Mereka Yang Meninggalkan Tasawuf (6) : Syaikh Abdul Kadir Bin Ahmad bin Musthofa bin Badran Damaskus
Mereka Yang Meninggalkan Tasawuf (6) : Syaikh Abdul Kadir Bin Ahmad bin Musthofa bin Badran Damaskus
Beliau
Rahimahulloh dilahirkan pada tahun 1280 H dan wafat 1346 H di Negeri
Duma. Beliau hidup di suatu tempat yang para sufi menjadi jumlah
mayoritas, serta kebodohan bertebaran. Beliau belajar dengan para Syaikh
yang jalan hidupnya sesuai dengan jalannya kaum sufi. Akan tetapi
beliau dengan karunia Allah kepadanya menyatakan bahwa dirinya mengikut
manhaj Salaf, yaitu manhaj yang paling kokoh dan berada di masa yang
utama, juga manhajnya para Imam yang datang membawa perbaikan.
Syaikh
Ibnu badran-demikian beliau di sebut- berkenaan dengan hal ini pernah
menyatakan, ”Sesungguhnya manakala Allah karuniakan kepadaku kesempatan
menuntut ilmu aku pergi meninggalkan tanah air dan juga berhala, aku
berkeliling di berbagai madrasah ilmu untuk mengecap ilmu-ilmu serta aku
pun menganut suatu mazhab, terkadang aku kerahkan tenagaku untuk
menjalani jalannya Ibnu Sina, terkadang aku menggeluti apa yang digeluti
Abu Nashr Al-Faaraby pada masalah Mantiq, hingga aku pun terombang
ambing di hamparan ilmu beberapa lamanya. Kembali kepadaku semua ujung
rugi tidak membawa untung laba. Ketika aku berada di kejernihan itu
seolah-olahnya ada yang menyeru dengan seruan petunjuk yang hakiki, ”
Ayolah kesini kemuliaan dan kesempurnaan, tinggalkan keberhasilan Ibnu
Sina yang hanya keberhasilan semu, ayo menuju jalan keselamatan yang
hakiki, dan tidaklah hal ini melainkan dengan cara engkau menetapi apa
yang telah ditetapi oleh para salaf yang mulia dari para sahabat dan
tabi’in juga para pengikut tabi’in dengan kebaikan.” Maka menunduklah
jiwaku, diriku pun menjadikan kitabullah sebagai aqidah, aku serahkan
ilmu tentang sifat-sifat-Nya hanya kepada-Nya dengan tanpa tajsim,
ta’wil, tasybih atau pun dengan ta’thil. Lenyaplah di hatiku noda-noda
berkarat yang berasal dari teori-teorinya Aristoteles. Aku ucapkan
ketika itu bahwa tidaklah semua itu melainkan berasal dari memandang
beragam waswas, kebid’ahan juga desas desus setan, sesungguhnya siapa
yang mengikut hawa nafsunya maka dia akan menetap disetiap jurang dan
dirinya tak akan perduli di lembah mana dia berjalan dan di jalan mana
akan binasanya…” (Al-madkhal ilaa mazhab Al-imam Ahmad bin Hanbal karya
Ibnu Badran h.42-42).
Ini adalah satu
segi dari aqidah beliau dan di sana ada segi lain yang tak kurang
pentingnya, yaitu tentang penolakan beliau terhadap berbagai khurafat
dan beragam bid’ah munkar yang di lakukan oleh para pengikut sufi,
kebid’ahan yang memunculkan klaim berbagai karomah lalu di terima
sambung bersambung hingga puncak pimpinan mereka (aqthab). Syaikh Ibnu
Badran menceritakan, ” Penukilan tentang karamat adalah hal yang sulit
di sebabkan pengikut Syaikh yang di anggap wali itu selalu mengemukaan
hal ini secara berlebihan, sedangkan kabar itu bisa saja benar bisa juga
suatu kebohongan..” Selanjutnya beliau menceritakan berbagai cerita
yang di nukil dari para penganut tasawuf itu berupa cerita-cerita dan
kisah yang aneh sebagai contoh. (Kitab Munadamatul Athlaal wa
musamaratul Khayaaly).
Syaikh
Muhammad bin Nashir Al-’Ajamy pernah berbicara tentang aqidah Ibnu
Badran ini, ”Telah menceritakan kepadaku seorang Sastrawan besar yaitu
Ali Ath-thantowi ketika aku bertanya kepadanya tentang Syaikh Ibnu
Badran ini, dia berucap, ” Adalah pengikut wahhabi dianggap sebagai
ancaman berbahaya lagi menakutkan, banyak orang yang menakut-nakuti kami
agar jangan pernah berkumpul dengan mereka. Akan tetapi aku –tetap-
mendatangi dan ikut di halqahnya Ibnu Badran, seorang Alim bermazhab
Hanbaly yang di kenal luas, dan ternyata di sana banyak para penuntut
ilmu yang biasanya mereka lewat di pasar, yang mereka itulah yang
memperlihatkan kepadaku halqah Ibnu Badran ini serta merekomendasikan
diriku sebagai pengakuan kepada para masyayikh, maka aku pun dikejutkan
dengan jatuhnya biji kecil di kakiku”. ( Kitab ’Allamatusy Syam Abdul
Qadir bin Badran h. 22).
