan menyimak tulisan selanjutnya.
ILAH = PENCIPTA, PEMBERI RIZKI, DAN PENGATUR ALAM SEMESTA
Pembahasan pertama, bagaimana kalau ilah pada kalimat ‘laa ilaha illallah’ bermakna Tuhan yang berarti pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta (disebut dengan sifat Rububiyah)?
Sebelumnya perlu kami sebutkan di sini
bahwasanya keyakinan tentang Allah sebagai satu-satunya pencipta,
satu-satunya penguasa, satu-satunya pemberi rezeki dan satu-satunya
pengatur alam semesta adalah keyakinan yang benar dan tidak ada keraguan
tentangnya. Namun, perlu diketahui bahwa keyakinan seperti ini juga
diakui oleh orang-orang musyrik sebagaimana terdapat dalam banyak
ayat/dalil. Mari kita membuka mushaf dan melihat dalil-dalil tersebut.
Dalil pertama , Allah ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ
وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi
rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari
yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan
menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa
kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10]: 31)
Dalil kedua , firman Allah ta’ala,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya
kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka
menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Allah)?” (QS. az-Zukhruf [43]: 87)
Dalil ketiga , firman Allah ta’ala,لَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu
menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu
menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan
menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi
kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. al-’Ankabut [29]: 63)
Dalil keempat , firman Allah ta’ala,أَمْ مَنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Atau siapakah yang memperkenankan
(do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan
yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai
khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat
sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS. an-Naml [27]: 62)
Perhatikanlah! Dalam ayat-ayat di atas
terlihat bahwasanya orang-orang musyrik itu mengenal Allah, mereka
mengakui sifat-sifat rububiyyah-Nya yaitu Allah adalah pencipta, pemberi
rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, serta penguasa alam semesta.
Namun, pengakuan ini tidak mencukupi mereka untuk dikatakan muslim dan
selamat. Kenapa? Karena mereka mengakui dan beriman pada sifat-sifat
rububiyah Allah saja, namun mereka menyekutukan Allah dalam masalah
ibadah. Oleh karena itu, Allah berfirman terhadap mereka,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka
tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan
Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf [12]: 106)
Ibnu Abbas mengatakan, “Di antara
keimanan orang-orang musyrik: Jika dikatakan kepada mereka, ‘Siapa yang
menciptakan langit, bumi, dan gunung?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah’.
Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.”
‘Ikrimah mengatakan,”Jika kamu menanyakan
kepada orang-orang musyrik: siapa yang menciptakan langit dan bumi?
Mereka akan menjawab: Allah. Demikianlah keimanan mereka kepada Allah,
namun mereka menyembah selain-Nya juga.” (Lihat Al-Mukhtashor Al-Mufid, 10-11)
Dari ayat-ayat di atas, terlihat jelas
bahwa keyakinan tentang Allah sebagai pencipta, pemberi rizki, pengatur
alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan juga merupakan keyakinan
orang-orang musyrik. Bagaimana jika kalimat ‘laa ilaha illallah’
diartikan dengan tidak ada Tuhan selain Allah yang bisa bermakna ‘tidak
ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada penguasa selain Allah’ atau
‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’?
Kalau diartikan demikian, lalu apa yang
membedakan seorang muslim dan orang-orang musyrik? Apa yang membedakan
orang-orang musyrik sebelum mereka masuk Islam dan setelah masuk Islam?
Dan perhatikanlah tafsiran semacam ini akan membuka berbagai pintu
kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin. Kenapa demikian?
Karena kaum muslimin akan menyangka bahwa
ketika seseorang sudah mengakui ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau
‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’, maka mereka sudah disebut
muwahhid (orang yang bertauhid). Walaupun mereka berdoa dengan mengambil
perantaraan selain Allah, bernazar dengan ditujukan kepada kyai fulan,
itu tidaklah mengapa. Ini sungguh kekeliruan yang sangat fatal. Berarti
keyakinan mereka sama saja dengan keyakinan orang-orang musyrik dahulu
yang mengakui sifat-sifat rububiyyah Allah, namun mereka menyekutukan
Allah dalam ibadah seperti doa dan nazar. Orang-orang musyrik tidak
mengingkari sifat rububiyyah semacam ini sebagaimana terdapat pada
ayat-ayat di atas.
Jelaslah pada pembahasan pertama ini kesalahan tafsiran ‘laa ilaha illallah’
dengan tiada Tuhan selain Allah yang bermakna tidak ada pencipta selain
Allah atau tiada penguasa selain Allah. Letak kesalahannya adalah
karena mengartikan kalimat syahadat ini dengan sebagian maknanya saja
yaitu makna rububiyyah. Sedangkan makna rububiyyah jelas-jelas juga
diakui oleh kaum musyrikin, walaupun kalimat tidak ada pencipta selain
Allah dan semacamnya, pada dasarnya bermakna benar.
HANYA ALLAH SAJA SESEMBAHAN YANG BENAR
Pembahasan kedua adalah bagaimana jika ‘laa ilaha illallah’ ditafsirkan dengan pengertian Tuhan yang kedua yaitu sesembahan, maka makna ‘laa ilaha illallah’ menjadi ‘tidak ada sesembahan selain Allah’.
