1. Manusia dihiasi dengan Cinta
Manusia sebagai makhluk paling mulia memiliki kelebihan akal. Akal merupakan karunia luar biasa dari ‘Sang Maha Pencipta Yang Maha Cerdas’ dan juga dikarunia kelebihan lain yang sangat mahal, yaitu dari lubuk hatinya yang sangat dalam terpancar naluri cinta, naluri untuk mencintai dan dicintai. Cinta dengan sepenuh hati yang disertai dengan segala ketulus ikhlasan akan selalu terpancar dari hatinya.
Siapapun orang dewasa, akan merasa hambar, hampa dan sepi, selalu merasa ada yang kurang atau merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya; apabila belum menemukan cintanya. Seseorang akan menjadi sempurna, bila hidupnya “dihiasi” dengan cinta, adalah sangat manusiawi bila seorang laki-laki mencintai wanita dan wanita mencintai laki-laki. Maka perkawinan adalah sarana yang paling tepat untuk “menumbuh suburkan” cinta dan kasih sayang.
2. Cinta dan kedewasaan
Kedewasaan secara jasmaniah dapat terlihat secara sepintas dari tanda-tanda fisik jasmaninya, tetapi kedewasaan secara rohaniah (mental, daya fikir, emosi dan lain-lain) tidak dapat terlihat secara sepintas atau dalam waktu singkat. Kedewasaan secara jasmaniah tidak menjamin dan tidak menjadi ukuran bagi kedewasaan secara rohaniah. Seorang remaja yang karena tekanan kehidupannya yang begitu berat, selalu bekerja keras akan terlihat dewasa, akan terlihat lebih tua dari teman-temannya yang seumurmya, padahal sebenarnya dia belum dewasa, maka bisa dikatakan “dewasa karbitan”.
Dua orang dewasa yang berlainan jenis, akan saling berkomunikasi, akan terlihat saling mendekat, dan akhirnya secara tidak sadar akan saling jatuh cinta. Cinta di antara keduanya yang terpendam (sekian lama) akan “meledak” dalam bentuk perubahan tingkah laku mereka berdua secara spontanitas, dan suatu saat mereka akan sadar bahwa telah ada keterikatan batin yang demikian kuat di antara mereka berdua. (Apabila mereka berdua mengambil keputusan untuk menikah, semoga perkawinan mereka bahagia)
Kalau sudah demikian keadaannya, dapatkah hal ini dibohongi atau didustai? Akan tetapi jika salah satu atau keduanya, cintanya palsu penuh dengan kepura-puraan, maka spontanitas perubahan tingkah laku yang terlihat akan seperti sinetron tanpa ekspresi, bukan tidak serius, tapi akan terlihat seperti tanpa alur yang sinkron. (contoh perkawinan yang dipaksakan tanpa cinta di jamannya Siti Nurbaya ……mungkin sekarang tidak ada lagi)
3. Cinta dan nafsu Syahwat
Remaja secara umum masih belum menemukan “jati dirinya”, masih mencari identitas diri dan masih berusaha mengenal kata hatinya, serta pikirannya masih dipenuhi khayalan, sedangkan pertumbuhan fisiknya masih terus berlangsung sejalan dengan dorongan nafsu syahwatnya semakin meningkat. Kalau kedua remaja menjalin hubungan cinta asmara, Apakah cintanya penuh dengan ketulus ikhlasan atau penuh dengan pamrih yang istilahnya “cinta monyet”? Apakah cintanya benar-benar suci atau hanya bersifat khayali? Apakah cintanya abadi atau hanyalah pemuasan nafsu syahwat yang bersifat sesaat? Apakah cinta remaja benar-benar murni atau palsu dan lebih banyak usaha untuk membohongi pasangannya? Bukankan cinta monyet, cinta bersifat khayalan dan cinta pemuasan nafsu syawat sesaat, semuanya itu adalah cinta palsu?
Jelaslah, bahwa berpacaran pada masa remaja lebih banyak “mudlorotnya”. Keindahan masa berpacaan hanyalah fatamorgana, Akankah jumlah remaja yang terpaksa jadi “orang tua” sebelum waktunya, terus bertambah, karena nikah akibat “kecelakaan”? sekarang mungkin tidak ada istilah “kawin lari” tapi yang ada “kawin kecelakaan”. Bisa kita bayangan : “Betapa berat di usia belum dewasa harus jadi orang tua”.
Tentu akan lebih baik, jika para remaja tidak berpacaran, atau “tidak berpacaran jika tidak benar-benar berniat untuk nikah”. Lebih baik jika perkawinan yang dilaksanakan oleh keduanya yang belum pernah berpacaran, belum pernah terlibat asmara, belum tahu arti cinta, keduanya benar-benar masih perjaka dan perawan, sehingga dari mulai hidup baru dan seterusnya “tidak ada dusta” dan akan langgeng sampai kakek nenek , “biarkanlah cinta tumbuh setelah pernikahan” ( ….mungkinkah sekarang perkawinan seperti ini sudah tidak ada lagi????)
Haruskah kita ikut-ikutan mengejek, mencemoohkan dan menghina mereka yang tidak kenal makna cinta asmara, dan masih perjaka, masih perawan sampai masa pernikahan mereka ?