Sebab semua
itu di karenakan Ibnu Badran berada dalam manhajnya Salaf sedangkan
Damaskus ketika itu –begitu juga kebanyakan daerah-daerah di Suriah
adalah menganut tasawuf yang jumud, jauh dari tuntunan Ulama yang
mujtahidin di masa kekuasaan Daulah Utsmaniah itu.
Adalah
Syaikh Ibnu Badran ini menampakkan keterkaitannya dengan para Imam
Salaf semisal Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, beliau berucap, ”Adalah
Ibnu Taimiyah beliau diatas jalannya para sahabat dan tabi’in, menerjang
benteng-benteng adat yang buruk dan berbagai kebid’ahan, dia goncangkan
semua itu dan sama sekali tak takut di jalan Allah terhadap celaan
mereka yang mencela hingga gentarlah suatu kaum yang tangan mereka tak
mampu menyentuh beliau, memusuhi karena hasad dan dzolim. Dan adalah hal
yang tidak diragukan lagi sampainya Ibn Taimiyah ini kepada tingkatan
mujtahid mutlak-rahmat Allah untuk beliau- ( Fatawa Al-qazaaniyah h.
207).
Adapun tentang mazhab yang di
anut oleh Syaikh Badran,maka Muhammad bin Sa’id Al-hanbaly pernah
menyebutkan bahwa beliau di awal mula adalah penganut mazhab Syafi’i
lalu menganut mazhab hanbaly. Sebab hal ini sebagaimana pernah beliau
ceritakan kepada orang-orang yang dekat kepada beliau, ”Aku sebelumnya
adalah seorang yang menganut mazhab Imam Syafi’i-rahimahulloh- bermazhab
secara taqlid, hingga kemudian Allah mengkaruniakan kepadaku keinginan
besar untuk mentelaah berbagai kitab tafsir, hadits serta berbagai kitab
syarahnya, juga kitab-kitab mazhab yang empat, kitab-kitab Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Al-hafidz ibnul Qayyim, juga
kitab-kitab kalangan mazhab hanbaly, tidaklah semua ini kecuali karena
Allah telah membukakan bashiroh serta menunjukiku dengan tanpa fanatik
buta terhadap satu mazhab dengan meninggalkan mazhab yang lain. Aku
lihat mazhab Hanbaly lebih kokoh dalam berpegang dengan manthuq
Al-Qur’an yang mulia dan Sunnah yang suci serta mafhum dari kedua hal
itu, hingga sejak saat itu aku adalah seorang penganut mazhab Hanbaly. (
Nubdzah min tarjamati Ibni Badran di akhir kitab Al-Madkhal).
Setelahnya
beliau di tetapkan sebagai mufti bagi mazhab Hanbaly serta pengajar di
Mesjid Jami’ Umawy, dan jabatan lainnya yang dipercayakan kepada beliau.
Syaikh
Ibnu Badran mendapatkan banyak cobaan yang berasal dari kalangan
pemerintah, Masyayikh negeri, para sufi. Serta orang-orang bodoh yang
disebabkan hasad dan kedzoliman. Al-Barudy menyatakan, ”Syaikh Ibnu
Badran adalah salah seorang ahli fikih wilayah Duma, termasuk Ulama
mujaddid, seorang yang pemberani tak takut dengan siapa pun..”. Sampai
Al-Barudy menyebutkan tentang keberanian beliau berhadapan dengan
penyimpangan yang dilakukan pemimpin Duma Sholeh Thoha, hingga Sholeh
Thoha memerintahkan agar Syaikh Ibnu Badran di usir dari Buma. Beliau
pun pindah ke Damaskus selama dua tahun hingga berakhir masa pengusiran
beliau. Kiranya penduduk Damaskus malah mendapat banyak faedah dengan
kehadiran beliau dan dakwah pembaharuan Salafiyah yang beliau bawa pun
menyebar. Selain itu Syaikh Ibnu Badran telah memberikan sumbangan besar
kepada sejarah Damaskus dengan menyusun kitab Tahdzibu tarikhi
Damaskus, juga menyusun kitab Ar-raudhul Basim Fie taraajumil Muftiin Bi
Dimisyqa As-syam.
Dan akhirnya
Syaikh Badran-rahimahulloh-wafat pada rabi’ul awwal 1346 H, dan di
kuburkan di pekuburan Al-babu Ash-shogir di Damaskus. ________________________________________
Demikian, semoga berfaedah untuk mereka-mereka yang inshof.
Habibi Ihsan, Banjarbaru : الأحد 14 جمادى الأولى 1435هـ الموافق:16 مارس 2014م
Bahan bacaan :
Kitab ‘Allamatu Asy-syam Abdul Kadir bin Badran Ad-dimasyqi, Hayatuhu wa Atsaruhu.