Sebenarnya pengertian ilah pada tafsiran kedua sudah benar karena kata ‘ilah‘ secara bahasa berarti sesembahan (ma’bud atau ma’luh). Dan para ulama juga menafsirkan kata ilah juga dengan sesembahan. Lihat sedikit penjelasan berikut ini.
Bukti bahwa ilah bermakna sesembahan (sesuatu yang diibadahi)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau radhiyallahu ‘anhuma memiliki qiro’ah tersendiri pada ayat,
وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى وَقَوْمَهُ
لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآَلِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِّلُ
أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ
“Berkatalah pembesar-pembesar dari
kaum Fir’aun (kepada Fir’aun): “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya
untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu dan
ilah-ilahmu?”. Fir’aun menjawab: “Akan kita bunuh anak-anak lelaki
mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka. dan
sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.” (QS. Al A’raaf [7] : 127)
Ibnu Abbas sendiri membacanya (وَيَذَرَكَ
وَإِلَاهَتَكَ) dengan mengasroh hamzah, menfathahkan lam, dan
sesudahnya huruf alif. Alasannya, Fir’aun sendiri disembah oleh kaumnya,
namun dia tidak menyembah berhala. Maka qiro’ah yang benar adalah
(وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) sebagaimana yang dibaca oleh Ibnu Abbas.
Ibnul Ambariy mengatakan bahwa para ahli bahasa mengatakan: al ilahah (الإِلاهة) bermakna al ‘ibadah (العبادة) yaitu peribadahan. Sehingga maksud ayat ‘meninggalkanmu, wahai Fir’aun dan peribadahan manusia kepadamu’.
Kesimpulannya: Karena ilahah (الإِلاهة) bermakna ibadah maka ilah bermakna ma’bud (yang diibadahi/sesembahan).
(Lihat penjelasan Ibnul Jauziy dalam Zadul Masir, tafsir basmalah dan Al A’raf ayat 127, begitu pula penjelasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam At Tamhid hal. 74-75). Sebagai tambahan penjelasan, makna ilah ini, dapat dilihat pula pada penjelasan ulama tafsir di pembahasan selanjutnya.
Kita lanjutkan pembahasan di atas. Namun, jika kalimat ‘laa ilaha illallah’
diartikan dengan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ masih ada
kekeliruan karena dapat dianggap bahwa setiap sesembahan yang ada adalah
Allah. Maka Isa putra Maryam adalah Allah karena merupakan sesembahan
kaum Nashrani. Patung-patung kaum musyrikin yaitu Lata, Uzza dan Manat
adalah Allah karena merupakan sesembahan mereka sebagai perantara kepada
Allah. Para wali yang dijadikan perantara dalam berdo’a juga Allah
karena merupakan sesembahan para penyembah kubur. Ini berarti seluruh
sesembahan yang ada adalah Allah. Maka tafsiran yang kedua ini
jelas-jelas merupakan tafsiran yang bathil dan keliru.
Penjelasan di atas bukan kami rekayasa. Sebagai bukti, pembaca dapat melihat apa yang dikatakan Al Hafizh Al Hakami berikut.
“Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada ilah
(sesembahan) yang ada kecuali Allah, maka hal ini mengonsekuensikan
seluruh sesembahan yang benar dan bathil (salah dan keliru) adalah
Allah. Maka jadilah segala yang disembah kaum musyrik baik matahari,
rembulan, bintang, pohon, batu, malaikat, para nabi, orang-orang sholih
dan selainnya adalah Allah. Dan bisa jadi dengan menyembahnya dikatakan
telah bertauhid. Dan ini -wal’iyadzu billah (kita berlindung
kepada Allah dari keyakinan semacam ini)- adalah kekufuran yang paling
besar dan paling jelek secara mutlak. Keyakinan semacam ini berarti
telah membatalkan risalah (wahyu) yang dibawa oleh seluruh rasul,
berarti telah kufur (mengingkari) seluruh kitab dan menentang/
mendustakan seluruh syari’at. Ini juga berarti telah merekomendasi
seluruh orang kafir karena segala makhluk yang mereka sembah adalah
Allah. Maka tidak ada lagi pada embel-embel syirik tetapi sebaliknya
mereka bisa disebut muwahhid (orang yang bertauhid). Maha Tinggi Allah
atas apa yang dikatakan oleh orang-orang zholim dan orang-orang yang
menentang ini.
Jika kita sudah memahami demikian, maka
tidak boleh kita katakan ‘tidak ada sesembahan yang ada kecuali
Allah.”Kecuali kita menambahkan kalimat ‘dengan benar’ pada tafsiran
tersebut maka ini tidaklah mengapa. Jadi tafsiran laa ilaha illallah
(yang tepat) menjadi ‘tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar
kecuali Allah’.” -Demikian yang dikatakan Al Hafizh Al Hakami dengan
sedikit perubahan redaksi- (Lihat Ma’arijul Qobul, I/325). (Di
samping itu, pemaknaan di atas adalah keliru karena tidak sesuai dengan
kenyataan. Realita menunjukkan terdapat banyak sesembahan selain Allah.