Manusia sebagai makhluk paling mulia memiliki kelebihan akal. Akal merupakan karunia luar biasa dari ‘Sang Maha Pencipta Yang Maha Cerdas’ dan juga dikarunia kelebihan lain yang sangat mahal, yaitu dari lubuk hatinya yang sangat dalam terpancar naluri cinta, naluri untuk mencintai dan dicintai. Cinta dengan sepenuh hati yang disertai dengan segala ketulus ikhlasan akan selalu terpancar dari hatinya.
Siapapun orang dewasa, akan merasa hambar, hampa dan sepi, selalu merasa ada yang kurang atau merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya; apabila belum menemukan cintanya. Seseorang akan menjadi sempurna, bila hidupnya “dihiasi” dengan cinta, adalah sangat manusiawi bila seorang laki-laki mencintai wanita dan wanita mencintai laki-laki. Maka perkawinan adalah sarana yang paling tepat untuk “menumbuh suburkan” cinta dan kasih sayang.
2. Cinta dan kedewasaan
Kedewasaan secara jasmaniah dapat terlihat secara sepintas dari tanda-tanda fisik jasmaninya, tetapi kedewasaan secara rohaniah (mental, daya fikir, emosi dan lain-lain) tidak dapat terlihat secara sepintas atau dalam waktu singkat. Kedewasaan secara jasmaniah tidak menjamin dan tidak menjadi ukuran bagi kedewasaan secara rohaniah. Seorang remaja yang karena tekanan kehidupannya yang begitu berat, selalu bekerja keras akan terlihat dewasa, akan terlihat lebih tua dari teman-temannya yang seumurmya, padahal sebenarnya dia belum dewasa, maka bisa dikatakan “dewasa karbitan”.
Dua orang dewasa yang berlainan jenis, akan saling berkomunikasi, akan terlihat saling mendekat, dan akhirnya secara tidak sadar akan saling jatuh cinta. Cinta di antara keduanya yang terpendam (sekian lama) akan “meledak” dalam bentuk perubahan tingkah laku mereka berdua secara spontanitas, dan suatu saat mereka akan sadar bahwa telah ada keterikatan batin yang demikian kuat di antara mereka berdua. (Apabila mereka berdua mengambil keputusan untuk menikah, semoga perkawinan mereka bahagia)
Kalau sudah demikian keadaannya, dapatkah hal ini dibohongi atau didustai? Akan tetapi jika salah satu atau keduanya, cintanya palsu penuh dengan kepura-puraan, maka spontanitas perubahan tingkah laku yang terlihat akan seperti sinetron tanpa ekspresi, bukan tidak serius, tapi akan terlihat seperti tanpa alur yang sinkron. (contoh perkawinan yang dipaksakan tanpa cinta di jamannya Siti Nurbaya ……mungkin sekarang tidak ada lagi)
3. Cinta dan nafsu Syahwat
Remaja secara umum masih belum menemukan “jati dirinya”, masih mencari identitas diri dan masih berusaha mengenal kata hatinya, serta pikirannya masih dipenuhi khayalan, sedangkan pertumbuhan fisiknya masih terus berlangsung sejalan dengan dorongan nafsu syahwatnya semakin meningkat. Kalau kedua remaja menjalin hubungan cinta asmara, Apakah cintanya penuh dengan ketulus ikhlasan atau penuh dengan pamrih yang istilahnya “cinta monyet”? Apakah cintanya benar-benar suci atau hanya bersifat khayali? Apakah cintanya abadi atau hanyalah pemuasan nafsu syahwat yang bersifat sesaat? Apakah cinta remaja benar-benar murni atau palsu dan lebih banyak usaha untuk membohongi pasangannya? Bukankan cinta monyet, cinta bersifat khayalan dan cinta pemuasan nafsu syawat sesaat, semuanya itu adalah cinta palsu?
Jelaslah, bahwa berpacaran pada masa remaja lebih banyak “mudlorotnya”. Keindahan masa berpacaan hanyalah fatamorgana, Akankah jumlah remaja yang terpaksa jadi “orang tua” sebelum waktunya, terus bertambah, karena nikah akibat “kecelakaan”? sekarang mungkin tidak ada istilah “kawin lari” tapi yang ada “kawin kecelakaan”. Bisa kita bayangan : “Betapa berat di usia belum dewasa harus jadi orang tua”.
Tentu akan lebih baik, jika para remaja tidak berpacaran, atau “tidak berpacaran jika tidak benar-benar berniat untuk nikah”. Lebih baik jika perkawinan yang dilaksanakan oleh keduanya yang belum pernah berpacaran, belum pernah terlibat asmara, belum tahu arti cinta, keduanya benar-benar masih perjaka dan perawan, sehingga dari mulai hidup baru dan seterusnya “tidak ada dusta” dan akan langgeng sampai kakek nenek , “biarkanlah cinta tumbuh setelah pernikahan” ( ….mungkinkah sekarang perkawinan seperti ini sudah tidak ada lagi????)
Haruskah kita ikut-ikutan mengejek, mencemoohkan dan menghina mereka yang tidak kenal makna cinta asmara, dan masih perjaka, masih perawan sampai masa pernikahan mereka ?
Tags:
Artikel