Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja
dia berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap
Anda menghalalkannya". Orang itu menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini.
Aku Khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya". Dengan
nada menyesal Tsabit bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan
menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini."
Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana
maka engkau harus menempuh perjalan sehari semalam". Tsabit bin Ibrahim
bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang
tua itu, "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun
rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena
tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw sudah memperingatkan
kita lewat sabdanya : "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka
ia lebih layak menjadi umpan api neraka"
Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana
dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu,
Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata," Wahai tuan
yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan
yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa
yang sudah kumakan itu ?" Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit
mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, "Tidak, aku
tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat." Tsabit merasa
khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka
segera ia bertanya, "Apa syarat itu tuan ?" Orang itu menjawab, "Engkau
harus mengawini putriku !"
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu,
maka dia berkata, "Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu
yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?" Tetapi pemilik
kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan,
katanya, "Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu
kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan
tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!"
Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia
berpikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia
persunting sebagai istri gara-gara setengah buah apel yang tidak
dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi,
"Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan
!"
Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, "Aku akan menerima
pinangannya dan perkawinanya. Aku telah bertekad akan mengadakan
transaksi dengan Allah Rabbul �alamin. Untuk itu aku akan memenuhi
kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap
Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan
kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta�ala".
Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan
dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan
usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak
masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam
walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang
berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun
mengucapkan salam ,"Assalamu�alaikum..." Tak dinyana sama sekali wanita
yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi istrinya itu menjawab salamnya
dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia
mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya . Sekali lagi Tsabit
terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran
tangannya. Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini.
"Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia
menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada
dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan
bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku
dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula", Kata Tsabit
dalam hatinya. Tsabit berpikir, mengapa ayahnya menyampaikan
berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ? Setelah Tsabit
duduk di samping istrinya , dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku
bahwa engkau buta . Mengapa ?" Wanita itu kemudian berkata, "Ayahku
benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah".
Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?"
Wanita itu menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau
mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku
juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan ?"
Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya.
Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya
wanita itu berkata, "aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku
hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta�ala saja. Aku
juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat
yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta�ala".
Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan
wanita yang memelihara dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang
istrinya, "Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah , dia bagaikan bulan
purnama di malam yang gelap". Tsabit dan istrinya yang salihah dan
cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka
dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh
penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu�man bin Tsabit.