Maka bagaimana mungkin kita katakan tidak ada sesembahan melainkan
Allah?! Sungguh ini adalah kebohongan yang sangat-sangat nyata, ed)
Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Al Hafizh di atas, makna laa ilaha illallah yang tepat adalah ‘tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah’. Kenapa perlu ditambahkan kalimat ‘yang disembah dengan benar’?
Jawabnya, karena kenyatannya banyak
sesembahan selain Allah di muka bumi ini. Akan tetapi,
sesembahan-sesembahan itu tidak ada yang berhak untuk disembah melainkan
hanya Allah semata.
Bukti harus ditambahkan kalimat ‘yang disembah dengan benar’ dapat dilihat pada firman Allah ta’ala,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
“Yang demikian itu dikarenakan Allah
adalah (sesembahan) yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka
sembah selain-Nya adalah (sesembahan) yang Bathil.” (QS. Luqman [31]: 30)
Ayat ini menunjukkan bahwa sesembahan
selain Allah adalah sesembahan yang batil, sesembahan yang tidak berhak
untuk diibadahi dan Allah-lah sesembahan yang benar. Maka tafsiran ‘laa ilaha illallah’ yang benar adalah ‘laa ma’buda haqqun illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah/diibadahi kecuali Allah].
TAFSIRAN KALIMAT ‘laa ilaha illallah’ MENURUT PARA ULAMA
Untuk mendukung pendapat di atas, selanjutnya kami akan membawakan perkataan para pakar tafsir mengenai tafsiran ‘laa ilaha illallah’ ini, agar kami tidak dianggap membuat-buat tafsiran tersebut.
Ath Thobary dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an tatkala menafsirkan firman Allah ta’ala,
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan
kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada ilah selain Dia; dan berpalinglah dari
orang-orang musyrik.” (QS. Al An’am [6]: 106)
Pada kalimat tidak ada ilah selain Dia beliau mengatakan,
لا معبود يستحق عليك إخلاص العبادة له إلا الله‘Tidak ada sesembahan yang berhak bagimu untuk mengikhlaskan ibadah kecuali Allah’.
Begitu juga pada firman Allah ta’ala,
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
“Dan Dialah ilah di langit dan ilah di bumi.” (QS. Az Zukhruf [43]: 84)
Beliau mengatakan,
والله الذي له الألوهة في السماء معبود، وفي الأرض معبود كما هو في السماء معبود، لا شيء سواه تصلح عبادته;
“Allah-lah yang memiliki keberhakan
uluhiyyah, Dia-lah satu-satunya sesembahan di langit. Dia-lah pula
satu-satunya sesembahan di bumi sebagaimana Dia adalah satu-satunya
sesembahan di langit. Tidak ada satu pun selain Allah yang boleh
disembah.”
Juga dapat pula dilihat tafsiran beliau pada firman Allah,
وَأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Bahwasanya tidak ada ilah selain Dia, … “ (QS. Hud [11]: 14)
Beliau mengatakan,
أن لا معبود يستحق الألوهة على الخلق إلا الله
“Tidak ada sesembahan yang berhak mendapatkan uluhiyyah (disembah oleh makhluk) kecuali Allah.”
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim mengatakan tentang tafsir firman Allah:
وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Dan Dialah Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia.” (QS. Qashash [28]: 70)
هو المنفرد بالإلهية، فلا معبود سواه، كما لا رب يخلق ويختار سواه
“Maksudnya adalah Allah bersendirian
dalam uluhiyyah, tidak ada sesembahan selain Dia, sebagaimana tidak ada
pencipta selain Dia.”
Asy Syaukani dalam Fathul Qodhir mengatakan tentang firman Allah pada awal ayat kursi,
{ لاَ إله إِلاَّ هُوَ } أي : لا معبود بحق إلا هو
“Laa ilaha illa huw’ bermakna ‘laa ma’buda bihaqqin illa huw’ [tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah].
Begitu juga pada firman Allah,
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
“Dan Dialah ilah di langit dan ilah di bumi.” (QS. Az Zukhruf [43]: 84)
Beliau menafsirkan ilah adalah,
معبود ، أو مستحق للعبادة
“Ma’bud (sesembahan) atau yang berhak diibadahi.”
Fakhruddin Ar Rozi -yang merupakan ulama Syafi’iyyah-, dalam Mafatihul Ghoib mengatakan tentang tafsir ayat,
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ
“(Yang memiliki sifat-sifat yang)
demikian itu ialah Allah Rabb kamu; tidak ada ilah selain Dia; Pencipta
segala sesuatu, maka sembahlah Dia.” (QS. Al An’am [6]: 102), di mana tidak ada ilah selain Dia adalah,
لا يستحق العبادة إلا هو ، وقوله : { فاعبدوه } أي لا تعبدوا غيره
“Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali
Allah, sedangkan yang dimaksudkan oleh ayat ‘maka sembahlah Dia’ adalah
jangan menyembah kepada selain-Nya.”
As Suyuthi dalam Tafsir Al Jalalain ketika menafsirkan surat Al Baqarah ayat 255,
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Allah, tidak ada ilah melainkan Dia.”
Beliau langsung menafsirkannya dengan berkata,
لا معبود بحق في الوجود
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah di alam semesta ini selain Allah.”
Itulah tafsiran para ulama yang sangat
mendalam ilmunya. Tafsiran mereka terhadap kalimat yang mulia ini
walaupun dengan berbagai lafadz, namun kembali pada satu makna.
Kesimpulannya, makna ‘laa ilaha illallah’ adalah tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah.
ORANG-ORANG MUSYRIK LEBIH PAHAM MAKNA LAA ILAHA ILLALLAH
Setelah kita melihat tafsiran yang tepat
dari kalimat laa ilaha illallah.. Kita dapat melihat bahwasanya
orang-orang musyrik dahulu sebenarnya lebih paham tentang laa ilaha
illallah daripada umat Islam saat ini khusunya para da’inya.
Pernyataan ini dapat dilihat dalam perkataan Syaikh Muhammad At Tamimi dalam kitab beliau Kasyfu Syubuhat. Beliau rahimahullah berkata,”Orang kafir jahiliyyah mengetahui bahwa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan dengan kalimat (laa ilaha illallah, pen) adalah mengesakan Allah dengan menyandarkan hati kepada-Nya dan kufur (mengingkari) serta berlepas diri dari sesembahan selain-Nya.”
Pernyataan ini dapat dilihat dalam perkataan Syaikh Muhammad At Tamimi dalam kitab beliau Kasyfu Syubuhat. Beliau rahimahullah berkata,”Orang kafir jahiliyyah mengetahui bahwa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan dengan kalimat (laa ilaha illallah, pen) adalah mengesakan Allah dengan menyandarkan hati kepada-Nya dan kufur (mengingkari) serta berlepas diri dari sesembahan selain-Nya.”
Apa yang membuktikan bahwa orang-orang kafir memahami kalimat laa ilaha illallah?
Beliau rahimahullah melanjutkan perkataan di atas, “Yaitu ketika dikatakan kepada mereka, ‘Katakanlah laa ilaha illallah.’ Mereka menjawab,
أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan
sesembahan-sesembahan itu menjadi ilah (sesembahan) yang satu saja?
Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad [38]: 5)”
Lihatlah orang-orang musyrik sudah memahami bahwa laa ilaha illallah adalah laa ma’buda bihaqqin illallah
[tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah] dan
mereka mengingkari yang demikian, namun mereka sama sekali tidak
mengingkari bahwa Allah adalah pencipta dan pemberi rizki.
Syaikh Muhammad At Tamimi melanjutkan lagi, “Jika kamu sudah mengetahui bahwa orang musyrik mengetahui yang demikian (bahwa laa ilaha illallah
bermakna tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, pen);
maka sungguh sangat mengherankan di mana para da’i yang mendakwahkan
islam tidak mengetahui tafsiran kalimat laa ilaha illallah sebagaimana yang diketahui oleh orang kafir jahiliyyah. Bahkan orang-orang tersebut mengira bahwa laa ilaha illallah
cukup diucapkan saja tanpa meyakini maknanya. Dan pakar ahli
(orang-orang pintar dari ahli kalam dan ahli bid’ah, pen) di antara
mereka pun menyangka bahwa makna laa ilaha illallah adalah
tidak ada pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta kecuali Allah.
Maka tidak ada satu pun kebaikan pada seseorang di mana orang kafir
jahiliyyah lebih mengetahui dari dirinya mengenai makna laa ilaha illallah.” (Lihat Syarh Kasyfi Syubuhaat Al ‘Utsaimin, hal. 27-28 dan Ad Dalail wal Isyarot, hal. 48-51).
Demikianlah sangat disayangkan sekali,
para cendekiawan muslim dan para da’i yang mengajari umat tentang islam
banyak yang tidak memahami laa ilaha illallah sebagaimana yang
dipahami oleh orang-orang musyrik. Dan kebanyakan pakar Islam sendiri
-yang kebanyakan adalah ahli kalam serta tertular virus Asya’iroh dan
Mathuridiyyah- hanya memaknai kalimat laa ilaha illallah dengan
‘tidak ada pencipta selain Allah’, atau ‘tidak ada pengatur alam
semesta selain Allah’, atau ‘tidak ada pemberi rizki selain Allah’ di
mana tafsiran tersebut hanya terbatas pada sifat rububiyyah Allah saja.
Lalu apa kelebihan mereka dari orang-orang musyrik dahulu?! Renungkanlah
hal ini!!
KALIMAT ‘LAA ILAHA ILLALLAH’ BUKAN HANYA DI LISAN
Pada awal tulisan ini kami telah menjelaskan mengenai keutamaan laa ilaha illallah,
di mana kalimat ini adalah sebaik-baik dzikir dan akan mendapatkan buah
yang akan diperoleh di dunia dan di akhirat. Namun, perlu diketahui
bahwasanya kalimat laa ilaha illallah tidaklah diterima dengan
hanya diucapkan semata. Banyak orang yang salah dan keliru dalam
memahami hadits-hadits tentang keutamaan laa ilaha illallah.
Mereka menganggap bahwa cukup mengucapkannya di akhir kehidupan
-misalnya-, maka seseorang akan masuk surga dan terbebas dari siksa
neraka. Hal ini tidaklah demikian.
Semua muslim pasti telah memahami bahwa
segala macam bentuk ibadah tidaklah diterima begitu saja kecuali dengan
terpenuhi syarat-syaratnya. Misalnya saja shalat. Ibadah ini tidak akan
diterima kecuali jika terpenuhi syaratnya seperti wudhu. Begitu juga
dengan puasa, haji dan ibadah lainnya, semua ibadah tersebut tidak akan
diterima kecuali dengan memenuhi syarat-syaratnya. Maka begitu juga
dengan kalimat yang mulia ini. Kalimat laa ilaha illallah tidak akan diterima kecuali dengan terpenuhi syarat-syaratnya.
Oleh karena itu, para ulama terdahulu
(baca: ulama salaf) telah mengisyaratkan kepada kita mengenai pentingnya
memperhatikan syarat laa ilaha illallah. Lihatlah di antara perkataan mereka berikut ini.
Al Hasan Al Bashri rahimahullah pernah diberitahukan bahwa orang-orang mengatakan, “Barang siapa mengucapkan laa ilaha illallah maka dia akan masuk surga.” Lalu beliau rahimahullah mengatakan, “Barang siapa menunaikan hak kalimat tersebut dan juga kewajibannya, maka dia akan masuk surga.”
Wahab bin Munabbih telah ditanyakan, “Bukankah kunci surga adalah laa ilaha illallah?” Beliau rahimahullah
menjawab, “Iya betul. Namun, setiap kunci itu pasti punya gerigi. Jika
kamu memasukinya dengan kunci yang memiliki gerigi, pintu tersebut akan
terbuka. Jika tidak demikian, pintu tersebut tidak akan terbuka.” Beliau
rahimahullah mengisyaratkan bahwa gerigi tersebut adalah syarat-syarat kalimat laa ilaha illallah. (Lihat Fiqhul Ad’iyyah wal Adzkar, I/179-180)
MENGENAL SYARAT laa ilaha illallah
Dari hasil penelusuran dan penelitian terhadap al-Qur’an dan As Sunnah, para ulama akhirnya menyimpulkan bahwa kalimat laa ilaha illallah tidaklah diterima kecuali dengan memenuhi tujuh syarat berikut :
[1] Mengilmui maknanya yang meniadakan kejahilan (bodoh)
[2] Yakin yang meniadakan keragu-raguan
[3] Menerima yang meniadakan sikap menentang
[4] Patuh yang meniadakan sikap meninggalkan
[5] Jujur yang meniadakan dusta
[6] Ikhlas yang meniadakan syirik dan riya’
[7] Cinta yang meniadakan benci
Penjelasan ketujuh syarat di atas adalah sebagai berikut:
Syarat pertama adalah mengilmui makna laa ilaha illallah
Maksudnya adalah menafikan peribadahan
(penghambaan) kepada selain Allah dan menetapkan bahwa Allah
satu-satunya yang patut diibadahi dengan benar serta menghilangkan sifat
kejahilan (bodoh) terhadap makna ini.
Allah ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Begitu juga Allah ta’ala berfirman,
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Akan tetapi (orang yang dapat
memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui dengan benar (laa ilaha
illallah) dan mereka meyakini(nya).” (QS. Az Zukhruf: 86)
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya
orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az Zumar [39]: 9)
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)
Dalam kitab shohih dari ‘Utsman, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim no. 145)
Syarat kedua adalah meyakini kalimat laa ilaha illallah
Maksudnya adalah seseorang harus meyakini
kalimat ini seyakin-yakinnya tanpa boleh ada keraguan sama sekali.
Yakin adalah ilmu yang sempurna.
Allah ta’ala memberikan syarat
benarnya keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan sifat
tidak ada keragu-raguan. Sebagaimana dapat dilihat pada firman Allah,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ
آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ
الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujurat [49]: 15)
Apabila seseorang ragu-ragu dalam
keimanannya, maka termasuklah dia dalam orang-orang munafik -wal ‘iyadzu
billah [semoga Allah melindungi kita dari sifat semacam ini]. Allah ta’ala mengatakan kepada orang-orang munafik tersebut,
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لَا
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ
فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
“Sesungguhnya yang akan meminta izin
kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang
dalam keraguannya.” (QS. At Taubah: 45)
Dalam beberapa hadits, Allah mengatakan bahwa orang yang mengucapkan laa ilaha illallah akan masuk surga dengan syarat yakin dan tanpa ada keraguan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ
شَاكٍّ فِيهِمَا إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidak
ada seorang hamba pun yang bertemu Allah (baca: meninggal dunia) dengan
membawa keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu kecuali Allah akan
memasukkannya ke surga.” (HR. Muslim no. 147)
Dari Abu Hurairah juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ
شَاكٍّ فَيُحْجَبَ عَنِ الْجَنَّةِ
“Aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Seorang
hamba yang bertemu Allah dengan keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu,
Allah tidak akan menghalanginya untuk masuk surga.” (HR. Muslim no. 148)
Syarat ketiga adalah menerima kalimat laa ilaha illallah
Maksudnya adalah seseorang menerima kalimat tauhid ini dengan hati dan lisan, tanpa menolaknya.
Allah telah mengisahkan kebinasaan orang-orang sebelum kita dikarenakan menolak kalimat ini. Lihatlah pada firman Allah ta’ala,
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ
فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا
آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23)
قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ
آَبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24)
فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
(25)
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus
sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata:
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”.(Rasul itu)
berkata: “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa
untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang
kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya
kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” Maka
Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang mendustakan itu.” (QS. Az Zukhruf [43]: 23-25)
Dalam kitab shohih dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ
الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ،
فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ
وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ
، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ،
وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ
تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى
دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ
، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى
اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang
aku bawa dari Allah adalah seperti air hujan lebat yang turun ke tanah.
Di antara tanah itu ada yang subur yang dapat menyimpan air dan
menumbuhkan rerumputan. Juga ada tanah yang tidak bisa menumbuhkan
rumput (tanaman), namun dapat menahan air. Lalu Allah memberikan manfaat
kepada manusia (melalui tanah tadi, pen); mereka bisa meminumnya,
memberikan minum (pada hewan ternaknya, pen) dan bisa memanfaatkannya
untuk bercocok tanam. Tanah lainnya yang mendapatkan hujan adalah tanah
kosong, tidak dapat menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput
(tanaman). Itulah permisalan orang yang memahami agama Allah dan apa
yang aku bawa (petunjuk dan ilmu, pen) bermanfaat baginya yaitu dia
belajar dan mengajarkannya. Permisalan lainnya adalah permisalah orang
yang menolak (petunjuk dan ilmu tadi, pen) dan tidak menerima petunjuk
Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari no. 79 dan Muslim no. 2093. Lihat juga Syarh An Nawawi, 7/483 dan Fathul Bari , 1/130)
Syarat keempat adalah inqiyad (patuh) kepada syari’at Allah
Maksudnya adalah meniadakan sikap meninggalkan yaitu seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah
haruslah patuh terhadap syari’at Allah serta tunduk dan berserah diri
kepada-Nya. Karena dengan inilah, seseorang akan berpegang teguh dengan
kalimat laa ilaha illallah.
Oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barangsiapa yang menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman [31]: 22)
Yang dimaksudkan dengan ‘telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh’ adalah telah berpegang dengan laa ilaha illallah.
Dalam ayat ini, Allah mempersyaratkan
untuk berserah diri (patuh) pada syari’at Allah dan inilah yang disebut
muwahhid (orang yang bertauhid) yang berbuat ihsan (kebaikan). Maka
barangsiapa tidak berserah diri kepada Allah maka dia bukanlah orang
yang berbuat ihsan sehingga dia bukanlah orang yang berpegang teguh
dengan buhul tali yang kuat yaitu kalimat laa ilaha illallah. Inilah makna firman Allah pada ayat selanjutnya,
وَمَنْ كَفَرَ فَلَا يَحْزُنْكَ كُفْرُهُ
إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ فَنُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (23) نُمَتِّعُهُمْ قَلِيلًا ثُمَّ
نَضْطَرُّهُمْ إِلَى عَذَابٍ غَلِيظٍ (24)
“Dan barang siapa kafir (tidak patuh)
maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kami-lah
mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka
kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Kami
biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka
(masuk) ke dalam siksa yang keras.” (QS. Luqman [31]: 23-24)
(Jadi perbedaan qobul (menerima, syarat ketiga) dengan inqiyad (patuh, syarat keempat) adalah sebagai berikut. Qobul itu terkait dengan hati dan lisan. Sedangkan inqiyad terkait dengan ketundukkan anggota badan, ed).
Syarat kelima adalah jujur dalam mengucapkannya
Maksudnya adalah seseorang yang mengucapkan kalimat ikhlas laa ilaha illallah harus benar-benar jujur (tidak ada dusta) dalam hatinya dan juga diikuti dengan pembenaran dalam lisannya.
Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang munafik -karena kedustaan mereka- pada firman-Nya,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا
بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8)
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا
أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ
اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10)
“Di antara manusia ada yang
mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian ,” pada hal
mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak
menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu
dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada
penyakit , lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang
pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al Baqarah [2]: 8-10)
Begitu juga pada firman-Nya,
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا
نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ
لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ (1)
“Apabila orang-orang munafik datang
kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu
benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu
benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya
orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiqun [63]: 1)
Untuk mendapatkan keselamatan dari api
neraka tidak hanya cukup dengan mengucapkan kalimat tauhid tersebut,
tetapi juga harus disertai dengan pembenaran (kejujuran) dalam hati.
Maka semata-mata diucapkan tanpa disertai dengan kejujuran dalam hati,
tidaklah bermanfaat.
Lihatlah hadits dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ
إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad
adalah utusan-Nya dengan kejujuran dari dalam hatinya, kecuali Allah
akan mengharamkan neraka baginya.” (HR. Bukhari no. 128)
Syarat keenam adalah ikhlas dalam beramal
Maksudnya adalah seseorang harus membersihkan amal -dengan benarnya niat- dari segala macam kotoran syirik. Allah ta’ala berfirman,
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah ketaatan (baca: ibadah) yang ikhlas (bersih dari syirik).” (QS. Az Zumar [39]: 3)
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan ikhlas (memurnikan) keta’atan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah [98]: 5)
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan ikhlas (memurnikan) keta’atan kepada-Nya.” (QS. Az Zumar [39]: 2)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
“Orang yang berbahagia karena
mendapat syafa’atku pada hari kiamat nanti adalah orang yang mengucapkan
laa ilaha illallah dengan ikhlas dalam hatinya atau dirinya.” (HR. Bukhari no. 99)
Syarat ketujuh adalah mencintai kalimat laa ilaha illallah
Maksudnya adalah seseorang yang
mengucapkan kalimat ini mencintai (tidak benci pada) Allah, Rasul dan
agama Islam serta mencintai pula kaum muslimin yang menegakkan kalimat
ini dan menahan diri dari larangan-Nya. Dia juga membenci orang yang
menyelisihi kalimat laa ilaha illallah, dengan melakukan kesyirikan dan kekufuran yang merupakan pembatal kalimat ini.
Yang menunjukkan adanya syarat ini pada keimanan seorang muslim adalah firman Allah ta’ala,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا
أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada
orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah [2]: 165)
Dalam ayat ini, Allah mengabarkan bahwa
orang-orang mukmin sangat cinta kepada Allah. Hal ini dikarenakan mereka
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun dalam cinta ibadah.
Sedangkan orang-orang musyrik mencintai sesembahan-sesembahan mereka
sebagaimana mereka mencintai Allah. Tanda kecintaan seseorang kepada
Allah adalah mendahulukan kecintaan kepada-Nya walaupun menyelisihi hawa
nafsunya dan juga membenci apa yang dibenci Allah walaupun dia condong
padanya. Sebagai bentuk cinta pada Allah adalah mencintai wali Allah dan
Rasul-Nya serta membenci musuhnya, juga mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencocoki jalan hidupnya dan menerima petunjuknya.
(Pembahasan syarat laa ilaha illallah ini diringkas dari dua kitab: (1) Ma’arijul Qobul, I/ 327-332 dan (2) Fiqhul Ad’iyyah wal Adzkar, I/180-184)
Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang bisa mendapatkan keutamaan laa ilaha illallah. Jadi, untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan laa ilaha illallah
bukanlah hanyalah di lisan saja, namun hendaknya seseorang memenuhi
syarat-syarat ini dengan amalan/ praktek (tanpa mesti dihafal). Semoga
Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mampu meyakini makna
kalimat tauhid, mengamalkan konsekuensi-konsekuensinya dalam perkataan
maupun perbuatan, dan semoga kita mati dalam keadaan mu’min.
MENGUCAPKAN laa ilaha illallah SAAT MAUT MENJEMPUT
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ
“Barang siapa yang akhir perkataannya adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)
Melihat hadits tersebut, kami teringat
pada sebuah kisah yang sangat menarik dan menakjubkan. Kisah ini
diceritakan oleh Al Khotib Al Baghdadi, dalam Tarikh Bagdad 10/335. Berikut kisah tersebut.
Abu Ja’far At Tusturi mengatakan, “Kami
pernah mendatangi Abu Zur’ah Ar Rozi yang dalam keadaan sakaratul maut
di Masyahron. Di sisi Abu Zur’ah terdapat Abu Hatim, Muhammad bin
Muslim, Al Munzir bin Syadzan dan sekumpulan ulama lainnya. Mereka ingin
mentalqinkan Abu Zur’ah dengan mengajari hadits talqin sebagaimana
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
“Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan: ‘laa ilaha illallah’.” (HR. Muslim no. 2162)
Namun mereka malu dan takut pada Abu
Zur’ah untuk mentalqinkannya. Lalu mereka berkata, “Mari kita
menyebutkan haditsnya (dengan sanadnya/ jalur periwayatannya).”
Muhammad bin Muslim lalu mengatakan, “Adh
Dhohak bin Makhlad telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata),
dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Sholih” Kemudian
Muhammad tidak meneruskannya.
Abu Hatim kemudian mengatakan, “Bundar
telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ‘Ashim telah
menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far,
(beliau berkata), dari Sholih.” Lalu Abu Hatim juga tidak meneruskannya
dan mereka semua diam.
Kemudian Abu Zur’ah yang berada dalam
sakaratul maut mengatakan, “Bundar telah menceritakan kepada kami,
(beliau berkata), Abu ‘Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau
berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Sholih bin
Abu ‘Arib, (beliau berkata), dari Katsir bin Murroh Al Hadhromiy,
(beliau berkata), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ
Setelah itu, Abu Zur’ah rahimahullah langsung meninggal dunia..
Abu Zur’ah meninggal pada akhir bulan Dzulhijjah tahun 264 H.
Lihatlah kisah Abu Zur’ah. Akhir nafasnya, dia tutup dengan kalimat syahadat laa ilaha illallah. Bahkan beliau rahimahullah
mengucapkan kalimat tersebut sambil membawakan sanad dan matan hadits,
yang hal ini sangat berbeda dengan kebanyakan orang-orang yang berada
dalam sakaratul maut.
Oleh karena itu, marilah kita persiapkan
bekal ini untuk menghadapi kematian kita. Tidak ada bekal yang lebih
baik daripada bekal kalimat tauhid ‘laa ilaha illallah’ ini. Namun ingat! Tentu saja kalimat laa ilaha illallah bisa bermanfaat dengan memenuhi syarat-syaratnya, dengan selalu memohon pertolongan dan hidayah Allah.
Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat
yang Maha Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami memohon
kepada-Mu. Perbaikilah segala urusan kami dan janganlah Engkau sandarkan
urusan tersebut pada diri kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sa’ilin.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum
muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki
yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu
sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala
alihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di Yogyakarta,
saat musim haji (21 Dzulhijjah 1428 H)
bertepatan dengan 30 Desember 2007
saat musim haji (21 Dzulhijjah 1428 H)
bertepatan dengan 30 Desember 2007
Semoga Allah meneriman dan membalas amalan ini.
Sumber Rujukan:
- Ad Dalail wal Isyarot ‘ala Kasyfi Syubuhat, Syaikh Sholih bin Muhammad Al Asmariy, Adhwa’us salaf
- Al Mukhtashor Al Mufid fi Bayani Dalaili Aqsamit Tauhid, Abdur Rozaq bin Abdul Muhsin Al Badr, Dar Al Imam Ahmad
- At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, Syaikh Sholih Alu Syaikh, Darut Tauhid
- Fathul Bari, Ibnu Hajar, Mawqi’ul Islam – Maktabah Syamilah 5
- Fathul Qodhir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir – Maktabah Syamilah 5
- Fiqhul Ad’iyyah wal Adzkar – Al Qismul Awwal, Abdur Rozaq bin Abdul Muhsin Al Badr, Dar Ibni ‘Affan
- Imam Syafi’i Menggugat Syirik, Abdullah Zaen, Maktabah Al Hanif
- Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Muhammad bin Jarir Abu Ja’far Ath Thobary, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Mawqi’ Majma’ Al Mulk Fahd Li Thoba’atil Mush-haf Syarif – Maktabah Syamilah 5
- Kalimatul Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, Ibnu Rojab Al Hanbali, Tahqiq: Zuhair Asy Syaqisy, Al Maktab Al Islamiy Beirut – Maktabah Syamilah 5
- Kalimatul Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, Ibnu Rojab Al Hanbali, Tahqiq dan Takhrij: Al ‘Alamah Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albany, Maktabah Syamilah 5
- Ma’arijul Qobul bi Syarhi Sullamil Wushul ila ‘Ilmil Ushul fit Tauhid: Juz I, Asy Syaikh Hafizh bin Ahmad Hakamiy, Darul Hadits Al Qohiroh
- Mafatihul Ghoib, Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Al Hasan bin Al Husain At Taimiy Ar Roziy (Fakhruddin Ar Rozi), Mawqi’ut Tafsir – Maktabah Syamilah 5
- Misykatul Mashobih, Muhammad bin Abdillah Al Khotib At Tibriziy, Tahqiq: Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islamiy Beirut-Maktabah Syamilah 5
- Shohih Bukhari, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mugiroh Al Bukhari Abu Abdillah, Mawqi’ Wizarotil Awqof Al Mishriyyah-Maktabah Syamilah 5
- Shohih Muslim, Muslim bin Al Hajjaj Abul Hasan Al Qusyairiy An Naisaburi, Mawqi’ Wizarotil Awqof Al Mishriyyah-Maktabah Syamilah 5
- Sucikan Iman Anda dari Noda Syirik dan Penyimpangan, Abu ‘Isa Abdullah bin Salam, Pustaka Muslim
- Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, Mawqi’ul Islam – Maktabah Syamilah 5
- Syarh Kasyfi Syubuhaat, Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Tahqiq: Haniy Al Hajj, Maktabah Al ‘Ilmi
- Tafsir Al ‘Alamah Muhammad Al ‘Utsaimin, Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Mawqi’ Al ‘Alamah Al ‘Utsaimin-Maktabah Syamilah 5
- Tafsir Al Jalalain, Al Mahalli As Suyuthiy, Mawqi’ At Tafasir – Maktabah Syamilah 5
- Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurasyi Ad Dimasyqi, Maktabah Syamilah 5
- Tarikh Bagdad-Al Khotib Al Bagdadi, Ahmad bin Ali Abu Bakr Al Khotib Al Bagdadi, Darul Kutub Ilmiyyah Beirut – Maktabah Syamilah 5 (mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan ) add @malekazis
Tags:
Agama